Pers memilki peran yang sangat penting di dalam sebuah negara. Di negara demokrasi, pers menjadi tolak ukur kebebasan bersuara demi majunya negara karena pers berperan penting dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat. Oleh karena itu, menjamin kebebasan pers sebagai salah satu elemen penting demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Dalam konteks Indonesia, kebebasan pers juga menjadi komitmen reformasi yang memberikan ruang besar bagi hak setiap orang untuk berkomunikasi dan mendapat informasi.
Lantas, bagaimana memahami kebebasan pers? Bagaimana libertarian melihat urgensi dari kebebasan pers? Bagaimanakah peran dan tantangan kebebasan pers untuk menjaga demokrasi di Indonesia?
Suara Kebebasan telah membahas hal tersebut dalam “Liberty Talks” IG Live Series dengan tema “Kebebasan Pers,” pada hari Kamis, (16/2). Hadir dalam diskusi ini yaitu kontributor Suara Kebebasan, Reynaldi Adi Surya.
Pada awal diskusi, Reynaldi menceritakan mengenai gagasan tentang bagaimana peran penting kebebasan dan filosofi dasar kebebasan dalam konteks libertarian. Dia tidak memungkiri bahwa banyak orang melihat kebebasan dari sisi yang kurang tepat. Padahal, kebebasan adalah sesuatu yang sifatnya fitrah sejak manusia lahir.
Kebebasan pers pada dasarnya memiliki relasi dengan kebebasan dalam arti filosofis yang disampaikan oleh Reynaldi terkait dengan kebebasan berekspresi dan berbicara. Ia menceritakan pada sejarahnya, di abad ke-16 dan 17, pers memiliki makna sesuatu yang dicetak, dan hal ini merupakan makna dari mencetak hal-hal apapun terkait dengan pendapat. Ia mencontohkan lebih lanjut, pada tahun 1800-an misalnya, tatkala Pemerintah Swedia memberikan kebebasan untuk mencetak. Namun, di Indonesia hal ini terasa berbeda, pers seolah hanya digambarkan sebagai wartawan atau jurnalis yang akhirnya dipersempit.
Kebebasan pers di Inggris dan Amerika sekitar abad ke-16 juga sama. Pada tahun 1600, setiap undang-undang yang terbit harus mendapatkan izin pemerintah agar tidak melawan pemerintah. Lantas, hal ini dikritik oleh salah satu tokoh penting, yaitu John Milton, yang mengatakan bahwa pada dasarnya informasi bukanlah barang. Informasi adalah kebenaran yang tidak perlu diizinkan dalam hal penyampaiannya karena kebebasan dalam pers adalah berbasis kepada kebenaran, bukan sifat subyektif.
Praktik pembatasan pers sejatinya juga berlangsung di Indonesia yang melintasi berbagai rezim, baik di Orde Lama yang harus berhati-hati dibredel, maupun di Orde Baru yang harus memastikan izin terbit untuk memastikan tidak bertentangan dengan pemerintah. Meskipun demikian, Indonesia pada dasarnya ketika memasuki era Reformasi mengalami banyak perubahan dan menemui momentumnya, terutama saat pers mendapatkan peran fundamentalnya kembali dalam mengontrol kekuasaan dan memastikan demokrasi yang ada, seperti diatur dalam UU Pers. Namun, Reynaldi berkali-kali masih mencatat masalah dalam penerapan UU tersebut, yang masih bergantung pada masing-masing rezim pasca Reformasi.
Reynaldi mencatat bahwa saat ini saja jurnalis masih sering mendapat ancaman dan pada tahun 2022 ada belasan wartawan yang ditangkap dalam menjalankan tugasnya. Padahal, penghalangan pers dapat dipenjara dan menjadi sorotan pada saat ini. Masalah ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di beberapa negara belahan lain juga mengalami hal yang sama. Bahkan, persoalan bredel dan ditangkap, termasuk kekerasan dan pembunuhan terhadap jurnalis masih kerap terjadi. Salah satu kasus yang cukup terkenal, yaitu pembunuhan terhadap jurnalis Saudi, Jamal Ahmad Kashoggi.
Terkait dengan adanya Dewan Pers dalam persoalan sengketa pers, hingga hari ini, Reynaldi juga masih mencatat bahwa masih banyak yang lolos ke kriminalisasi yang dilakukan kepada jurnalis dan terjerembab dalam hukum pidana. Inilah mengapa UU Pers saat ini masih kurang maksimal dalam perannya.
Pada akhir diskusi, Reynaldi juga menggarisbawahi terkait dengan perkembangan teknologi yang ada saat ini dan pers, sudah seharusnya ditindaklanjuti dengan memaknai teknologi dengan tepat. Selain itu, Reynaldi juga mengatakan bahwa hukum juga harus terbuka dengan definisi-definisi yang ada supaya tidak kontradiktif dengan perkembangan teknologi itu sendiri.
Hal ini mengingat bahwa pers berubah secara fundamental dalam perkembangan teknologi, bahkan koran media cetak sudah mulai berguguran. Namun, sekarang berita dan konten informasi semakin menjamur di mana-mana yang mana hal ini adalah fenomena lahirnya media digital merupakan hal yang umum seiring maraknya euforia digital di masyarakat. Hal ini berdampak pada paradigma pers yang berubah, di mana setiap individu bisa berpartisipasi dalam proses distribusi informasi yang ada. Oleh karena itu, kebebasan pers memiliki peran yang sangat penting, termasuk dalam menyikapi kebebasan pers dalam konteks perkembangan teknologi yang harus diantisipasi dengan tepat.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.