Cerita “Liberty Talks” Suara Kebebasan IG Live Series tentang “Feminisme dalam Industri Media”

59

Media memiliki peranan yang penting dalam penyampaian berita yang dikonstruksikan oleh jurnalis yang akan disebarluaskankan kepada masyarakat. Industri media sendiri kian mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu.

Sementara, industri media dikenal sebagai dunianya para maskulin, keterlibatan perempuan sebagai seorang jurnalis bukanlah sebuah perkara baru karena profesi jurnalis adalah pekerjaan umum yang dapat dilakukan oleh setiap orang tanpa memandang jenis kelaminnya. Bahkan banyak pula jurnalis perempuan yang berprestasi dan diakui keberhasilannya.

Perempuan sendiri menjadi isu penting dalam kebebasan jurnalis maupun dalam industri media. Perempuan telah lama berkecimpung dalam dunia industri media dan menjalankan perannya sebagai seorang jurnalis. Media yang dikenal sebagai tempatnya para maskulin, tidak menghalangi keinginan perempuan untuk turut berpartisipasi dalam memberikan gagasannya di bidang jurnalistik. Namun, masih ada perempuan yang mengalami perlakuan diskriminatif dalam tempat kerjanya sendiri. Hal ini tidak lepas dari identitas gender yang dibawanya, yakni sebagai seorang perempuan.

Lantas, bagaimana pentingnya kesetaraan gender dalam industri media? Mengapa perlindungan hak jurnalis perempuan krusial? Dan, bagaimana konteks kebebasan perempuan dan feminisme dalam dunia jurnalis pada umumnya dan khususnya menjelang Pemilu 2024?

Suara Kebebasan membahas hal tersebut dalam “Liberty Talks” IG Live Series yang bertema “Feminisme dalam Industri Media”, pada hari Rabu, (17/5). Diskusi ini menghadirkan Astari Yanuarti, Jurnalis/Ketua Redaxi dan dipandu oleh Managing Editor Suara Kebebasan, Samuella Christy.

Pada awal diskusi, realitas mengenai pentingnya peran media saat ini menjadi sorotan utama Astari, terutama saat momen-momen tahun politik saat ini. Dalam masyarakat modern, jurnalistik dan industri media berperan dalam menyediakan informasi kepada masyarakat. Mereka mengumpulkan, menyaring, dan menyajikan berita serta informasi terkini dari berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk tetap up-to-date tentang peristiwa dan isu-isu penting di sekitar mereka.

Tidak kalah penting juga, jurnalistik berperan penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas di berbagai sektor, termasuk pemerintah, bisnis, dan lembaga lainnya. Dengan melakukan investigasi, jurnalis dapat mengungkap kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau tindakan yang merugikan masyarakat. Dengan demikian, jurnalistik membantu dalam membangun masyarakat yang lebih demokratis dan adil.

Namun, di balik krusialnya peran media saat ini, kekerasan dan diskriminasi dalam industri media tidak bisa dielakkan. Terutama untuk jurnalis perempuan, menurut Astari. Astari menyorot bagaimana data Aliansi Jurnal Independen (AJI) mencatat ada 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi yang dilibatkan dalam riset tersebut. Dari jumlah itu, 82,6 persen di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual. Rinciannya, 704 jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan daring 26,8 persen, luring 18,2 persen, daring-luring 37 persen, dan yang tidak pernah mengalami kekerasan sebanyak 17,4 persen.

Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami jurnalis perempuan ini pun berbeda-beda, mulai dari body shaming, cat calling, pesan-pesan anonim, pelecehan, hingga pemerkosaan. Hal ini juga diperparah karena bukan hanya jurnalis perempuan saja, melainkan jurnalis secara keseluruhan. Adapun, diskriminasi dan stereotip yang diterima oleh jurnalis perempuan juga tidak jarang datang dari masyarakat umum.

Meskipun demikian, Astari juga mengapresiasi bagaimana perkembangan industri media saat ini sudah lebih ramah terhadap jurnalis perempuan. Berdasarkan pengalaman Astari sendiri, lomba-lomba maupun penghargaan yang dikhususkan pada jurnalis perempuan menjadi peluang keuntungan yang dapat dimanfaatkan. Kesetaraan dalam gaji maupun tingkat pemberdayaan (pelatihan) internal bagi setiap jurnalis juga semakin diperjuangkan.

Kembali lagi, regulasi yang mengakomodasi kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan memang perlu dikawal. Astari berharap, setiap perusahaan media dapat membuat Standar Operasional Pekerjaan (SOP) untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual serta pemulihan korban kekerasan seksual berdasarkan hasil riset tersebut. Selain itu, ia menilai Dewan Pers selaku regulator perlu terlibat dalam penyusunan SOP, memfasilitasi penyusunan SOP tersebut, dan mendorong perusahaan pers merumuskan SOP terutama untuk perusahaan pers yang memiliki sumber daya terbatas.

*****