Dalam tradisi libertarian, “equality” dan “equity” merupakan gagasan yang membutuhkan waktu berabad-abad untuk berkembang, dan banyak dipengaruhi oleh minat pasca-Renaisans terhadap filosofi kuno Stoicisme dan Epicureanisme.
Gagasan tersebut mencoba untuk menjelaskan bagaimana sebuah keadilan tersebut dapat diwujudkan yang secara sosial sempurna. Dua perbedaan tersebut kemudian menarik untuk dilihat dalam meneropong dan memahami beragam persoalan, seperti diskriminasi, kemiskinan, keadilan, akses, kontrol, dan sebagainya, serta cara mengatasinya.
Lantas, bagaimana memahami “equality” dan “equity” dan konteksnya? Bagimana hubungan antara kebebasan dengan kedua konsep tersebut?
Suara Kebebasan membahas hal tersebut dalam “Liberty Talks” Instagram Live Series yang berjudul “Equality and Equity”, Kamis, (20/10). Hadir sebagai narasumber dalam acara ini adalah Direktur Eksekutif Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS), Nanang Sunandar.
Nanang memulai diskusi dengan menjelaskan secara etimologi pengertian dua konsep tersebut di mana “equity” masuk terlebih dahulu ke dalam bahasa inggris pada tahun 1300-an daripada “equality.” Padahal, yang menjadikan hal ini menjadi unik adalah terminologi itu berasal dari kata yang sama dalam bahasa latin. Namun, pemaknaan dari dua hal itu adalah berbeda, secara bahasa “equity”, berbicara terkait dengan keadilan yang proporsional berdasarkan situasi dan konteks: kewajaran dan kelayakan, sementara “equality, yaitu adalah kesamaan dalam perlakuan, terlepas apapun perbedaanya.
Menjelaskan lebih lanjut terkait hal itu, Nanang dengan mengutip John Rawls mengatakan bahwa “equality” melihat prinsip keadilan sebagai kesamaan, sedangkan “equity”, sebagai keadilan karena kekhusuan manusia karena prinsip keperbedaan (difference principal) yang dimilikinya. Penggambaran hal itu bisa dilhat dari konsep hak, misalnya ketika bicara “equality”, ada yang disebut dengan konsep “equality before the law.” Sebaliknya, “equity” melihat keadilan tidak mengacu pada hak, terutama jika mengacu pada libertarian dan liberalisme klasik. Hal ini ia contohkan ketika melihat banyak konsep hak asasi manusia (HAM) saat ini yang berbeda dengan konsep liberalisme klasik.
Nanang menjelaskan, faktanya banyak konsep hak yang sekarang tidak berangkat dari pemikiran dan gagasan besar dari liberalisme klasik dan libertarian, misalnya, konsep hak pendidikan dan hak kesejahteraan . Selain itu, inilah yang coba dijelaskan oleh John Rawls, di mana harus membedakan dan mencoba mengelaborasi konsep hak yang mengacu pada kepemilikian, misalnya self ownership dan property right.
Nanang menjelaskan, bahwa dalam libertarian hak penuh terhadap sesuatuberangkat dari kepemilikian, sedangkan ketika munculnya hak-hak khusus tersebut akhirnya menjadi permasalahan terbaru karena hak itu dituntut melalui mekanisme pemaksaan atau pemindahan dari kepemilikian orang lain, sehingga dalam perspektif libertarian, hal ini menjadi sangat sumir. Klaim ini, seperti diketahui dan lazimnya, diajukan kepada negara. Kondisi inilah yang menjadikan dilema dalam pelaksanaannya.
Keruwetan inilah yang oleh Nanang digarisbawahi secara tegas, bagaimana posisi “equity” berada pada level-level kebutuhan yang dikonsepsikan menjadi hak khusus pada saat ini, sementara posisi negara memfasilitasi proses transfer dari kebutuhan akan hak ini dan melakukan pengambilan dari kepemilikan orang lain. Oleh karena itu, penting untuk menguji klaim-klaim negara ini untuk melakukan itu dan harus dikritik dengan mempertanyakan bagimana kriterianya.
Nanang mencontohkan dengan setiap kerentanan misalnya, seperti seperti identitas, mental, kemampuan. Hal ini harus benar-benar diuji, mengingat adanya sumber daya yang terbatas secara ekonomi. Oleh karena itu, harus mampu didefinisikan secara rigid terkait dengan pemenuhan hak itu dalam rangka keadilan.
Nanang mencontohan dalam konteks alokasi 30 persen sebagai pemenuhan gender di legislatif. Bagimana posisi ini memastikannya bahwa ini bentuk keadilan? Apa pertimbangannya? Hal ini harus dapat dipastikan dengan benar, mengingat pada prinsipnya kebijakan ini hanya melihat pada aspek perempuan saja, tanpa melihat latar belakangnya, tingkat pendidikan, dan kekayaan. Padahal di sisi lain, banyak orang yang lebih rentan berkali-kali lipat tidak mendapatkan akses tersebut
Dari diskusi diatas, pelajaran yang dapat diambil adalah bagaimana peran keadilan menjadi sangat penting, terutama setelah ada konsep “equality” dan “equity”. Mengutip John Rawls, Nanang menjelaskan harus memperhatikan dan harus berangkat pada basis individu dan selanjutnya melihat variable-variable lanjutan dengan cermat, serta keterbatasan sumber daya

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.