Albert Venn Dicey, ahli hukum Inggris, mengatakan bahwa, “Kebebasan tidak aman kecuali dengan hukum.” Begitu juga libertarianisme yang mengusulkan masyarakat bebas di bawah hukum (‘rule of law’), di mana individu bebas untuk mengejar kehidupan mereka sendiri, selama mereka menghormati hak yang sama dari orang lain.
‘Rule of law’ adalah jaminan terhadap tindakan kesewenang-wenangan setiap orang, termasuk pemerintah. Hal ini karena kekuasaan tunduk pada batasannya, sehingga tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang. ‘Rule of law’ adalah kondisi yang diperlukan untuk masyarakat yang bebas. Tentu, dengan dilengkapi berbagai perlindungan, terutama aspek-aspek konstutisionalisme dan jaminan asasi, serta hak mutlak hak milik pribadi.
Lantas, bagaimanakah sejarah ‘rule of law’? Bagaimana relasi ‘rule of law’ dengan prinsip libertarianisme? Bagaimana menilik penerapan ‘rule of law’ di Indonesia. Suara Kebebasan membahas hal tersebut dalam “Liberty Talks” Instagram Live Series, dengan topik tentang Rule of Law, (8/8). Diskusi ini menghadirkan Wiranto Tri Setiawan, Peneliti Edushallman.
Pada awal diskusi, Wiranto menjelaskan bahwa secara etimologi ‘rule of law’ dipersepsikan dengan negara hukum. Gagasan negara hukum ini sudah digagas pada Zaman Yunani: Plato dan Aristoteles.
Plato ketika menjelaskan konsep negara hukum sebagai penyelenggaran negara dengan hukum, nomoi. Konsep Plato ini kemudian menyebar dan berkembang di Eropa seiring dengan banyaknya kekuatan absolutisme di berbagai negara, sehingga secara embrionik pula konsep nomoi menjadi berkembang. Meskipun demikian, catatan dari konsep yang paling kuat dalam hal ini adalah bagaimana negara membatasi adanya kekuasaan yang sewenang-wenang.
Selain itu, Wiranto juga menjelaskan bahwa ‘rule of law’ sebagai konsep tidak bisa dilepaskan dari konsep negara hukum yang sama, yaitu rechstaat. Rechtstaat cenderung dikenal di negara Eropa Kontinental dengan tokoh, seperti Immanuel Kant dan Julis Stahl.
Lebih jauh, ‘rule of law’ dikenal melalui gagasan ahli hukum asal Inggris, Albert Vein Dicey. Hal ini pertama kali mengemuka saat karyanya yaitu sebuah buku yang berjudul “Introduction of Studies of the Law of Constitution” mengemuka yang kemudian dirujuk banyak kalangan. Buku ini diinspirasi dari sebuah kondisi di Inggris yang absolut dan pentingnya sebuah negara dibangun atas prinsip keadilan, dan menggunakan hukum sebagai salah satu aspek yang harus dijunjung.
Albert menjelaskan ciri ‘rule of law’ terdiri dari tiga hal. Pertama, supremasi hukum yaitu adalah hukum menjadi tonggak dalam menjalankan sebuah negara. Untuk menjaga dan meniadakan kesewenang-wenangan kekuasaan. Hal ini adalah merupakan kritik dari Absoutisme.
Kedua, persamaan di muka hukum di mana kondisi yang memposisikan bahwa tidak ada seorang pun yang derajatnya lebih tinggi dari setiap orang. Hukum wajib menjaga hak-hak setiap individu, sehingga tidak ada strata yang lebih tinggi di hadapan hukum.
Ketiga, due process of law, yaitu merupakan gambaran di mana lebih condong bagaimana konstitusi untuk melindungi hak asasi dari warganya. Konstitusi bukan suatu sumber yang kultur secara tiba-tiba. Konstitusi timbul dari kondisi yang diperjanjikan dari masyarakat melalui kontrak sosial.
Hukum dalam konsep ‘rule of law’ untuk menjamin ketidaksewenangan dari pemerintah dan menjadi hak asasi individu. Wiranto menjelaskan bahwa ini adalah berangkat dari konsep libertarianisme. Dalam praktiknya, ‘rule of law’ di Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah dan belum berjalan dengan baik. Masih banyak intervensi dalam urusan warga. Hal itu bisa dilihat dalam aspek hak kepemilikan misalnya, praktiknya masih sangat terlihat negara bisa melakukan bisa mencabut hak-hak tersebut atas nama kewenangan.
Indonesia secara konstitusional sudah cukup merefleksikan apa yang dimaksud dengan ‘rule of law’, Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menjelaskan hal itu. Namun, yang menjadi banyak kritik adalah seringkali pengaturan di tingkat undang-undang atas nama negara hukum, negara seringkali membuat produk hukum yang berbasis kepentingan kekuasaan negara. Hal ini juga terlihat di RKUHP dan juga pertanahan atas kepentingan umum. Dalam permenkominfo misalnya, pemerintah memberikan pembatasan kepada individu dan masyarakat dalam konteks, kebebasan berpendapat, berekspresi, dan hak atas informasi.
Wiranto juga menjelaskan, bahwa bangkitnya otoritarianisme global pada saat ini merupakan tantangan tersendiri dengan ‘rule of law’. Kekuatan negara mulai menguat pasca pandemi dan selalu berdalih atas nama besar supremasi hukum. Alih-alih menggunakan alasan supremasi hukum, pemerintah justru telah menerapkan kebijakan yang mengebiri hak-hak warga sipil.
Harus diakui bahwa ini adalah tantangan yang berat dalam kehidupa bernegara. Negara sudah memiliki aturan yang jelas tentang perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 28 UUD 1945, namun aturan di bawah konstitusi seringkali tidak sinkron. Kekuatan politik sekarang ini menunjukkan ada dorongan kekuasaan berlindung dibalik hukum untuk melakukan amputasi kebebasan dan menyebabkan pilar ‘rule of law’ tidak berjalan.
Apa yang menjadi permasalahannya? Mengapa produk hukum bermasalah? Salah satu alasannya adalah besarnya kepentingan penguasa untuk melindungi kekuasaannya. Dan proses pembentukan hukum di eksekutif dan legislatif juga tidak berjalan semestinya dan hanya melahirkan political will yang lemah. Menurut Wiranto, seharusnya, di tahapan pembentukan hukum bisa dijalankan dengan baik, namun unsur politik praktis selalu dikedepankan dan tidak peduli terhadap proses-proses partisipasi publik, kajian-kajian. Hal-hal ini pulalah yang membuat proses pembentukan itu menjadi polemik dan bermasalah.
Dari “Liberty Talks” kali ini, dapat dicatat beberapa hal penting. ‘Rule of law” harus menjadi nilai yang dijunjung tinggi dalam kehidupan berdemokrasi. Hukum dan penegakannya ada untuk menjamin HAM dan kebebasan kita dengan prinsip persamaan di muka hukum. Kita semua harus proaktif dalam mendukung penegakan hukum yang demokratis, akuntabel, dan transparan, serta tidak diskriminatif, agar hukum tidak disalahgunakan dan tetap menjamin kebebasan kita.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.