Demonstrasi merupakan salah satu cara untuk mengutarakan pendapat dan opini di dalam negara demokrasi. Di berbagai negara demokrasi, termasuk Indonesia, demonstrasi merupakan sesuatu yang lumrah dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, mulai dari gerakan buruh, kelompok mahasiswa, dan organisasi sosial.
Namun, aksi-aksi demonstrasi ini tidak selalu berlangsung dengan damai. Tidak jarang, berbagai demonstrasi yang dilakukan tersebut diikuti berbagai aksi kekerasan dan vandalisme, seperti perusakan fasilitas umum, pembakaran bangunan, hingga kerusuhan yang menimbulkan korban luka-luka.
Untuk menangani hal tersebut, aparat penegak hukum sebagai institusi yang memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan tentu harus menjalankan tugasnya. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, tidak jarang penegak hukum juga melakukan tindak kekerasan terhadap para demonstran.
Lantas, bagaimana sebaiknya kita menanggapi fenomena tersebut? Apakah dimungkinkan mencari jalan tengah antara melindungi kekebasan sipil warga negara untuk menyalurkan opini dan aspirasinya, dan pada saat yang sama keamanan publik juga dapat terjamin dan terjaga?
Suara Kebebasan membahas mengenai topik ini dalam Forum Kebebasan webinar, pada tanggal 30 Oktober 2020, yang mengangkat tema “Urgensi Penanganan Demonstrasi Berbasis Kebebasan Sipil”. Menjadi pembicara diskusi tersebut adalah Peneliti Centre for Strategic & International Studies (CSIS), Fitri Bintang Timur.
*****
Demonstrasi adalah buah dari sistem demokrasi itu sendiri. Demonstrasi adalah salah satu bentuk ekspresi masyarakat untuk menyatakan pendapat dan pandangannya. Fenomena demonstrasi belakangan ini nampaknya sudah semakin lumrah. Banyaknya penyelewengan dalam pemerintahan dan juga banyaknya penyelewengan dalam kasus hukum, membuat suara-suara kritis anak negeri menjadi merasa terpanggil untuk membuat sebuah aksi protes.
Pemateri, Fitri Bintang Timur, mencontohkan salah satu demonstrasi yang cukup menghebohkan adalah demonstrasi penolakan Omnibus Law yang kemudian berujung pada tindakan represif aparat. Bukan hanya menangkap para demonstran, pemerintah lewat tangan aparat kepolisian juga menargetkan penangkapan pada suara-suara kritis di media sosial. Lewat UU ITE, aparat dan pemerintah seolah mendapat “restu” oleh hukum untuk melakukan tindakan pembungkaman terhadap suara kritis tersebut.
Tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru pada tahun 1998 merupakan angin perubahan yang membawa kesegaran demokrasi dan kebebasan hadir ditengah-tengah rakyat Indonesia. Setelah 32 tahun mengalami pengekangan dan juga pembatasan kebebasan, Indonesia berhasil menumbuhkan kultur demokratis setelah reformasi bergulir. Masyarakat mulai bebas dalam mengemukakan pendapat dan ekspresinya, serta mereka mulai berani melancarkan suara kritis kepada pemerintah.
Menurut Huntington (1995), terdapat 4 jalur transisi bagi suatu negara ke arah demokrasi. Yaitu, transformasi, transplacement, replacement, dan intervention. Namun, semua kriteria ini belum berjalan dengan baik. Di Indonesia sendiri, replacement terjadi dengan tidak sempurna, sebab masih banyak orang-orang Orde Baru tidak mau menggeser kursinya dan memberikan kepada rezim peralihan.
Transformsi ke arah demokrasi yang tidak berjalan sempurna, akhirnya menyebabkan euforia kebebasan tidak bisa dinikmati terlalu ama. Setelah 20 tahun reformasi, kebebasan dan demokrasi justru terasa semakin mengalami kemunduran. Munculnya ormas-ormas radikal, tirani mayoritas, kembalinya politik identitas, merebaknya pelanggaran HAM dan juga pengusutan kasus kejahatan kemanusiaan yang tidak pernah secara serius untuk diungkap, menjadi preseden buruk bagi jalannya demokrasi di negara kita.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah kekerasan aparat. Aparat kepolisian khususnya, belakangan seolah mendapat imunitas hukum sehingga alam beberapa kasus yang melibatkan anggotanya, seolah tidak ditangani secara serius. Contohnya adalah kekerasan pada demonstran penolakan RUU KPK tahun 2019 lalu dan juga demonstran yang menolak UU Omnibus Law.
Pembiaran terhadap kekerasan dan superioritas aparat dapat menjadi catatan buruk untuk demokrasi kita kedepannya. Demokrasi tidak bisa berjalan jika perbedaan pandangan diakhiri dengan kekerasan atau penangkapan. Demokrasi yang sejati justru membuka peluang untuk tiap orang berbeda dalam berpendapat.
