Berbicara “consumer choice” tidak dapat dilepaskan dari aspek konsumen. Konsumen merupakan salah satu aspek ekonomi yang sangat penting dan fundamental. Hal ini karena konsumen memiliki dampak terhadap segala keputusan ekonomi yang lahir. Isu terkait konsumen juga menjadi problem yang krusial, karena seringkali adanya pembatasan alokasi dalam ekonomi tidak memberikan kesempatan bagi konsumen untuk mendapatkan pilihan yang layak terhadap suatu barang dan jasa.
Sebaliknya, pada kondisi yang berbeda muncul anggapan juga bahwa konsumen seringkali menjadi korban atas perilaku atau tindakan yang tidak bertanggung jawab atas suatu produk atau layanan jasa. Hal ini menjadi problem yang cukup serius sekaligus tidak bisa dinggap mudah, di mana posisi dan peran konsumen seringkali nasibnya mengalami kerugian dan ketidakpastian hukum. Lebih jauh, masih ada permasalahan dalam hak memilih konsumen, karena regulasi maupun tekanan moral dan kepatutan dari masyarakat.
Lantas, bagaimana menempatkan persoalan konsumen di Indonesia? Bagaimana penerapan “consumer choice” di Indonesia?
Suara Kebebasan membahas hal tersebut dalam Liberty Talks Instagram Live Series yang berjudul “Consumer Choice”, Jum’at, (1/7/22). Diskusi ini menghadirkan Ari Margiono, Deputy Campus Director Binus @Malang.
Ari menjelaskan bahwasanya, isu cunsomer choice merupakan isu yang sangat penting dalam praktik ekonomi. Gagasan ini menjadi isu yang menantang realitas paternalistik dan membuka celah tertutupnya informasi di dalam pasar yang selama ini belum terselesaikan. Seperti diketahui, konsumen sebagai individu dan agen dalam sebuah sistem ekonomi adalah bagian penting terkait dengan relasinya dengan produsen.
Seiring dengan perkembangan teknologi, maka fenomena ini mendobrak masyarakat yang paternal yang menempatkan konsumen sebagai bagian yang terkesampingkan. Terbukti bahwa teknologi mampu dengan baik mendemokratisasi proses pasar. Proses-proses seperti informasi asimetris dan struktur yang melihat struktur paterna dalam masyarakat, dapat ditantang dengan baik oleh kemajuan teknologi.
Kondisi ini mendapatkan momentum yang tepat tatkala era teknologi pada tahun 1998 dan 2000an seiring dengan perkembangan demokrasi yang semakin menguat di Indonesia. Hal ini terjadi karena, secara otomatis, ruang suara konsumen lebih banyak bisa terdengar lebih luas. Apalagi ditunjang kekuatan media sosial yang mampu mendiseminasi dan menyuarakan lebih keras terkait pandangan individu, khususnya terkait dengan konsumen.
Meskipun demikian, tantangan dengan isu advokasi terkait dengan isu konsumen di Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah dibandingkan dengan isu serupa di luar negeri. Misalnya, aspek pengembalian barang dalam jual-beli barang. Di luar negeri, klausul terkait dengan pengembalian barang merupakan salah satu hal yang patut dijadikan contoh. Hal ini karena banyaknya produsen memberikan ruang bagaimana prinsip consumer choice difasilitasi secara baik. Pun, ada juga konsumen yang menyalahgunakan hal ini dan bersifat manulatif terkait kebijakan pengembalian barang.
Meskipun demikian, Indonesia tidak kalah maju. Proses demokratisasi teknologi di Indonesia, menunjukkan bahwa terkait dengan hal tersebut masih berproses dan menunjukkan perkembangan yang serupa untuk mendukung terciptanya iklim yang sama. Misalnya bisa ditemukan mulai munculnya beragam “terms” jual beli dalam proses pengakomodasian kepentingan konsumen.
Selain itu, tantangan lainnya adalah ketika muncul teknologi yang mendemokratisasi pasar, namun tidak dapat dipungkiri bahwa tantangan terciptanya pasar masih muncul, seperti terkait dengan asymmetric information. Hal ini masih sering terjadi.
Ari tidak menafikkan bagaimana fungsi kebijakan dan hukum menjadi penting dalam kondisi seperti ini. Ia tidak menutup bagaimana intervensi negara untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berpotensi mendistorsi pasar harus diselesaikan. Namun, ia menggarisbawahi bahwa regulasi yang berlebihan juga harus diantisipasi karena justru bisa mendistorsi pasar.
Aspek regulasi menjadi sangat penting, mengingat banyak tantangan antara mass market yang terdemokratisasi nyatanya tidak berbanding lurus dalam level ownership perusahaan. Hal ini mengakibatkan meskipun secara realitas bisa terlihat demokratis, namun sejatinya berpotensi adanya pelanggaran, misalnya terkait monopoli. Hal ini tentu tidak berdampak baik untuk konsumen dan pasar.
Tidak dapat dipungkiri, tantangan munculnya banyak pilihan produk seiring dengan perkembangan teknologi juga memiliki tantangan tersendiri terkait dengan banyak pelanggaran dan penyalahgunaan. Menanggapi hal itu, Ari mengatakan sangat penting untuk memahami bahwa cunsomer choice juga harus berbanding lurus dengan kemampuan individual responsibility dalam mengakses produk dan jasa layanan. Oleh karena itu, literasi yang berkaitan dengan hal ini sebagai bentuk tanggung jawab individu menjadi sangat penting. Ia menjelaskan bahwa kondisi-kondisi demikian merupakan munculnya unintended consequences kebijakan.
Ari menjelaskan dalam berbagai sisi, dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah berjalan baik untuk mendorong infrastruktur isu consumer choice. Penting untuk menjaga agar advokasi terhadap hal tersebut terus dilakukan dan prinsip-prinsip consumer choices tidak boleh dilanggar. Selain itu, hal ini juga harus ditunjang dengan individual responsibility dan memastikan pasar bisa berjalan dengan baik.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.