Dunia akademik atau dunia pendidikan adalah ranah bagi setiap orang terpelajar untuk mengekspresikan secara bebas pemikiran, ide kreatif, kritik dan suaranya. Sebagaimana institusi politik, institusi akademik juga membutuhkan kebebasan dan keterbukaan dalam mengkaji suatu hal.
Segala halangan, aturan baku, dan sekat-sekat yang merintangi kebebasan berpikir mutlak harus disingkirkan. Sebab, kebebasan inilah yang menjadi kunci bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi yang lahir dari akal budi para insan cendekia.
Kita bisa melihat orang-orang besar seperti Plato, Aristoteles, Giordano Bruno, Galileo Galilei, dan Isaac Newton melahirkan ide-ide besar yang kontroversial pada masanya karena adanya kebebasan dalam dunia akademis.
Sayangnya tidak semua orang memahami hal itu, hanya sedikit orang yang paham bahwa kebebasan adalah kunci mutlak dari peradaban, khususnya pada bidang pendidikan.
Sejak era kolonial hingga reformasi sekarang ini, pihak-pihak tertentu selalu memandang kebebasan sebagai sebuah penyakit yang harus diberangus, khususnya dalam bidang akademik.
Dan, yang lebih berbahaya jika gangguan-gangguan ini dilakukan oleh orang yang memiliki otoritas politik sehingga mampu membungkam kebebasan peneliti/akademisi dalam melakukan kerjanya.
Isu pendidikan saat ini masih sangat ‘hangat’ untuk dibicarakan. Isu ini akhirnya diangkat oleh Suara Kebebasan untuk didiskusikan pada hari Jumat, 22 Oktober 2021 lalu, dengan tema “Pentingnya Kebebasan Akademis di Institusi Pendidikan”. Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Dhia Al-Uyun selaku Koordinator Kaukus Indonesia untuk kebebasan Akademis (KIKA) dan Muhamad Isnur, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
*****
Berdasarkan permasalahan kebebasan akademik di Indonesia, Dhia Al-Uyun selaku pembicara pertama menjelaskan bahwa kebebasan dunia akademik di negeri ini memang harus diperhatikan. Pasalnya, banyak pihak-pihak yang memiliki otoritas politik dan kepentingan kerap membungkam kebebasan insan-insan cendekia.
Misalnya, aksi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta yang mengkritik kepemimpinan Presiden Joko Widodo lewat selebaran poster di dunia maya. Beredarnya poster tersebut kemudian ditanggapi oleh rektor masing-masing lewat pemanggilan. Dari sini, menurut Dhia, sudah merupakan salah satu bentuk pengekangan kebebasan dan aktivitas mahasiswa.
“Kita tahu buntut postingan Bem UI ‘Jokowi lips service’ ditanggapi oleh Rektor dengan pemanggilan yang agresif sekali, ini perbuatan tidak prosedural,” kata Dhia.
Kata “kebebasan” itu sendiri selama ini memang dikonotasikan secara negatif, khususnya bagi orang-orang yang memiliki otoritas politik. Kebebasan akademik misalnya, diasosiasikan sebagai sebuah pembangkangan, melanggar etika, melawan pemerintah, menyebarkan ideologi terlarang, dan diduga akan menghasut masyarakat.
Oleh sebab itu, pihak-pihak yang berkepentingan seperti Rektor UI melakukan pemanggilan terhadap mahasiswa mereka (yang dilakukan hari Minggu yang notabene hari libur kuliah).
Dhia juga menyoroti bahwa dunia kampus belakangan ini semakin jauh dari independensi. Salah satu contohnya adalah pihak Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang berusaha memberikan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Eric Thohir.
Usaha untuk memuluskan gelar akademik kepada tokoh pemerintahan ini cenderung memiliki tendensi politis dari pihak kampus. Padahal, aktivitas kampus seyogyanya harus bersih dari segala kepentingan-kepentingan politik.
Dhia selaku pemateri menyesalkan tindakan pemegang kebijakan kampus yang terkesan ingin menceburkan netralitas para akademisi dengan kepentingan politik. Juga dengan masalah rangkap jabatan yang pernah dilakukan oleh Rektor UI tempo hari lalu.
Lampu hijau yang diberikan oleh pemerintah kepada para petinggi kampus untuk melakukan rangkap jabatan menurut Dhia sangat berbahaya bagi kebebasan kampus. Tidak heran jika belakangan banyak aktivis kampus dan akademisi yang dijegal, dilarang berdemonstrasi, dibungkam suara kritisnya, seperti yang terjadi pada dosen Univeritas Syiah Kuala, Syaiful Mahdi. Realitas ini sangat berbahaya bagi kelangsungan kebebasan akademik di Indonesia.
