Cerita Forum Kebebasan Webinar: Pungutan Liar dan Kebebasan Berusaha

340

Masalah pungutan liar memang belakangan ini menjadi sorotan serius. Di beberapa media nasional, pungutan liar atau pemalakan bahkan terus diberitakan sebagai bentuk pembuktian bahwa tindakan ini telah menjamur dan merugikan masyarakat.

Baik di lapak kaki lima, warung kecil, hingga pelabuhan dan perizinan, praktik pungli atau pemerasan masih dapat kita temukan. Dan mirisnya lagi, pungli seolah sudah menjadi masalah umum yang dimaklumi. Masyarakat pasif terhadap tindakan pungli ini. Meski kesal, namun tak ada orang yang berani berbicara soal praktik yang secara nyata merugikan masyarakat.

Untuk membedah persoalan ini, Suara Kebebasan tertarik untuk mengangkat soal pungli menjadi sebuah isu yang dibicarakan dan dikaji bersama dalam suatu forum diskusi terbuka. Untuk itu, Suara Kebebasan kemudian mengajak Danang Girindrawardana selaku Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), sebagai pembicara yang mengupas soal masalah pungli ini, pada hari Jumat, 5 November 2021.

Danang mengatakan kalau maraknya pungutan liar (pungli) di Indonesia sudah menjadi sesuatu yang alami. Danang menjelaskan bahwa pungli sampai saat ini masih marak terjadi salah satunya pada para pelaku usaha. Pungli bisa berasal dari komponen masyarakat atau dari oknum aparat dan ini menjadi sebuah penyakit di masyarakat yang akan terus terjadi.

“… Pungli akan menjadi sesuatu yang alami dan budaya di Indonesia…”ujar Danang.

“Tapi juga terjadi pungli yang dilakukan oleh oknum-oknum aparat. Nah, oknum aparat ini memiliki dalih atau modus yang sedikit berbeda dalam pungli-pungli seperti itu. Kalau kasusnya cukup besar misal pungli di pelabuhan, pungli di kontainer, pungli di biaya pembuatan SIM atau perpanjangan STNK,” tambahnya.

Menurut Danang, yang juga pernah menjadi Ketua Ombudsman Republik Indonesia 2011-2016, masyarakat juga apatis dalam melaporkan kejadian pungli di lapangan. Apatisme inilah yang ia anggap sebagai penyebab bagi menjamurnya oknum-oknum yang melakukan pungli.

Banyak juga masyarakat yang tidak mau ribut untuk melaporkan pungli mulai dari yang paling kecil. Hal itu kemudian menimbulkan sikap pasrah dan apatis dari masyarakat ketika melihat kejadian pungli.

“…Masyarakat sendiri apatis untuk melaporkan hal itu, ya kan?  ‘Alah di pungli 2 ribu, 10 ribu, 20 ribu di setiap lapak mereka ya udah lah daripada ribut bagiin aja uang nah masyarakat menjadi…kemudian sikap apatis itu muncul sikap pasrah, ya udah bayar aja urusan selesai kaya gitu,” ujar Danang Girindrawardana.

Danang mengatakan bahwa masyarakat harus lebih teliti untuk mengetahui dan menyadari berbagai pungli yang ada, hal itu diperlukan sehingga bisa memiliki sebuah cara untuk mengatasinya. “Kita komponen masyarakat harus bener-bener bahu-membahu untuk memberantas pungli-pungli seperti ini,” ucap Danang.

Danang juga mengatakan bahwa pemerintah sudah sangat giat untuk memperbaiki sistem layanan publik dan sistem regulasi dengan proses di birokratisnya dan di regulasinya yang salah satu tujuannya adalah untuk memberantas pungli. Hal ini seperti tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) No 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.

Meskipun demikian, Danang melihat bahwa seluruh proses-proses yang terdapat pada regulasi itu belum berhasil dalam pemberantasan pungli. Karena, setelah regulasi itu dibuat, belum cukup banyak berita-berita keberhasilan dari tim Saber pungli itu.

Pemerintah sudah menerbitkan regulasi-regulasi sebaik mungkin. Namun, pada kasus di lapangan masyarakat bukan lagi berhadapan dengan regulasi, dan tetapi berhadapan dengan birokrasi atau implementasi.

“Jika birokrasinya tidak dibenahi, maka regulasi sebagus apapun itu tidak ada gunanya juga. Karena para eksekutor ini adalah motor yang menjalankan regulasi-regulasi itu,” ujar Danang.

Danang sangat menyayangkan jika para pelaku usaha mikro kecil terus menerus menjadi korban pungli dan mereka tidak memiliki tempat untuk menyuarakan keluhan mereka. Maka, situasi ini akan menjadi sesuatu yang alami bahkan bisa menjadi satu budaya di Indonesia.

Danang berharap bahwa masyarakat, pers, dan para akademisi harus menyuarakan masalah pungli ini untuk membuat satu gerakan publik. Sehingga, kita semua sadar bahwa pungli mengganggu ekonomi negara, pungli mengganggu lapangan kerja, dan pungli membuat dunia usaha menderita.

*****

Pada sesi tanya jawab, salah satu pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana pungli bisa dikurangi? Danang menjawab bahwa pungli bisa dikurangi jika ada masyarakat yang sadar dan mau serentak memberantas pungli. Pemerintah hanya dapat membuat sebuah regulasi, tapi tanpa adanya partisipasi dari masyarakat, maka masalah pungli ini mustahil bisa diatasi.

“Kamu bawa kamera, rekam, lalu himpun seluruh pedagang yang sudah gerah dengan pungli. Bikin petisi lalu laporkan ke Polres dan Koramil sekitar untuk mendukung rakyat. Bikin zona bebas pungli. Jika ini berhasil, maka pemerintah daerah akan tergerak untuk memperluas kawasan bisnis serupa di daerah masing-masing,” kata Danang.

Sedangkan peserta yang lain bertanya apa peran APINDO dalam memberantas praktik pungli ini?

Danang menjawab bahwa APINDO adalah sebuah organisasi untuk para pengusaha besar. Ia mengakui bahwa APINDO bukan bergerak untuk UMKM. Namun, APINDO setuju dengan penghapusan pungli untuk melindungi pengusaha UMKM.

APINDO sendiri hadir sebagai advokasi bagi para pengusaha yang perusahaannya dipersulit geraknya oleh oknum yang selalu meminta uang dengan iming-iming ‘mempermudah proses perizinan’.

APINDO juga secara aktif menawarkan berbagai saran dan kebijakan untuk dipertimbangkan oleh pemerintah. Tentu dengan tujuan untuk menstabilkan iklim usaha di Indonesia agar bebas dari pungli dan pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.

Di akhir diskusi, Danang berharap agar masyarakat dan pemerintah saling bersinergi dalam memberantas pungli. Sebab, jika dihitung, sudah miliaran rupiah uang pengusaha hilang setiap tahun hanya untuk membayar ‘uang keamanan’.

Jika pemerintah dan masyarakat terus diam, hal ini bukan hanya berdampak buruk bagi perkembangan ekonomi makro dan mikro, tapi dari segi budaya juga. Jika pungli dianggap biasa, maka lambat laun masyarakat yang awalnya jadi korban pungli menjadi pelaku pungli. Dan akhirnya, kita semakin susah memutus mata rantai korupsi di negeri ini.