Bagaimana toleransi antar kebebasan beragama di Indonesia dan konsep dasar libertarianisme menjadi topik utama yang dibahas dalam webinar (17/9) Students for Liberty (SFL) Indonesia, dengan tema “Meninjau Ulang Nilai-Nilai Kebebasan di Indonesia.” Polemik penolakan pembangunan gereja yang terjadi di Cilegon, salah tafsir nilai kebebasan dalam hubungan masyarakat dan negara, atau studi kasus pluralisme di Indonesia menjadi salah satu alasan topik ini diangkat oleh SFL (serta jaringan lainnya, seperti Gertas, Suara Kebebasan, dan Indeks) dalam webinarnya.
Dibuka oleh Adinda Tenriangke Muchtar, Chief Editor Suara Kebebasan, dan dipandu oleh Iman Amirullah, webinar ini terbagi dalam tiga sesi, yaitu sesi pemaparan oleh Maria Julie Simbolon, sesi pemaparan oleh Nanang Sunandar, dan sesi diskusi bersama peserta webinar. Adinda menyampaikan terima kasih atas kolaborasi dengan SFL Indonesia, Gertas, dan BEM AMIKOM Yogyakarta terkait lomba esai tentang “freer Indonesia”. Adinda juga mengatakan pentingnya merawat dan melindungi, serta mempromosikan kebebasan bersama-sama apapun afiliasi dan kapasitas kita selaku individu.
Pada sesi pertama, Maria Julie Simbolon menghadirkan topik pemantik yang berjudul “Mengapa Kebebasan Agama Perlu Dilindungi?”. Berkaca dari situasi Indonesia saat ini yang dapat dikatakan tidak baik-baik saja, Maria menyorot kasus-kasus dinamis antar umat beragama yang terjadi di Indonesia. Seperti kasus pelarangan gereja di Cilegon, kekerasan terhadap penganut aliran minoritas dari suatu agama, pembangunan masjid oleh warga Tionghoa yang menandai fluktuasi toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia. Dengan demikian, kebebasan beragama di Indonesia sejatinya masih memiliki banyak tantangan. Dengan demikian, perlu komitmen serius dari berbagai pihak untuk menjembatani perbedaan yang ada.
Pertanyaan mengenai apa sebenarnya kebebasan beragama dan mengapa itu penting untuk dibahas? Maria Julie Simbolon menjawabnya dengan satu kalimat, “Kebebasan beragama adalah HAM”. Oleh karenanya, setiap manusia, hukum, aparatur negara sama-sama mempunyai tanggung jawab untuk menghormati kebebasana beragama. Sebagai non-derogable rights, kebebasan beragama berarti bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara maupun masyarakat dalam keadaan apapun. Namun, dalam praktiknya selalu menimbulkan masalah dan tantangan, khususnya ketika muncul pandangan baru dari luar ke-homogen-an mayoritas.
Hak kebebasan beragama dalam perlindungan negara menjadi poin pembahasan selanjutnya. Dalam tingkat internasional, Pasal 18 Deklarasi Universal HAM sudah menyatakan setiap orang berhak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Sementara itu, di Indonesia sendiri, hak kebebasan beragama dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945, yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, menjadi salah satu tugas negara untuk komitmen dalam melindungi hak kebebasan setiap rakyatnya dalam beragama dan beribadat.
Terakhir, adalah mengenai gerakan sipil dalam mewujudkan toleransi dan kebebasan. Kenyataan hidup dan berkembangnya berbagai agama menambah corak kemajemukan bangsa Indonesia. Satu hal yang patut dibanggakan adalah tidak adanya perang antar penganut agama yang dicatat dalam sejarah Indonesia (dan, semoga hal ini tidak terjadi seterusnya). Realita ini bisa dikarenakan adanya peran sipil (baik mayoritas maupun minoritas) dalam menjaga keharmonisan serta terus mengupayakan toleransi satu sama lain. Maka dari itu, penting untuk menitikberatkan pada penempatan manusia sebagai subjek, tanpa membedakan latar belakang, suku, etnis, dan agama. Setiap manusia, tak terkecuali, sama-sama mempunyai hak dasar yang sama, HAM.
Sesi pemaparan berikutnya adalah dari Nanang Sunandar. Berbeda dengan Maria Julie Simbolon yang membawa topik kebebasan beragama, Nanang Sunandar memilih untuk menggali ulang konsep dan nilai-nilai kebebasan. “Mengapa Libertarianisme lebih baik?”, menjadi subjek pembahasan pemaparannya. Pada awalnya, kebebasan dianggap sebagai perspektif negatif. Thomas Hobbes, dalam pepatahnya, Homo Homini Lupus, mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Dalam konteks kebebasan, ini berarti bahwa kebebasan seseorang pasti mengorbankan kebebasan orang lain.
Namun, hadirnya nilai kebebasan merupakan fenomena alamiah yang penting dalam membedakan eksistensi manusia dari benda-benda. Maka dari itu, nilai kebebasan alami menjadi sebuah fondasi dari filsafat politik libertarianisme. Nanang Sunandar menyorot satu tokoh utama libertarianisme, John Locke, terutama terkait dengan fundamental nilai libertarianisme. Pemikiran John Locke yang anti monarki, juga warisan dari lingkungan keluarganya, mempengaruhi gagasannya dalam toleransi beragama, konsep politik, negara, masyarakat politik, kontrak sosial, dan konsern tentang individu. Menanggapi konteks kebebasan beragama yang sebelumnya dibahas oleh Maria Julie Simbolon, Nanang Sunandar menyatakan argumennya bahwa negara sudah tidak seharusnya menjadi partisipan dalam urusan (ranah privat). Agama sendiri termasuk dalam ranah privat yang tidak seharusnya menjadi konsen publik.
Memasuki sesi pertanyaan dan diskusi, satu tanggapan esensial datang dari Lalu Roza. Ketidakjelasan ideologi yang direpresentasikan oleh pemerintah, khususnya partai politik, juga berpengaruh signifikan pada kehidupan pasar ide di Indonesia. Tidak seperti Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat, partai politik di Indonesia tidak memiliki kompas ide yang menonjol. Hal ini juga lantas menjadikan libertarian (atau ide-ide lain, seperti konservatisme, komunis, sosialisme, dan lain sebagainya) tampak seperti ide awam bagi masyarakat

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.