Dalam interview dengan harian Inggris Financial Times beberapa waktu lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa liberalisme merupakan ide yang sudah usang.
Melihat tren naiknya kelompok populisme di dunia akhir-akhir ini, tidak sedikit yang mempercayai bahwa yang dikatakan Presiden Putin merupakan sesuatu yang benar. Dimulai dari fenomena Brexit di Britania Raya, terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat, hingga naiknya Bolsonaro di Brazil, Orban di Hungaria, dan Duterte di Filipina sekilas merupakan pertanda dari kehancuran tatanan liberalisme internasional.
Untuk itulah, pada hari Sabtu, 20 Juli 2018, Suara Kebebasan bekerja sama dengan Students for Liberty (SFL) Indonesia, mengadakan diskusi publik dengan mengangkat tema “Masa Depan Kebebasan di Indonesia” bersama peneliti Bursa Efek Indonesia, Poltak Hotradero, di Hiveworks Co-Work & Cafe Jakarta. Dalam diskusi ini, dibahas berbagai tantangan yang dihadapi oleh liberalisme, baik dari sisi ekonomi maupun kebebasan sipil, yang terjadi di luar negeri maupun di tanah air.
Tidak bisa disanggah bahwa liberalisme akhir-akhir ini memang mendapatkan banyak tantangan di negara-negara Barat. Isu terkait imigrasi merupakan salah satu isu sentral yang kerap menjadi perdebatan politik di Eropa dan Amerika Serikat, terutama imigran dari negara-negara mayoritas muslim. Penolakan terhadap multikuluralisme, kata Putin, merupakan salah satu penyebab naiknya berbagai kelompok-kelompok populis di Eropa dan Amerika.
Kebebasan imigrasi merupakan salah satu hal yang dijunjung tinggi oleh liberalisme. Namun, kebijakan membuka pintu untuk imigran juga memunculkan permasalahan tersendiri. Tidak sedikit warga negara-negara Barat yang melihat perbedaan budaya yang sangat kontras yang dimiliki oleh kaum migran dari negara-negara muslim sebagai suatu ancaman bagi gaya hidup dan nilai-nilai liberalisme yang mereka anut, seperti kebebasan berbicara, serta kesetaraan gender dan kelompok LGBT.
Amerika Serikat, yang sering dianggap sebagai patokan dari negara bebas, juga mengalami penurunan indeks kebebasan, terutama sejak terpilihnya Donald Trump sebagai presiden negeri Paman Sam tersebut. Lembaga pemerhati kebebasan sipil dan politik, Freedom House, yang memiliki laporan indeks kebebasan setiap tahun, memberikan nilai kebebasan Amerika Serikat dengan skor 86, dimana nilai 100 merupakan nilai sempurna. Skor ini merupakan penurunan drastis dimana Amerika Serikat mendapatkan nilai 94 pada tahun 2008.
Freedom House mencatat bahwa ada beberapa faktor mengapa skor kebebasan politik dan sipil di negeri Paman Sam tersebut turun. Diantaranya adalah perilaku Donald Trump yang kerap mengancam jurnalis dan menyatakan bahwa media merupakan penyebar kebohongan, hingga berbagai orasi Trump yang ingin memenjarakan Hillary Clinton yang merupakan lawan politiknya.
Dalam aspek ekonomi, Amerika Serikat yang terkenal sebagai negara yang menganut sistem ekonomi liberal, kebebasan ekonomi juga menurun. Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, yang didukung oleh liberalisme, yang telah terbukti sebagai sistem yang mampu mensejahterakan semua, dianggap telah gagal oleh banyak warga Amerika, terutama yang berlatar belakang kelas pekerja.
Globalisasi telah memungkinkan para pelaku usaha dan korporasi di Amerika, dan juga di berbagai negara dunia pertama, untuk memindahkan berbagai aspek produksi ke negara-negara berkembang demi efisiensi. Akibatnya, banyak pihak yang menganggap hal tersebutlah yang membuat para pekerja di negeri-negeri tersebut kehilangan pekerjaan. Untuk itu, Trump dalam kampanyenya berjanji untuk mengembalikan pekerjaan para pekerja tersebut ke Amerika melalui cara perang dagang dengan negara-negara lain, seperti memberlakukan tarif, pembatasan impor, dan sebagainya.
