Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja saat ini merupakan salah satu topik yang kerap menjadi kontroversi. Sebagian pihak mendukung RUU tersebut, yang dianggap akan membawa dampak positif bagi Indonesia. Sementara itu, tak sedikit juga kalangan yang menolak keras, dan menganggap bahwa RUU tersebut akan merugikan para pekerja dan mendorong eksploitasi.
Untuk membahas mengenai hal tersebut, pada hari Jumat, 13 Maret 2020, organisasi pegiat hak sipil dan kebebasan ekonomi, Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks), menyelenggarakan konferensi pers untuk menyatakan posisi terkait RUU tersebut. Indeks dalam acara tersebut juga mengundang beberapa organisasi mitra, diantaranya adalah Suara Kebebasan dan The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII). Konferensi pers tersebut diadakan di Bakoel Koffie, Cikini.
Mewakili Indeks, yang menjadi pembicara adalah Nanang Sunandar, yang merupakan pendiri dan direktur dari organisasi tersebut. Suara Kebebasan diwakili oleh chief editor Adinda Tenriangke Muchtar, dan TII diwakili oleh peneliti bidang ekonomi Rifki Fadillah. Haikal Kurniawan, yang merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan, menjadi moderator di acara konferensi pers tersebut.
Secara umum, para pembicara menjelaskan pentingnya kebebasan ekonomi bagi kemajuan dan kesejahteraan. Kita mengetahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang akan mendapatkan bonus demografi. Bonus demografi berarti populasi muda di Indonesia akan semakin meningkat.
Nanang Sunandar sebagai pembicara pertama membahas mengenai kebebasan ekonomi. Kebebasan ekonomi sendiri merupakan suatu kondisi di mana setiap individu memiliki kebebasan untuk mengadakan kontrak dan terlibat dalam transaksi ekonomi dengan siapapun yang ia inginkan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh lembaga think tank pemerhati kebebasan ekonomi, The Heritage Foundation, kebebasan ekonomi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kesejahteraan suatu negara. Negara-negara yang memiliki kebebasan ekonomi yang tinggi memiliki pnedapatan per kapita yang jauh lebih tinggi daripada negara-negara yang ekonominya ditekan dan dikontrol oleh pemerintah.
Selain itu, para pembicara juga mendorong proses pembahasan RUU untuk inklusif, transparan, akuntabel, serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Di poin ini, Adinda menekankan pentingnya sosialisasi dalam proses pembahasan RUU tersebut kepada beragam pemangku kepentingan untuk mendapatkan masukan dan memperluas dukungan publik. Hal yang serupa juga diucapkan oleh Rifki Fadillah sebagai peneliti bidang ekonomi. Rifki mengatakan bahwa melalui RUU ini, daya saing Indonesia dengan negara-negara tetangga, seperti Vietnam, dapat meningkat.
Bonus demografi sendiri tentu merupakan sesuatu yang sangat menguntungkan, karena kita akan mendapat banyak calon tenaga lerja baru. Untuk itu, adanya seperangkat aturan yang dapat mempermudah investasi dan membuka usaha merupakan sesuatu yang sangat penting agar bonus demografi tersebut bisa terserap ke dalam pasar tenaga kerja. Inilah tujuan dari RUU Cipta Kerja tersebut.
Memasuki sesi tanya jawab, ada beberapa pertanyaan menarik yang diajukan oleh para wartawan yang hadir di acara konferensi pers tersebut. Salah satunya adalah mengenai beberapa poin yang kerap menjadi kontroversi, diantaranya adalah perihal terkait bayaran per jam, tenaga kerja asing, dan upah minumum.
Sehubungan dengan bayaran per jam, hal tersebut justru merupakan hal yang adil untuk membayar seseorang berdasarkan ouput dari pekerjaan yang mereka lakukan. Pada saat ini, gaji pekerja umumnya ditentukan per bulan terlepas dari ouput yang dikeluarkan. Hal ini tentu merupakan sesutu yang tidak adil, karena pekerja yang menjalankan jam kerja yang lebih rendah mendapatkan bayaran yang sama dengan mereka yang memiliki jam kerja lebih tinggi.
Terkait dengan tenaga kerja asing, hal tersebut kerap menimbulkan pro dan kontra. Kedatangan tenaga kerja asing dianggap merupakan hal yang akan menyebabkan hilangnya lapangan kerja di dalam negeri bagi anak bangsa.
Akan tetapi, hal ini merupakan bentuk kesalahan cara berpikir. Berdasakan laporan Kompas misalnya, ada jauh lebih banyak tenaga kerja kita di luar negeri, dengan jumlah lebih dari 9 juta, dibandingkan dengan tenaga kerja asing di Indonesia yang hanya kurang dari 90.000 di tahun 2018 (Kompas, 2018).
Selain itu, coba bayangkan bila semua negara memiliki cara berpikir demikian, bahwa mereka akan melarang tenaga kerja asing di negara mereka. Indonesia niscaya menjadi pihak yang paling dirugikan karena berarti jutaan pekerja kita di luar negeri akan dipulangkan. Tentu bila kita ingin tenaga kerja kita dapat bekerja dengan aman di luar negeri, pada saat yang sama kita juga harus mampu bersikap fair terhadap tenaga kerja asing yang mencari nafkah di bumi nusantara.
Terkait dengan upah minimum, tentu kita juga harus bisa menyelaraskan upah tersebut dengan biaya hidup di suatu daerah yang berbeda-beda, dan juga pada kemampuan perusahaan. Upah minimum tinggi yang ditentukan oleh pemerintah pusat tentu bukan hanya saja merugikan pemilik usaha kecil dan menengah yang tidak mampu menggaji karyawannya, namun juga akan merugikan para pekerja itu sendiri.
Bila perusahaan tidak bisa berjalan karena tidak mampu menggaji para pekerjanya sesuai dengan ketentuan pemerintah, maka pilihan yang perusahaan tersebut miliki adalah dengan memecat sebagian pekerja atau menutup usahanya dan pindah ke negara lain. Bila hal tersebut terjadi, tentu pekerja menjadi pihak yang paling dirugikan karena pekerjaan mereka menjadi hilang.
Sebagai penutup, RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk mendorong terciptanya lapangan kerja yang lebih besar untuk menyerap bonus demografi yang akan didapatkan oleh Indonesia. Selain itu, RUU ini secara keseluruhan merupakan sesuatu yang penting untuk menyelaraskan berbagai aturan yang saling tumpang tindih dan berbeda-beda, yang tentunya akan mempersulit usaha dan pertumbuhan ekonomi.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.