Tindakan represif terhadap demonstran dan juga pembungkaman terhadap suara kritis, menyebabkan indeks demokrasi di Indonesia kemudian menurun. Menurut pemateri, menurunnya indeks demokrasi di Indonesia disebabkan karena sedari awal kita tidak melakukan proses demokratisasi secara sempurna. Walaupun “katanya” kita sudah memasuki era reformasi, namun masih ada beberapa produk hukum dan juga tokoh-tokoh yang masih memegang falsafah ala Orde Baru dalam menjalankan pemerintahan.
Munculnya pasal-pasal karet dalam undang-undang kita, seperti pasal pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan juga mengenai pornografi yang masih ambigu. Baiq Nuril adalah salah satu korban dari pasal karet tersebut. Dan tentu saja kedepannya akan lebih banyak lagi orang-orang yang terseret karena ambiguitas perundang-undangan kita.
Lebih jauh, demokrasi yang tidak berjalan dengan baik seperti penutupan suara kritis dan penangkapan pada para demonstran, lambat laun akan membuat situasi kebebasan di Indonesia akan terus menurun. Jika kebebasan di Indonesia terus memburuk, maka kosekuensinya adalah kekerasan terhadap sipil, kesewenang-wenangan pemerintah, dan tidak adanya jaminan hukum yang adil bagi rakyat akan terus terjadi
Menurut pemateri, hal yang mendesak saat ini adalah “menyelamatkan” demokrasi dan juga menjaga kebebasan di Indonesia. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah membuka lebih luas untuk kebebasan berekspresi dan berdemonstrasi. Demonstrasi saat ini adalah media penyampaian aspirasi yang paling lumrah, karena itulah pemerintah harus bisa menghadapi para demonstran dengan cara-cara yang manusiawi dan berbasis pada perlindungan hak asasi.
Jika pemerintah hanya mengandalkan aparat (dan aparatnya pun berlaku anarkis), maka tidak akan ada solusi yang didapat dan tak ada yang merasa terpuaskan. Padahal, demonstrasi yang digerakkan oleh massa memiliki tujuan untuk mencari solusi dan kesinambungan antara kebijakan pemerintah dan tuntutan rakyat. Jika masalah demonstrasi saja pemerintah tak mampu mengurus dengan benar, tentu ini akan membuat demokrasi kita menjadi semakin buruk.
*****
Mengenai masalah penanganan demonstrasi dan juga kekhawatiran terhadap memburuknya indeks demokrasi di Indonesia, tentu menimbulkan beberapa pertanyaan di kepala kita. Dalam diskusi kali ini, peserta melontarkan beberapa pertanyaan kepada pemateri, salah satunya adalah hal apa yang bisa dilakukan masyarakat sipil untuk memitigasi kekerasan aparat ketika terjadi demonstrasi.
Pemateri, Fitri Bintang Timur, menjelaskan bahwa ketika ada kekacauan di tengah-tengah demonstrasi, masyarakat sipil harus waspada, dengan siapa dia berada. Hindari jika ada orang-orang yang mencurigakan (dicurigai sebagai provokator), dan ketika dihampiri oleh aparat, masyarakat sipil harus tegas mengatakan bahwa mereka bukan demonstran dan provokator.
Pertanyaan lainnya, jika dari sisi demonstran, aparat bertindak anarkis untuk membubarkan para demonstran, lantas bagaimana cara aparat untuk membubarkan masa yang mulai anarkis dan melakukan aksi-aksi vandalisme?
Menurut pemateri, memang harus diakui bahwa dalam prosedurnya, aparat kepolisian akan melakukan tindakan tegas terhadap para demonstran yang melakukan aksi-aksi vandalisme. Namun, hak-hak dasar masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya tentu juga harus dilindungi. Bagaimanapun, aksi massa adalah salah satu bagian dari demokrasi yang harus dijaga.
Menurut pemateri, salah satu cara yang tepat untuk menangani demonstran adalah melalui pendekatan komunikatif, yakni dengan cara berkomunikasi dengan koordinator lapangan dan juga mengakhiri demonstrasi dengan dialog. Para koordinator lapangan juga harus memberikan imbauan pada anggotanya bahwa demonstrasi yang mereka lakukan adalah demonstrasi damai. Mereka juga harus melaporkan pada aparat jika terdapat orang yang dianggap sebagai provokator dan segera menjaga anggotanya agar tidak terprovokasi.
Pemateri juga menerangkan betapa pentingnya edukasi terhadap kesadaran berdemokrasi. Dalam demokrasi dibutuhkan masyarakat yang dewasa dan juga pemerintah yang bijak agar demokrasi di Indonesia menjadi matang dan pemerintah menyikapi persoalan-persoalan seperti demonstrasi secara terbuka.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com