Kebebasan adalah karunia yang melekat atas kehidupan manusia. Nilai-nilai kebebasan, seperti martabat, kemerdekan, kesempatan, dan peluang yang sama telah menjadi motor atas lahirnya penyelenggaraan negara demokratis, penghormatan atas Hak Asasi Manusia (HAM), dan reformasi sipil lainnya. Oleh karena itu, kebebasan sebagai konsep yang universal, tidak dapat dicabut, fundamental, serta harus senantiasa didukung, dihormati, dan dijalankan dalam kehidupan baik dalam skala individu maupun negara.
Namun dalam praktiknya, kebebasan seringkali dibenturkan dengan agama, khususnya Islam. Salah satu perdebatan yang kerap muncul adalah bahwa Islam vis a vis dengan gagasan kebebasan yang dicap sebagai produk filsafat Barat. Meskipun di sisi lain, banyak pandangan sarjana dan intelektual muslim yang mengatakan sebaliknya. Hal ini tentu melahirkan pro dan kontra, termasuk di Indonesia. Perdebatan terkait dengan relasi hal ini tidak jarang memengaruhi kebijakan publik dan berdampak terhadap hak sipil di Indonesia.
Lantas, bagaimana melihat Islam dan kebebasan di beragam aspek kehidupan dari perspektif libertarian? Bagaimana membahas masalah Islam dan kebebasan dari sudut pandang teologis yang tercantum dalam kitab suci? Lalu, bagaimana menelaah Islam dan kebebasan di Indonesia saat ini? Topik menarik ini kemudian diangkat Suara Kebebasan dalam “Liberty Talks” Instagram Live Series, yang bertema, “Islam dan Kebebasan”. Diskusi yang diselenggarakan pada hari Selasa (5/4) ini menghadirkan Saidiman Ahmad, Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
Pada awal diskusi, Saidiman mengatakan bahwa hubungan antara Islam dan kebebasan atau demokrasi merupakan isu yang klasik. Frasa kebebasan dan demokrasi sendiri pun juga tidak bisa dilepaskan, mengingat kebebasan adalah perwujudan dari demokrasi politik. Oleh karena itu, istilah kebebasan dan demokrasi sering saling dipertukarkan.
Isu Islam dan demokrasi juga merupakan isu yang menarik, mengingat bahwa negara dengan mayoritas muslim di dunia yang menerapkan sistem demokrasi juga sangat sedikit, di antaranya Indonesia, Nigeria, dan Mali. Hal ini tentu memantik pertanyaan apakah betul fakta tersebut menjelaskan bahwa Islam dan demokrasi tidak kompatibel.
Saidiman menjelaskan bahwa ada beberapa teori yang mengatakan demikian. Salah satunya adalah Samuel Huntington dalam bukunya “The Clash of Civilization”. Huntington menjelaskan bahwa dalam benturan peradaban yang terjadi salah satunya antara Islam dan Barat, dalam konteks ini adalah demokrasi. Bahkan, Huntington menyampaikan bahwa para fundamentalis bukanlah penyebab benturan tersebut, melainkan karena memang inkompatibilitas antara nilai Islam dan Barat. Hal tersebut disebabkan karena Islam dan Barat memiliki nilai yang berbeda. Ide Barat mengenai demokrasi tidak kompatibel dengan Islam. Huntington bahkan menjelaskan bahwa problem yang dihadapi Barat adalah Islam itu sendiri.
Selain itu, juga ada pandangan bahwa Islam dan Barat memiliki banyak aspek perbedaan, misalnya konsepsi ummah dalam Islam yang sangat berbeda dengan konsep sekulerisme di Barat. Kemudian, konsepsi nation state yang mengakomodasi kedaulatan sebagai bagian dari penegakan hukum juga tidak ditemukan di Islam. Padahal konsep teritori dalam konteks demokrasi menjadi penting, di mana jika ada teritori, maka ada kedaulatan. Dalam ruang lingkup itu lah penegakan hukum dapat dilakukan.
Salah satu isu sipil yang penting adalah partisipasi perempuan misalnya, di mana Islam dan Barat berbeda. Ada kultur berbeda sekali antara Islam dan Barat, di mana dalam Islam, perempuan ditempatkan ditindas. Padahal gender merupakan faktor penting, misalnya dalam analisis Amartya Sen terkait kajiannya mengenai ekonomi, kesetaraan gender mempengaruhi kemajuan ekonominya. Negara yang tidak setara gendernya, kemajuan ekonominya setengah kali lebih lamban. Praktiknya, hal ini terjadi di banyak negara yang mayoritas muslim.
