Saat ini di seluruh dunia, termasuk Indonesia, sedang mengalami kriris pandemik Corona. Pandemik ini, bukan hanya akan berdampak pada kesehatan, namun juga pada ekonomi.
Di Indonesia sendiri, sudah ada lebih dari 2.000 yang terinfeksi dan jumlah tersebut terus bertambah dari hari ke hari. Jumlah yang terus meningkat secara signifikan setiap harinya membuat pemerintah saat ini mengimbau seluruh warganya untuk bekerja dari rumah (work from home).
Untuk membahas persoalan ini, pada hari Jumat, 3 April 2020, Suara Kebebasan mengadakan Webinar Forum Kebebasan dengan mengundang peneliti dan ekonom Centre For Strategic and International Studies (CSIS), Pak Haryo Aswicahyono. Editor Pelaksana Suara Kebebasan, Haikal Kurniawan, menjadi moderator dalam webinar ini.
Seperti yang kita ketahui saat ini, pemerintah sudah menghimbau warganya untuk melakukan social distancing mulai pertengahan bulan Maret lalu. Di awal diskusi, Pak Haryo menekankan pentingnya kepatuhan social distancing yang dijalankan warga saat ini merupakan kunci utama dalam memperlambat penyebaran virus.
Memperlambat penyebaran virus merupakan hal yang sangat penting karena kemampuan rumah sakit untuk menampung pasien terbatas. Apabila ada kenaikan yang sangat tinggi dalam waktu singkat, tentu akan sangat sulit bagi fasilitas kesehatan untuk menampung dan mengobati pasien-pasien tersebut.
Pak Haryo juga menjelaskan bahwa kebijakan-kebijakan seperti diskon tiket pesawat bukan hal yang tepat dilakukan. Setiap negara yang terkena kasus virus Corona tentu akan mengalami dampak negatif terhadap perekonomian. Bila mengembangkan sektor pariwisata untuk menutup kerugian akibat Corona, akan berakibat pada penyebaran virus yang lebih melonjak lagi.
Untuk mensukseskan himbauan social distancing dan berdiam di rumah, Pak Haryo menekankan pentingnya pemerintah memperhatikan analisis cost-benefit dari aturan tersebut. Tidak bisa selamanya dilakukan bantuan sosial apabila kemudian inflasi tinggi. Kepatuhan masyarakat terhadap himbauan tersebut sangat bergantung juga pada trade-off yang dilihat oleh masyarakat mengenai manfaat yang akan mereka dapatkan bila mereka melakukan social distancing atau berdiam di rumah.
Memasuki sesi tanya jawab, ada beberapa pertanyaan dan tanggapan menarik yang diajukan oleh para peserta diskusi yang hadir. Diantaranya adalah kebijakan dampak lockdown terhadap pasar, bagaimana menghadapi masalah kekurangan stok dan supply, human ingenuity yang muncul di tengah krisis, apakah bila lockdown diberlakukan akan mengancam kebebasan, serta bagaimana reaksi masyarakat kelas menengah ke bawah bila diberlakukan high enforcement.
Kebijakan lockdown tidak mempan apabila hanya berupa pernyataan saja. Butuh hukum dan insentif cost and benefit kepada masyarakat. Bila lockdown hanya sebatas statement saja dan masyarakat tidak melihat ancaman Corona sebagai hal yang serius, maka hal tersebut tidak akan bisa berjalan dan tidak akan efektif.
Selain itu, dalam webinar ini juga dibahas mengenai efektifitas dari rapid testing. Pak Haryo dalam hal ini, membahas bahwa, melalui statistik, kita bisa mengambil sampel dan mengetahui daerah mana yang harus diprioritaskan, karena kita memiliki sumber daya yang terbatas. Bila rapid testing dilakukan secara acak dan tanpa strategi, maka hal tersebut tidak akan efisien dan akan membuang-buang sumber daya.
Melihat berbagai skenario tersebut, ekonomi Indonesia saat ini bergantung pada seberapa cepat dan efektif pemerintah menangani pandemi ini. Semakin buruk penanganannya, maka korban akan terus berjatuhan dan akan semakin sulit membendung dampak ekonomi dan pandemik ini.
Untuk menangani virus ini, tidak bisa semua solusi atau langkah yang diterapkan di semua negara cocok untuk diterapkan di Indonesia. Terdapat berbagai perbedaan budaya, sistem pemerintahan, dan kondisi sosial dari masyarakat itu sendiri yang harus diperhatikan oleh para pengambil kebijakan.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.