Masalah kebebasan dan pengembangan demokrasi di Indonesia terus menjadi perhatian kita semua. Bagaimanapun juga, menciptakan sebuah negara yang demokratis, bebas, dan berprinsip pada perlindungan hukum bagi masyarakat adalah impian ideal sejak gerakan reformasi dicetuskan pada tahun 1998.
Sayangnya, penurunan indeks demokrasi dan kebebasan sipil yang dirilis oleh sebuah lembaga survei, seolah tak menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dan penegak hukum, untuk mengubah paradigma mereka dalam menjalankan negara.
Negara bukanlah kumpulan para ‘ndoro’ yang harus dihormati oleh publik, negara ideal saat ini adalah profesionalitas para pengambil kebijakan, penegak hukum dan politisi untuk menjalankan sistem yang terbuka, demokratis dan berbasis pada pelayanan kepentingan rakyat.
Tak diragukan lagi, menurunnya indeks kebebasan dan demokrasi serta meningkatnya kriminalisasi pada beberapa tokoh masyarakat disebabkan oleh adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang disebut sebagai UU ITE. Jika Undang-undang yang dimaksud bertujuan untuk melindungi transaksi online dari segala bentuk penipuan, kejahatan elektronik, dan pornografi yang vulgar mungkin hal tersebut bisa di maklumi. Tetapi, yang menjadi bencana, UU ITE justru menjadi senjata untuk menikam masyarakat sipil.
Revisi UU ITE yang dicanangkan pada pertengahan tahun lalu dianggap membawa secercah harapan bagi kita agar UU ITE ini dikembalikan fungsinya untuk melindungi masyarakat dari kejahatan elektronik, bukan melindungi segelintir pihak dengan menyembelih kebebasan sipil. Tapi, sekali lagi, masyarakat harus kembali gigit jari, karena revisi UU ITE tak pernah ditanggap secara serius. Bahkan hingga tahun 2021 berakhir, UU ITE ini masih menjadi persoalan kita bersama.
Pembahasan mengenai UU ITE tetap menjadi sebuah diskursus yang menarik. Sebab, selama ada UU ITE di satu sisi, demokrasi dan kebebasan sipil pasti menjadi pihak yang selalu dikebiri pada sisi lainnya.
Suara Kebebasan melalui Forum Kebebasan pada tanggal 14 Januari lalu, mengajak masyarakat dan para pecinta kebebasan untuk mendiskusikan kembali masalah-masalah yang dihadirkan oleh UU ITE. Hadir Hemi Lavour Febrianandez dari Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) sebagai pemateri, dan Galang Taufani selaku Editor Pelaksana Suara Kebebasan dan moderator untuk menyajikan diskusi hangat yang merupakan kolaborasi Suara Kebebasan dan TII mengenai topik ini.
***
Sebagaimana yang diutarakan penulis di atas, Hemi menjelaskan betapa semerawutnya kasus yang dijerat dengan UU ITE. Alih-alih menegakkan hukum secara adil, justru banyak pihak-pihak yang merasa dirugikan (atau dizhalimi) dengan adanya UU ITE. Contohnya, kasus Stella Monica yang dipidanakan oleh pemilik salon karena telah mengkritik pelayanan di salonnya yang dianggap kurang memuaskan. Kritikan Stella Monica sebenarnya adalah hal yang biasa, wajar jika seorang konsumen komplain atas pelayanan yang ditawarkan oleh pihak penyedia jasa.
Alih-alih menampung aspirasi konsumen, pihak salon justru mempidanakan Monica dengan dugaan telah merugikan usahanya. Meski pada akhirnya Monica diputuskan tak bersalah oleh pihak pengadilan, namun kasus ini selayaknya tak perlu masuk ke ranah hukum, apalagi hingga sampai ke meja hijau.
Monica mungkin adalah salah satu orang yang berhasil keluar dari jerat UU ITE, namun hal yang berbeda terjadi pada Baiq Nuril, seorang guru yang dilaporkan oleh kepala sekolahnya. Baiq Nuril sebenarnya hanya melontarkan curhatan di media pesan online, mengenai pelecehan seksual yang terjadi pada dirinya. Namun, pihak yang merasa dirugikan melaporkan Nuril dengan dugaan UU ITE.
