Cerita Forum Kebebasan Webinar: UU Pornografi, Hak Privat dan Kebebasan Sipil

689

Isu mengenai pornografi merupakan isu yang kontroversial di Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang menganggap pornografi sebagai sebuah penyakit moral yang membahayakan generasi muda.

Pada tahun 2008 lalu, disahkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dengan terbitnya undang-undang tersebut, maka di Indonesia masalah pornografi baik bentuk gambar, percakapan, video, dan media lainnya adalah terlarang, karena dianggap merusak moral masyarakat.

Pelarangan tersebut cukup bermasalah khususnya dalam ranah seni dan tradisi di beberapa daerah di Nusantara. Selain itu, beberapa artis dan tokoh kerap terseret UU ini akibat video pribadinya tersebar di khalayak. Di satu sisi, mereka berdalih bahwa video mereka adalah koleksi pribadi bukan untuk ranah umum. Tetapi karena adanya UU ini, mereka tetap dianggap bersalah.

Untuk itu, pada tanggal 5 Januari 2021 lalu, Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi Forum Kebebasan Webinar yang mengangkat tema “Undang-Undang Pornografi, Hak Privasi, dan Kebebasan Sipil. Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Era Purnama Sari.

*****

Jika kita renungkan belakangan ini, ruang kebebasan sipil nampaknya belakangan semakin sempit. Banyaknya undang-undang yang mengekang kebebasan berekspresi seperti UU Pornografi dan UU ITE membuat warga negara agak sulit untuk secara terbuka meluapkan ekspresinya. Dalam hal ini, UU pornografi yang disahkan pada tahun 2008 telah membuat batasan untuk para pekerja seni dalam berkarya.

UU Pornografi dibuat dengan dasar untuk menjaga moralitas dan norma masyarakat Indonesia yang menjunjung nilai-nilai Pancasila. Karena itulah, harus dibuat suatu produk hukum yang sah untuk melindungi moralitas bangsa Indonesia dari hal-hal yang buruk, salah satunya pornografi.

Namun, undang-undang ini dinilai multi tafsir. Pertama, dari aspek budaya, bagaimana tradisi Indonesia yang memperlihatkan lekuk tubuh dan tarian perempuan yang cukup erotis di beberapa daerah, apakah ini juga di pidana dalam UU Pornografi? Kedua, dari sisi gender, undang-undang ini juga cenderung lebih merugikan kaum perempuan, misalnya dalam kasus peremuan yang dipaksa melakukan hubungan seskual dan videonya tersebar. Perempuan tersebut sejatinya adalah korban, karena dirinya adalah korban karena dipaksa oleh suaminya untuk dijadikan video.

Ketiga, UU ini juga tidak ramah pada korban. Misalnya, pada kasus video dewasa beberapa artis di tanah air, mereka merekam video hubungan seksual hanya untuk urusan pribadi mereka. Harusnya, dalam hal ini mereka adalah korban karena video pribadi mereka diretas dan disebarkan ke khalayak umum. Namun, UU ini tetap mempidanakan mereka.

Di sisi lain, bagi kelompok yang memiliki kecenderungan seksual yang berbeda. Kelompok LGBT misalnya, juga berpotensi bisa dikenakan undang-undang tesebut. Sebab, UU Pornografi ini tidak membedakan antara kecenderungan seksual dengan perilaku seksual, sehingga kelompok LGBT kerap dipersekusi dan dikriminalisasi dengan undang-undang ini. Karena ketidakjelasan undang-undang ini dalam melindungi privasi masyarakat, banyak orang yang mengkritik undang-undang ini agar dibenahi kembali.

*****

Dalam sesi tanya jawab, ada beberapa pertanyaan yang diajukan peserta kepada pemateri. Pertama, bagaimana dengan hak privasi seseorang, misalnya, orang tersebut merekam video hubungan seksual hanya sebagai kebutuhan pribadi bukan untuk konsumsi publik. Lalu ada pihak yang meretas ponsel atau media sosial orang tersebut dan menyebarkan video mereka. Apakah mereka yang disebarkan videonya bisa disebut sebagai korban?

Secara ringkas pemateri menjawab tidak. Sebab, dalam undang-undang tersebut, mereka yang merekam dalam bentuk video, chat, atau gambar bisa dikenakan pidana, walaupun mereka membuat video atau gambar tersebut sebagai koleksi pribadi. Sebab, undang-undang ini tidak membatasi apakah tujuannya untuk koleksi pribadi atau untuk konsumsi umum.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana orang-orang pekerja seni seperti fotografer dan pelukis yang sering memotret dan melukis objek telanjang yang menggairahkan dan eksotis?

Pemateri menjawab, bahwa ketika undang-undang pornografi diresmikan, beberapa pihak yang mendukung UU ini beranggapan bahwa dalam pasal-pasal UU pornografi ini memberikan ruang bagi pekerja seni. Hal ini dianggap oleh para tokoh yang mendukung UU ini sebagai perlindungan terhadap para pekerja seni. Namun kenyatannya, bagi pekerja seni, UU ini belum bahkan tidak melindungi mereka, karena masih banyak pasal-pasal yang tidak jelas (pasal karet) yang bisa menjerat kebebasan berekspresi yang mereka miliki.

Sebagai penutup, Undang-Undang Pornografi merupakan produk hukum yang melanggar kebebasan berekspresi dan juga hak privasi individu. Dalam undang-undang ini misalnya, orang-orang yang bekerja dibidang seni, bisa dikenakan pidana, bahkan untuk korban pencabulan yang videonya tersebar juga bisa dikenakan hukuman. Untuk itu, undang-undang tersebut sangat penting untuk dievaluasi kembali, khususnya demi perlindungan kepada korban dan kaum perempuan.