Cerita Webinar: Dilema Kebijakan Perkebunan Tembakau dan Kesehatan Masyarakat

550

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat populasi perokok tertinggi di dunia. Harga rokok yang relatif murah dan regulasi tempat-tempat untuk merokok yang tidak begitu ketat merupakan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap banyaknya perokok di Indonesia.

Oleh karena hal tersebut, perkebunan tembakau di Indonesia merupakan perkebunan yang besar untuk memenuhi keinginan masyarakat terhadap produk-produk rokok. Perkebunan tembakau juga telah menyumbang banyak lapangan kerja bagi banyak petani di Indonesia.

Namun, pada saat yang sama, pertanian tembakau di Indonesia juga bukan tidak menimbulkan dilema yang serius. Salah satu dilema yang dihadapi tentu adalah, di satu sisi, pertanian tembakau telah menyumbang banyak tenaga kerja, tetapi kita juga tidak bisa membantah mengenai bahaya rokok terhadap kesehatan publik, baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif.

Untuk membahas hal tersebut, pada 8 September 2020 lalu, think tank Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), yang juga merupakan salah satu organisasi mitra Suara Kebebasan, menyelenggarakan diskusi webinar yang mengangkat tema “Dilema Kebijakan Perkebunan Tembakau dan Kesehatan Masyarakat”. Editor Pelaksana Suara Kebebasan, Haikal Kurniawan, ikut sebagai salah satu peserta dalam diskusi ini.

Pembicara pertama adalah peneliti CIPS, Pingkan Audrine Kosijugan. Dalam presentasinya, dipaparkan bahwa, berbeda dengan di Eropa dan Amerika yang mengalami penurunan populasi perokok dari tahun ke tahun, di wilayah Asia Tenggara dan Afrika jumlah perokok justru semakin meningkat.

Meskipun demikian, Pingkan mencatat setidaknya ada tiga persoalan utama yang dihadapi oleh petani tembakau di Indonesia. Persoalan-persoalan tersebut diantaranya adalah pendapatan yang terus menurun, iklim yang tidak menentu, dan teknologi yang masih rendah. Aspek teknologi ini yang membuat produksi tembakau di Indonesia masih kalah jauh dengan negara-negara lain, seperti China dan Amerika Serikat.

Pingkan juga memaparkan bahwa cukai rokok telah menyumbang pemasukan yang besar kepada negara. Pada tahun 2019 lalu, cukai rokok sudah menyumbang 143 triliun rupiah atau 95% dari seluruh pendapatan negara melalui cukai di Indonesia.

Terkait dengan penanggulangan dampak negatif dari konsumsi rokok, Pemerintah Indonesia juga sebenarnya sudah memiliki berbagai layanan untuk membantu masyarakat mengurangi konsumsi rokok, salah satunya adalah melalui layanan hotline. Namun, sayangnya layanan hotline tersebut masih memiliki banyak kendala, diantaranya adalah nomor yang sulit untuk dihubungi.

Pembicara kedua adalah ketua Center for Health Economics and Health Policy Universitas Indonesia, Prof. Hasbullah Thebrany. Dalam pemaparannya, Prof. Hasbullah memaparkan bahwa setiap kebijakan publik pasti akan selalu ada pro-kontra dan kontroversi, termasuk juga kebijakan terkait dengan tembakau.

Prof. Hasbullah memaparkan bahwa kebijakan untuk mendorong industri rokok dan pada saat yang sama juga mengupayakan untuk menurunkan dampak negatif dan konsumsi rokok merupakan kebijakan yang saling bertolak belakang dan tidak bisa disatukan. Ia juga memberi kritik pada paradigma bahwa cukai rokok adalah bentuk dari kontribusi industri rokok terhadap negara.

