Pertumbuhan ekonomi Republik Rakyat China (RRC) saat ini sangat luar biasa. Pencapaian China dalam membangun teknologi, infrastruktur, sumber daya manusia telah membuat negara tirai bambu tersebut melompat jauh kemuka.
Jika pada dekade 60-an perekonomian Indonesia bisa setara bahkan mengungguli China, namun jika dibandingkan dengan sekarang, mungkin perekonomian dan pembangunan negeri kita sudah sangat jauh tertinggal dari China.
Pada bulan Juli 2021 lalu bertepatan dengan ulang tahun ke-100 Partai Komunis China (PKC) Presiden RRC, Xi Jinping menegaskan bahwa China sudah berhasil keluar dari status negara miskin. Mereka mengklaim telah berhasil mengangkat 100 juta warga miskin di China ke taraf kehidupan yang lebih baik.
Pidato Xi Jinping tersebut tentu telah mencengangkan dunia. Mungkin China adalah satu-satunya negara Komunis pasca bubarnya Uni Soviet yang berhasil meningkatkan pembangunan dan perekonomian ke puncak menara gading.
Kemajuan China ini jelas telah menjadi perdebatan di kalangan ekonomi seperti Thomas Friedman yang menjelaskan faktor ekonomi terpimpin ala China sebagai salah satu penyebab kemajuan China saat ini.
Tentu bagi kaum pembela pasar bebas, China yang dipimpin oleh rezim Komunis bukanlah negara panutan yang patut untuk dicontoh. Selain karena kediktatorannya, tentu saja propaganda “pemerataan” yang belakangan didengungkan oleh Xi Jinping sangat bertentangan dengan semangat pasar bebas.
Untuk mendiskusikan persoalan ini, Suara Kebebasan telah mengundang pengamat ekonomi dan keuangan, Poltak Hotradero, menjadi pemateri di acara Forum Kebebasan Webinar yang diselenggarakan pada hari Jumat, 8 Oktober 2021.
*****
Poltak Hotradero selaku pemateri membuka pembicaraan dengan merumuskan suatu pertanyaan: Bagaimana perekonomian China bisa tumbuh sedemikian pesatnya bahkan sangat luar biasa?
Sebab, menurut pemateri, belum ada dalam sejarah dunia, suatu negara yang berhasil mengangkat ratusan juta rakyatnya dari kemiskinan absolut kecuali China yang pada saat ini telah menjadi sebuah negara yang disegani. Padahal, jika kita menilik sejarah China, negara tersebut selama ratusan tahun disebut sebagai negara yang rentan kelaparan dan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena iklim China yang tidak terlalu baik (sebaik Indonesia).
Di sebelah utara China, suhunya sangat dingin, di sebelah barat China suhunya sangat panas bahkan terdapat gurun di sana. Sedangkan di selatan, meski iklimnya tropis, namun curah hujan tidak begitu tinggi sehingga masyarakat China bergantung pada sungai-sungai yang berada di kawasan Timur China.
Kawasan Timur China inilah yang memainkan peran penting perekonomian China, baik pertanian, industri dan juga pembangunan sumber daya alam dan teknologi. Ekstrimnya kondisi alam di China dan juga siklus wabah dan kelaparan kerap menghantui rakyat, membuat masyarakat China menyerahkan nasib mereka kepada para kaisar yang diyakini sebagai perwakilan dewa di muka bumi.
Inilah, menurut pemateri, yang menjadi asal mula perkembangan totalitarianisme di China hingga masa Mao Zedong. Ketika China dipimpin oleh Mao Zedong, kondisi ekonomi benar-benar memprihatinkan, Mao yang terinspirasi dengan ekonomi sosialis, mengontrol ketat pasar bebas, pertanian, dan juga pengelolaan sumber daya alam di China. Hasilnya, terjadi kegagalan hebat yang menyebabkan musibah kelaparan di China.
Setelah Mao wafat, Deng Xiaoping selaku penggantinya mulai merubah struktur perekonomian China. Pertanian kolektif dikurangi dan peran pasar bebas semakin diperluas. Deng percaya bahwa cara-cara Mao dan Soviet tidak mampu mengangkat China dari jurang kemiskinan. Hal ini yang membuat Deng merangkul kelompok swasta dan membuka “sedikitnya” pasar bebas.
Ketika China mulai melakukan reformasi ekonomi, banyak negara yang ingin membuka perdagangan dan menanam modalnya di China. Hongkong dan Taiwan adalah dua negara yang kemudian menginvestasikan uang mereka ke China sehingga perlahan tapi pasti, perekonomian China terus membaik.