Di tanah air sendiri, kebebasan juga mengalami penurunan. Dalam aspek kebebasan sipil dan politik misalnya, laporan Freedom House pada tahun 2019 menunjukkan Indonesia mengalami perununan 2 poin menjadi 62 dari sebelumnya 64 di tahun 2018. Pada angka tersebut, Indonesia mendapatkan status partly free (setengah bebas) dan berada di posisi yang sejajar dengan negara-negara seperti Malawi, Lesotho, dan Papua Nugini.
Freedom House mencatat ada banyak aspek yang membuat skor Indonesia menurun. Tahun politik misalnya, membuat meningkatnya berbagai kasus pelanggaran kebebeasan berekspresi dan berpendapat. Penangkapan warga yang dianggap menghina pejabat dan presiden, hingga meningkatnya penggunaan aturan larangan penodaan agama untuk menyerang lawan politik merupakan beberapa hal yang menyebabkan penurunan angka indeks kebebasan sipil dan politik di negeri kita.
Tantangan kebebasan sipil dan politik di Indonesia diantaranya yang semakin meningkat, salah satunya juga disebabkan fokus kebijakan pemerintah yang saat ini sangat mementingkan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang dimotori oleh pemerintah mengharuskan adanya stabilitas politik dan sosial. Untuk mencapai hal tersebut, tidak jarang kebebasan sipil dan politik masyarakat yang menjadi korban.
Kebebasan ekonomi di Indonesia juga sangat terhambat mengingat masih banyaknya praktik korupsi dan sistem birokrasi kita yang terlalu menyulitkan para pelaku ekonomi. Belum lagi, masih banyaknya sektor-sektor tertentu yang didominasi dan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan BUMN, yang tidak memiliki insentif besar untuk mengambil resiko dan melakukan inovasi sebagaimana perusahaan swasta.
Memasuki sesi tanya jawab, ada beberapa poin menarik yang dibahas oleh para peserta. Kontibutor Suara Kebebasan Djohan Rady misalnya, memberi tanggapan yang berbeda terkait populisme. Djohan mengatakan, populisme saat ini kerap dibenturkan dengan liberalisme sebagai gagasan yang tidak bisa disatukan. Akan tetapi, bila melihat fenomena populisme yang terjadi di Eropa misalnya, kita bisa melihat bahwa ada pertemuan nilai dari kaum populisme dengan nilai liberalisme, yakni sikap anti terhadap sentralisme kekuasaan.
Para kelompok yang sering dianggap sebagai populis di Eropa pada umumnya memiliki sikap anti terhadap organisasi Uni Eropa. Mereka menginginkan agar negara mereka dapat membuat aturan sesuai dengan keinginan warganya secara otonom tanpa ada campur tangan organisasi supranasional. Mereka menganggap bahwa kekuasaan Uni Eropa untuk membuat aturan bagi negara-negara anggotanya terlampau besar, sehingga menghilangkan hak otonomi bagi setiap warga negara untuk membuat aturan di negara tenpat ia tinggal.
Sementara itu, pendiri organisasi pegiat kebebasan, Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS), Nanang Sunandar, memberi tanggapan terkait kinerja badan legislatif di Indonesia. Sudah merupakan rahasia umum bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita pada periode ini merupakan DPR yang paling sedikit membuat produk unddang-undang dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Bila sebagian kalangan melihat bahwa fenomena tersebut merupakan sesuatu yang negatif, akan tetapi Nanang memiliki pandangan yang berbeda. Ia melihat bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang sejalan dengan nilai-nilai liberalisme, yakni kekuasaan negara yang terbatas (limited government). Semakin sedikit produk undang-undang yang dibuat oleh DPR, maka semakin kecil pula intervensi negara terhadap kehidupan masyarakat.
Sebagai penutup, fakta bahwa liberalisme dan kebebasan di dunia yang semakin menghadapi berbagai tantangan merupakan suatu hal yang tidak bisa terbantahkan. Namun, bukan berarti kita harus menyerah dan tunduk pada musuh-musuh gagasan kebebasan.
Ditengah arus anti-liberalisme yang semakin meningkat, kita harus tetap berusaha untuk mempertahankan dan mempromosikan nilai-nilai kebebasan. Sejarah sudah membuktikan bahwa, ketika nilai-nilai liberalisme luntur, baik liberalisme ekonomi seperti keterbukaan pasar, atau liberalisme sosial politik seperti kebebasan berbicara, maka menurunnya taraf hidup masyarakat, meningkatnya praktik korupsi, serta munculnya pemimpin diktator merupakan suatu keniscayaan. Hal itulah yang harus kita hindari dan kita cegah dengan semaksimal mungkin.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.