Cukai rokok, bagi Prof. Hasbullah, adalah kontribusi yang dibayarkan oleh para perokok yang dipaksa oleh negara untuk membayar “denda” karena mengkonsumsi zat yang membahayakan kesehatan. Tujuan dari kebijakan cukai adalah untuk mendorong pengurangan konsumsi barang-barang yang diberi cukai. Oleh karena itu pendapatan melalui cukai harus diupayakan diturunkan dan jangan dinaikkan.

Sehubungan dengan para petani tembakau, kita juga tidak bisa menghilangkan mata pencaharian mereka. Untuk itu, Prof. Hasbullah mengadvokasi agar pemerintah dapat membantu para petani tembakau untuk beralih ke tanaman lainnya yang tidak membahayakan kesehatan. Kebijakan ini bisa dilakukan melalui dengan memberikan sebagian uang negara dari hasil cukai rokok misalnya, untuk diberikan kepada para petani tembakau, untuk membantu mereka beralih untuk menanam tanaman lain.

Pembicara ketiga adalah Mogadishu Djati Ertanto dari Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Dalam pemaparan awalnya, Mogadishu memaparkan bahwa rokok Indonesia adalah produk rokok yang sangat khas dibandingkan dengan negara-negara lain karena memiliki rasa dan menggunakan bahan yang berbeda dengan rokok-rokok yang dijual di luar negeri, seperti cengkeh misalnya.

Mogadishu juga memaparkan bahwa ia sepakat dengan pandangan dari Prof. Hasbullah bahwa kebijakan cukai merupakan kebijakan yang ditujukan untuk memitigasi dampak negatif dari konsumsi barang-barang tertentu, termasuk produk-produk rokok. Mogadishu juga memaparkan bahwa, terkait dengan saran dari Prof. Hasbullah terkait pengalihan dari tanaman tembakau ke tanaman lain tidaklah mudah.

Mogadishu memaparkan Indonesia tidak memiliki hukum dan aturan untuk memaksa petani menanam tanaman tertentu. Setiap petani bisa melihat tanaman apa yang menurut mereka memiliki nilai ekonomi untuk ditanam dan dipanen. Selain itu, terkat dengan perkebunan tembakau, tidak sedikit pula para petani tembakau yang sudah memiliki profesi tersebut secara turun temurun dari keluarga mereka. Tentu hal ini akan menimbulkan tantangan tersendiri bila kita ingin mengalihkan para petani tembakau untuk menanam tanaman lain.

Memasuki sesi tanya jawab, ada pertanyaan yang masuk mengenai bagaimana pandangan pemateri terkait dengan upaya harm reduction melalui produk-produk alternatif lain untuk mereduksi dampak negatif rokok tembakau, seperti rokok elektronik, atau vape. Prof. Hasbullah memaparkan kebijakan reduksi bila mampu seharusnya dihindari total. Selain itu, Prof Hasbullah memaparkan bahwa menurutnya, belum ada bukti vape lebih aman daripada rokok.

Pingkan memaparkan bahwa, terkait dengan vape, ia mendukung adanya riset lebih lanjut untuk meneliti apakah vape lebih aman atau tidak dari rokok konvensional. Sementara itu, Mogadishu mengambil posisi dari sisi pemerintah, bahwa lembaga seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah memulai penelitian untuk meneliti produk-produk tembakau selain rokok, seperti vape. Untuk saat ini, produk-produk vape sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 sebagai produk tembakau selain rokok, yang salah satu ketentuannya melarang penjualan vape ke anak di bawah umur.

Sebagai penutup, kebijakan perkebunan memang kebijakan yang tidak mudah karena memiliki pengaruh terhadap mata pencaharian dan kesehatan jutaan orang. Di satu sisi, rokok memang terbukti membahayakan kesehatan.

Namun di sisi lain, kita juga tidak bisa menafikkan bahwa industri tembakau, termasuk juga perkebunan tembakau, telah memberikan lapangan kerja di banyak warga negara. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang memperhatikan hal-hal tersebut, yang dapat melindungi kesehatan, tetapi di sisi lain juga tidak mematikan mata pencaharian para petani di Indonesia.