Dengan keterbukaan yang dilakukan oleh Rezim Deng, China mulai membangun infrastruktur, industri manufaktur, dan juga memodernisasi pertanian mereka. China yang semula negara miskin, perlahan berubah menjadi negara berkembang. Murahnya tenaga kerja di sana juga turut membuat para pengusaha global tertarik untuk membuka pabrik di China.
Pemateri menjelaskan bahwa orientasi ekonomi yang dibangun oleh Deng Xiaoping (dan hingga sekarang) berbeda jauh dengan propaganda kemandirian yang didengungkan oleh Mao. Perekonomian China saat ini lebih bersifat terbuka, mereka berorientasi pada ekspor sehingga mereka membuka diri untuk berdagang dengan negara manapun.
Dengan ekonomi berbasis ekspor yang membawa produk-produk China melalang buana ke berbagai mancanegara, membuat China menjadi negara terdepan dalam pembangunan dan perdagangan, ditambah dengan masuknya mereka ke WTO (organisasi perdagangan dunia) telah membuat investasi yang masuk ke China jauh lebih besar.
Pada tahun 2008 ketika Amerika mengalami krisis, China ikut terdampak oleh krisis ini. Mengapa? Sebab Amerika bagi China adalah sebuah pasar yang besar, sehingga mereka mengekspor produk mereka ke China.
Ketika krisis membuat orang-orang menahan konsumsi, banyak perusahaan di China ikut merugi karena barang yang mereka produksi kehilangan pembeli.
Krisis ini membuat China berpikir untuk menggeser orientasi ekonomi mereka yang terlalu bergantung pada pasar luar negeri, menjadi ke dalam negeri. Dengan populasi miliaran, China bisa memanfaatkannya untuk membumikan produknya ke negara mereka sendiri.
Namun, hal ini cukup sulit dilakukan sehingga secara konsisten perekonomian China belakangan mengalami stagnasi bahkan diprediksi akan terus menurun. Watak sentralisasi politik mereka juga masih tetap terpelihara sehingga jika mereka tidak mengubah pola ekonomi mereka menjadi lebih bebas, tentu ini akan menyulitkan pertumbuhan ekonomi China.
*****
Setelah Poltak Hotradero memaparkan materinya, beberapa audiens mulai bertanya. Salah satunya, apa yang perlu dipelajari Indonesia dari pertumbuhan ekonomi China?
Poltak menjawab, bahwa ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari China. Pertama adalah peran negara yang terlampau sentralistik akan menyebabkan dekadensi. Misalnya, ketika pemerintah lebih mementingkan BUMN dan menyuplai bantuan lebih kepada perusahaan negara tersebut, otomatis sektor privat (swasta) akan terbengkalai.
Jika BUMN disubsidi otomatis pajak akan ditujukan kepada sektor swasta yang jelas mengganggu perekonomian. Konsep swasembada dan berdikari ekonomi yang masih diyakini hingga sekarang juga bermasalah. China melihat bahwa ekonomi mereka bisa berdiri tegak jika produk mereka bisa diperdagangkan ke seantero dunia. Jadi jelas mereka tidak menutup diri dari perdagangan dunia, justru sebaliknya.
Beberapa peserta lain juga mengajukan pertanyaan, seperti: Sektor mana yang bisa dikembangkan di China untuk tetap menumbuhkan ekonominya kembali selain industri teknologi tinggi?
Pemateri menjawab bahwa industri teknologi China beberapa dekade ini memang sedang diusahakan besar-besaran, namun sayangnya, seluruh proyek industri teknologi China didorong oleh negara, seperti yang telah kita pahami, apapun yang didorong oleh negara atau politisi tidak akan berlangsung efisien. Dan akhirnya rencana tersebut mandek.
Di sisi lain, pihak swasta di China juga mulai mengembangkan sektor jasa. Namun, yang menjadi hambatan China adalah, kurangnya inovasi individu China untuk mengembangkan usahanya karena ampir sebagian besar di lakukan atau harus mendapat sokongan dari negara.
Bisa disimpulkan bahwa masalah dependensi yang saat ini dialami China adalah sistem sentralistik. Orientasi ekonomi China saat ini juga punya dampak dan banyak tantangan sehingga China mengalami pilihan sulit, apakah mereka mau mengubah desain ekonominya atau tetap pada orientasi ekonomi saat ini yang akan mengakibatkan kemandekan.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com