Oleh karena itu, jika ditinjau dari kacamata lembaga-lembaga demokrasi, tidak ada satupun negara Islam yang masuk kategori fully democratic. Kalaupun ada, hanya partly democratic. Lantas, apakah dengan begitu, secara esensial maka bisa dikatakan bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi atau kebebasan?
Saidiman menjelaskan bahwa, ada pemikiran Muhammad Abduh, dalam “Risalah Tauhid”, yang menjelaskan bahwa jika setiap orang konsisten semangat dengan tauhid, maka hal ini akan membawa kepada demokrasi dan kebebasan itu sendiri. Saidiman menjelaskan hal ini dengan megutip Nurcholish Madjid, yang menjelaskan bahwa pada dasarnya dalam hidup ini adalah profan, di mana Tuhan adalah yang paling benar, bukan manusia. Oleh karena itu, mekanisme yang tepat untuk hidup adalah demokrasi dan bukan malah mengkultuskan individu manusia, sehingga menjadi tiran.
Selanjutnya, Saidiman menjelaskan bahwa dari sisi fakta sosial, teori lainnya dapat ditemukan dari Saiful Mujani yang menulis buku “Muslim Demokrat.”, yang juga dapat digunakan untuk menguji bahwa teori Samuel Huntington Islam dan kebebasan tidak kompatibel adalah salah. Dari indikator itu, tesis bahwa Islam dan kebebasan tidak kompatibel adalah salah. Sebaliknya, Indonesia memiliki modal sosial yang penting untuk demokrasi. Misalnya, ritual yang dilakukan oleh NU, acara kenduri, sholat berjamaah, dan praktik keagamaan lainnya. Praktik-praktik ini memberikan deskripsi sosial yang sangat jelas, bahwa melalui praktik itu proses demokrasi berjalan dan berkembang dengan baik, karena melibatkan banyak pihak dan bukan dilakukan sebatas ritual ibadah semata.
Lalu, mengapa di Indonesia Islam dan kebebasan bisa jalan beriringan seiring dengan dinamika munculnya fundamentalis di Indonesia? Saidiman menyebutkan hal ini terjadi karena Indonesia memiliki kekuatan civi society yang kuat. Hal ini diwakili oleh kehadiran NU dan Muhammadiyah. Dua ormas berideologi moderat ini memiliki modal sosial yang besar untuk demokrasi. Tak ayal tokoh-tokoh pemikir gerakan pembaharuan Islam yang terbuka dengan gagasan demokrasi lahir dari rahim ormas ini. Misalnya saja, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Ulil Abshar Abdalla, dan banyak lainnya. Dengan kata lain, pemikiran dari para tokoh yang moderat dan liberal ini turut kuat digaungkan dan berkembang, karena juga diinstitusionalisasikan melalui kedua ormas tersebut.
Pada akhirnya diskusi, Saidiman menjelaskan bahwa dari hasil survei yang ada, mencatat bahwa dalam bidang sosial, intoleransi tinggi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi tren penurunan seiring meningkatnya toleransi karena orang-orang bebas berinteraksi dengan orang-orang dengan beragam latar belakang. Di sisi lain, Saidiman juga memberikan catatan terkait survei berkaitan dengan intoleransi di bidang politik, yang grafiknya tinggi, dan justru mengalami tren kenaikan dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini karena adanya persoalan partai politik yang menggunakan isu agama sebagai komoditas politik saat melakukan kampanye.
Sebagai penutup, apa yang dapat diambil dari paparan Saidiman dalam “Liberty Talks” kali ini adalah pentingnya untuk mengelola agama, khususnya Islam, dan kebebasan. Islam dan kebebasan merupakan kesatuan yang bisa diterapkan dalam proporsi yang tepat. Modal sosial di Indonesia yang notabene mayoritas muslim adalah fakta yang jelas. Selanjutnya, adalah bagaimana caranya kita untuk terus mengkontekstualisasikan Islam dan kebebasan dengan semangat kekinian sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan saat ini.
*****

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.