Bulan Ramadhan adalah bulan yang sakral bagi umat Muslim. Di bulan ini, umat Muslim diwajibkan untuk menjalankan puasa sebagai bagian dari rukun Islam yang ketiga. Tujuan puasa hakikatnya adalah menjauhkan diri dari perbuatan tercela, menahan diri dari nafsu syahwat dan nafsu kerakusan serta menghiasi diri dengan kebaikan.
Di Bulan Ramadhan kali ini, isu mengenai toleransi dan kebebasan kembali menjadi sangat relevan. Pasalnya, di Indonesia banyak orang yang mengerjakan puasa namun tidak memahami hakikat puasa, yaitu kontrol diri dari segala godaan.
Sebut saja, penutupan paksa warung makan yang terjadi di Serang yang dilakukan oleh pihak aparat pemerintahan dengan dalih untuk menghargai orang yang berpuasa. Begitu pula dengan cara-cara sebagian orang dalam membangunkan sahur yang dianggap terlalu berlebihan seperti menyalakan petasan atau pengeras suara yang mengganggu sebagian orang.
Untuk membahas topik tersebut, pada hari Jumat, 23 April 2021 lalu, Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan yang mengangkat topik “Toleransi dan Kebebasan di Bulan Ramadhan”. Menjadi pembicara kali ini adalah Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, Alex Junaidi.
Di awal pemaparan materinya, Alex Junaidi menyinggung mengenai berita akhir-akhir ini yang berkaitan dengan penutupan warung makan dengan dalih untuk penghormatan pada bulan suci. Anehnya, jika dahulu aksi penutupan atau sweeping dilakukan oleh ormas-ormas berbaju Islam, kini setelah ormas dilarang melakukan razia, justru aparat pemerintahan seperti Satpol PP yang melakukan razia warung makan.
Menurutnya, tindakan ini tidak menampilkan semangat toleransi, tetapi intoleransi. Dari berbagai pemberitaan yang beredar di media, Pemerintah Kota Serang seolah-olah menutup mata dengan adanya sekelompok pemeluk agama dan penganut kepercayaan lainnya yang tidak menjalankan puasa. Dengan adanya penutupan paksa warung makan, maka itu sama saja Pemerintah Kota Serang tidak menghargai orang-orang yang tidak menjalankan ibadah puasa, termasuk pemeluk agama dan penganut kepercayaan lainnya.
Alex Junaidi juga mengatakan bahwa, selama ini media-media belum memberitakan mengenai adanya penutupan paksa warung-warung makan di beberapa daerah. Ini berarti penutupan warung makan di bulan Ramadhan merupakan peraturan tersendiri yang dijalankan di Serang.
Wilayah Jawa Timur misalnya, sebagai wilayah yang didominasi oleh pemeluk Islam, namun mereka menjadi wilayah yang toleran dan tidak mempermasalahkan kehadiran warung makan yang buka pada bulan Ramadhan. Menurut Alex, kebijakan penutupan warung ini tentu akan menyulitkan beberapa pihak, misalnya, orang-orang yang melakukan perjalanan jauh (musafir) tidak bisa mendapatkan makanan karena semua warung ditutup, hal ini tentu tidak benar.
Alex juga menjelaskan bahwa sudah lumrah biasanya warung-warung yang berjualan di bulan Ramadhan mengenakan kain tirai agar tidak menggoda orang yang berpuasa. Dan anehnya, beberapa warung yang dirazia beberapa waktu lalu sudah menutup warung mereka dengan tirai, lalu apa alasan aparat untuk merazia?
Para pemilik warung tersebut juga tidak berusaha untuk mengajak atau mengiming-imingi orang untuk makan di warung mereka. Beberapa orang datang ke warung tersebut murni karena keinginan mereka sendiri tanpa didorong oleh siapapun.
Dalam hal ini, Sejuk tidak hanya melihat perilaku aparat yang merazia rumah makan milik orang-orang, tetapi juga berusaha menyorot bagaimana perekonomian orang-orang yang dirazia ketika seluruh alat usahanya dirampas secara paksa. “Padahal tujuan dari puasa adalah memberikan empati pada orang lain,” kata Alex.
Kita juga tidak tahu misalnya, apakah Pemerintah Kota Serang memberikan insentif pada warung makan yang tidak membuka usaha mereka selama bulan Ramadhan. Dengan demikian, Pemerintah Kota Serang telah memotong hak ekonomi mereka.
Dalam sesi tanya jawab, ada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peserta. Salah satu peserta bertanya bagaimana peran wartawan dalam menanggapi peristiwa-peristiwa intoleran, seperti penutupan paksa warung makan misalnya. Alex menjawab bahwa dirinya juga menyayangkan sikap beberapa wartawan yang apatis mengenai hal ini, mereka hanya mencari komentar para pejabat tanpa mencoba untuk mewawancari tokoh-tokoh ulama moderat yang memiliki pandangan luas mengenai soal ini.
Ini yang disayangkan oleh Alex,bahwa tidak adanya kesadaran para wartawan terhadap isu kebebasan sehingga mereka hanya menulis berita sensasional tanpa memberikan edukasi pada masyarakat tentang pentingnya keberagaman dan toleransi. Pertanyaan lainnya, apakah berita-berita yang berkembang di dunia digital lebih menekankan kepada pencarian rating dan viewers sehingga mereka mencari berita sensasional tanpa melihat keragaman?
Alex menjawab bahwa memang di media digital insan pers kebanyakan mencari berita sensasional untuk meningkatkan pembaca (viewers) ketimbang menampilkan citra keberagaman. Hal ini tentu harus diubah, agar para pekerja media memiliki wawasan keragaman.
Pertanyaan lainnya, beberapa orang sering mengaitkan penutupan warung makan di bulan Ramadhan dengan kaum Hindu yang juga melakukan penutupan berbagai kegiatan pada Hari Nyepi. Alex menjawab bahwa, jika kita melihat pers, maka yang dilihat adalah sisi kontroversial dari suatu peristiwa. Kebetulan, media-media di Bali dan Indonesia tidak menemukan kontroversi dengan penutupan kegiatan selama Nyepi berlangsung. Sebaliknya, media menemukan adanya kontroversi ketika rumah makan di razia pada bulan Ramadhan.
Ini berarti ada yang salah ketika hal tersebut mulai terangkan menjadi suatu berita. Apalagi, dalam Islam ada beberapa orang yang diizinkan untuk tidak berpuasa sehingga keberadaan warung makan sangat penting bagi mereka.
Kesimpulannya Alex berpendapat bahwa penutupan rumah makan di bulan Ramadhan tidak tepat karena hal ini melanggar toleransi terhadap umat lain yang tidak berpuasa sekaligus menutup perekonomian warga yang bergantung dari berjualan makanan.
Di sisi lain Alex juga berharap agar media tidak hanya meliput suatu peristiwa dari satu narasumber saja. Akan lebih bijak jika dalam hal ini para wartawan mencoba mewawanacarai para tokoh-tokoh yang toleran sekaligus mewancarai orang-orang yang menjadi korban dari intoleransi agar dalam suatu pemberitaan yang dikedepankan adalah objektifitas bukan sensasionalitas.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com