Dewasa ini, suhu politik luar negeri China di kawasan mulai memanas. Pasalnya, Republik Rakyat China tersebut terlampau arogan di mata negara-negara tetangganya. China tidak ragu untuk silang sengketa dengan Jepang, melakukan reklamasi pantai di wilayah perbatasan dengan Filipina, dan juga memiliki ketegangan diplomatik dengan Malaysia, Vietnam, dan Indonesia dalam hal mengenai perbatasan laut Natuna Selatan.
Selain dengan beberapa negara tetangga, China juga memiliki beberapa masalah internal yang cukup rumit untuk diselesaikan, contohnya adalah masalah Taiwan yang tidak mau mengakui kekuasaan China daratan. Begitu juga Hong Kong yang menolak dominasi rezim komunis RRC di wilayah mereka.
Hong Kong khususnya menjadi pembicaraan menarik di kawasan dewasa ini,. Masyarakat Hong Kong masih terus berjuang menuntut kebebasan dan juga demokrasi. Namun di sisi lain, Pemerintah China daratan terus memaksa agar Hong Kong tunduk pada rezim China daratan. Sejarah Hong Kong yang unik merupakan hal yang tidak bisa disamakan dengan wilayah China daratan. Hong Kong berkembang di atas fondasi demokrasi dan pasar bebas.
Sejak dekade 1980-an, Hong Kong menjalankan ekonomi lebih terbuka ketimbang China daratan yang lebih tertutup dan tidak demokratis. Wilayah Hong Kong yang strategis dan juga kebijakan ekonomi bebas membuat Hong Kong menjadi salah satu kawasan paling makmur di Asia.
Pada tahun 1997, Inggris mengembalikan Hong Kong kepada China daratan. RRC sendiri berjanji untuk mempertahankan demokrasi di Hong Kong dan menjalankan dua sistem untuk satu negara.
Namun sayangnya, rezim China daratan semakin membatasi kebebasan dan juga gerak demokrasi di Hong Kong. Penangkapan terhadap aktivis demokrasi dan juga pembunuhan para demonstran merupakan bukti bahwa China daratan ingin mengintervensi Hong Kong lebih jauh.
Untuk mendiskusikan topik tersebut, pada 19 Maret 2021 lalu, Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan dengan topik “Prospek Masa Depan Hong Kong di bawah Kekuasaan China”. Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Wartawan Senior Kompas dan Kepala Biro Hong Kong untuk Harian Kompas tahun 1996 – 2008, Rene Pattiradjawane.
*****
Dalam pemaparannya, Rene menjelaskan bahwa kondisi Hong Kong saat ini tidak bisa lepas dari doktrin utama politik China. China memiliki impian untuk membangun sebuah peradaban besar dan mewujudkan mimpi keagungan kembali bangsa China. Mimpi China inilah yang kemudian berpengaruh pada kebijakan luar negerinya dan juga kebijakan rezim China daratan kepada wilayah-wilayah yang masih dianggap memberontak pemerintah pusat seperti Taiwan dan Hong Kong.
Perlu di tekankan pula bahwa. wilayah China bagian selatan seperti Macau, Kuantung, dan Hong Kong adalah wilayah yang memiliki pertumbuhan ekonomi sangat besar sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di seluruh negeri China. Inilah yang membuat China berusaha untuk mempertahankan Hong Kong, Taiwan, Macau dan lain sebagainya.
China percaya bahwa, pertumbuhan pasar dan ekonomi di wilayah-wilayah China selatan akan mewujudkan mimpi China untuk menjadi negara adidaya. Namun yang menjadi masalah China saat ini adalah, munculnya pegolakan-pergolakan di beberapa wilayah terutama Hong Kong.
Walau pada tahun 1997, Hong Kong telah diakui menjadi bagian dari China, namun pemerintah China mengakui Hukum di kawasan Administratif Hong Kong, Dengan kata lain, China daratan mengakui adanya dua sistem dari satu negara. Namun, Pemerintah China membuat berbagai kebijakan untuk membungkam demokrasi masyarakat Hong Kong. Salah satunya adalah dengan membuat produk hukum di mana setiap rakyat atau orang asing yang berusaha memisahkan Hong Kong dengan RRC maka akan dikenakan hukuman penjara bila mengkritik pemerintah.
Pemerintah wilayah Hong Kong dan RRC tahun 2019 lalu juga berusaha untuk merumuskan sebuah rancangan undang-undang mengenai ekstradisi, di mana setiap orang yang melakukan kejahatan di Hong Kong bisa diadili atau dibawa ke China daratan. Masyarakat Hong Kong marah dengan adanya RUU ini, dan menganggap sebagai pembungkaman demokrasi. Jika undang-undang ini diresmikan, maka orang yang dianggap vokal pada pemerintah bisa dibawa ke China daratan dan diadili di sana dengan dalih mereka melakukan kejahatan.
Pergolakan tersebut yang membuat rakyat Hong Kong berdemonstrasi selama beberapa bulan, yang membuat Pemerintah China khawatir dengan perkembangan di Hong Kong. Terlebih lagi, di era digital ini, membuat suara-suara kritis terhadap pemerintah semakin sulit diredam.
*****
Pada sesi tanya jawab, Rene Pattiradjawane mencoba menjawab beberapa pertanyaan dari peserta. Salah satunya adalah, pertanyaan apakah terdapat intervensi asing dalam gerakan demonstrasi di Hong Kong?
Rene menjawab bahwa intervensi asing pada dasarnya merupakan respon (akibat) dari kejadian-kejadian di Hong Kong yang makin mengkhawatirkan mengenai masalah demokrasinya yang diganggu oleh pemerintah pusat. Jadi masalah utamanya, demonstrasi anak muda terjadi karena sikap China kepada Hong Kong, bukan karena intervensi.
Pertanyaan berikutnya mengapa demonstrasi besar-besaran bisa muncul di Hong Kong dan Siapa yang mempengaruhi anak muda di sana? Rene menjawab bahwa gerakan massa anak muda ini terjadi secara spontan, dan tidak ada yang komando terpusat. Gerakan massa terjadi karena kesadaran politik masyarakat Hong Kong masing-masing.
Hong Kong berbeda dengan China daratan. Hong Kong lebih bebas dan demokratis, serta anak muda Hong Kong benar-benar menikmati suasana demokratis. Ketika pemerintah China ingin menyusun RUU ekstradisi dan juga menekan para aktivis, maka secara spontan warga Hong Kong menolaknya.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com