Kasus Baiq Nuril kemudian berjalan dan dirinya dipidana dengan landasan UU ITE. Masyarakat, khususnya aktivis perempuan dengan lantang meminta pengadilan untuk membebaskan Baiq Nuril yang sebenarnya memang tidak bersalah. Kasus Baiq Nuril bisa dikatakan selesai ketika Presiden Joko Widodo turun tangan dan memberi amnesti (pengampunan) kepada Baiq Nuril. Tentu, hal ini melegakan masyarakat. Namun, bagaimana kiranya dengan Baiq Nuril lainnya yang terjerat kasus serupa dan tak terekspos oleh media?
Hemi juga membawa satu lagi kasus yang populer, yaitu Saiful Mahd. Dosen Unsyiah yang terjerat kasus serupa karena mengkritik atasannya. Kasus ini memang dihentikan karena amnesti presiden, dan Saiful Mahdi bisa beraktivitas dengan tenang kembali. Namun, dari kasus di atas bayang-bayang UU ITE yang menjerat masyarakat sipil sangat santer terlihat.
Hemi juga menjelaskan adanya 10 orang jurnalis yang divonis bersalah dengan dugaan UU ITE. Padahal, kerja pers dilindungi oleh undang-undang, tapi karena adanya UU ITE, UU Pers pun mental pula. Memang dengan adanya kritik pedas terhadap UU ITE, pemerintah kemudian mengevaluasi UU ini dan menerbitkan SKB mengenai implementasi UU ITE. Namun, hal ini tidak menghilangkan kontroversi dan tidak menampung kritik esensial yang diharapkan oleh masyarakat.
***
Pada sesi tanya jawab beberapa audiens mulai antusias untuk mengajukan pertanyaan. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai kemungkinan adanya revisi pasal-pasal kontroversial dalam UU ITE menimbang nampaknya pemerintah eksekutif dan wakil rakyat tampak tidak peduli dengan kebebasan berekspresi.
Menjawab pertanyaan tersebut, Hemi sepakat pemerintah dan wakil rakyat tidak perduli dengan kebebasan berekspresi. Ada tendensi politik dalam pelanggengan beberapa pasal kontroversial di UU ITE. Oleh karena itu, beberapa pihak yang mengkritik UU ITE mengharapkan agar beberapa pasal kontroversial dalam UU ITE dihapus dan dikembalikan ke KUHP.
Hemi menjelaskan bahwa beberapa pasal kontroversial dalam UU ITE seperti pencemaran nama baik, pencurian data pribadi, dan lain sebagainya terdapat dalam KUHP. Namun, pemerintah menggunakan UU ITE karena beberapa pasal dalam UU ITE tersebut masih bersifat umum, berbeda dengan KUHP yang sudah diperinci ketentuan penggunaannya.
Pertanyaan lainnya yang diajukan adalah mengenai masalah kebebasan berekspresi itu sendiri yang cenderung tak ditanggapi secara antusias oleh masyarakat.
Hal ini dijawab, bahwa apapun yang terjadi pemerintah wajib menegakkan supremasi hukum yang berlandaskan keadilan dan menjamin kebebasan berekspresi. Di sisi lain, jika pemerintahnya bersikap represif terhadap orang-orang yang mengkritiknya, maka yang menjadi korban pertama dari sikap represif tersebut adalah masyarakat juga. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan masyarakat baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintah atau rezim, sebenaranya sama-sama mendukung revisi UU ITE dan penghapusan terhadap pasal-pasal yang kontroversial.
Sebab, kedepannya UU ITE dikuatirkan akan ‘berevolusi’ memperkuat arogansi sosok yang menjabat sebagai pemerintah dan memperkuat budaya hormat ‘orang awam’ kepada ‘ndoronya’. Tentu saja produk hukum ini sangat merugikan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com