*****
Setelah Dhia Al-Uyun menyampaikan materi, Muhamad Isnur memberikan tambahan mengenai kebebasan akademis yang selama ini makin lama makin dikebiri oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Pengebirian ini jelas bertentangan dengan prinsip negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan atau kebebasan. Padahal, dalam Undang-undang, kebebasan sebagai sebuah hak individu sangat dihargai dan wajib dihormati oleh siapapun.
Misalnya dalam UUD 45 dalam Pasal 28E disebutkan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Terkait dengan kebeabsan akademis, UU Dikti Pasal 8 ayat 1 menyebutkan bahwa “Pasal 8 (1) Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.”
Melihat aturan perundang-undangan di atas, sangat jelas bahwa Indonesia sebagai negara hukum sangat menjunjung tinggi kebebasan, khususnya kebebasan akademik. Namun, menurut Isnur, kebebasan akademik tersebut kadang sering diselewengkan bahkan dibungkam oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Padahal, dunia pendidikan yang bebas, menurut Isnur, akan memberikan dampak bagi pesatnya ilmu pengetahuan dan lahirnya individu-individu merdeka yang memiliki pandangan luas dan berguna bagi kelangsungan negara. Pengekangan kebebasan akademik dalam sejarah Indonesia memang bukan hal baru. Sudah sejak zaman kolonial, Orde Lama, hingga Orde Baru, pengekangan ini dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, khususnya rezim politik yang tengah berkuasa.
Misalnya, pada masa Orde Baru, demi mengamankan kekuasaan politiknya, Presiden Soeharto berani membungkam aktivitas mahasiswa di kampus dan melakukan pemberedelan terhadap buku-buku yang dianggap membawa dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan.
Seperti pembungkaman para dosen yang memiliki suara kritis seperti Saiful Mahdi, serta menuduh para demonstran ditunggangi oleh kelompok asing yang memiliki kepentingan untuk menurunkan martabat pemerintah. Hal ini menurut Isnur, merupakan bukti bahwa pemerintah tidak peka terhadap suara kampus yang merupakan salah satu lembaga kontrol dalam civil society.
Kebebasan akademik dan netralitas kampus yang belakangan terganggu ini tentu membuat indeks kebebasan di masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf ini menurun. Dan ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk membenahi kembali agar lebih terbuka pada kritik dan tidak alergi terhadap tuntutan kelompok akademis.
*****
Pembahasan mengenai kebebasan akademik yang diselenggarakan oleh Suara Kebebasan dalam Forum Kebebasan Webinar ini kemudian disambut dengan berbagai tanggapan dan pertanyaan. Pertanyaan pertama diajukan oleh audiens kepada pemateri, apakah kebebasan individu dengan kebebasan akademik sama atau memiliki perbedaan?
Para pemateri menjawab bahwa kebebasan individu dan kebebasan akademik memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa secara dasar setiap manusia memiliki hak dasar untuk bebas. Dan hak dasar ini wajib dilindungi oleh negara.
Bedanya, kebebasan akademik adalah kebebasan otonomi diberikan kepada civitas akademika. Dalam hal ini, pemerintah mengakui bahwa institusi kampus berbeda dengan institusi politik yang terikat oleh aturan. Kebebasan akademik hanya menyentuh pada ranah kebebasan berpikir dan meneliti secara ilmiah, bukan pada tindakan individu. Dengan demikian, setiap orang yang bergabung dalam institusi akademik, maka ia memperoleh hak-hak tersebut.
Peserta selanjutnya bertanya, kenapa tantangan kebebasan akademik atau ilmiah hanya berkutat pada perguruan tinggi?
Hal ini dijawab oleh pemateri bahwa perguruan tinggi memainkan peran sentral karena kerap menyampaikan suara kritisnya kepada pemerintah. Melalui demonstrasi mahasiswa yang telah dibekali oleh pengetahuan akan suasana bangsa, mereka condong akan menyampaikan pesan-pesan menohok lewat demonstrasi.
Dalam kata penutupnya, Dhia dan Isnur bersepakat bahwa kebebasan akademik perlu untuk dilindungi dan dirawat. Pemberitaan di media mengenai dunia akademis di Indonesia, memang membuat kita mengelus dada.
Namun, perjuangan untuk mengembalikan kebebasan dunia akademik harus terus dilakukan, menimbang bahwa kebebasan dalam berpikir itulah yang menunjang para civitas akademica untuk berkarya dan menyampaikan pandangan konstruktif untuk kelangsungan bangsa.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com