Sudah menjadi lumrah bagi kita bahwa sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama, hukum dan norma dari agama tertentu akan ikut mempengaruhi produk hukum yang dihasilkan oleh negara. Misalnya, di Arab Saudi yang mayoritas adalah penganut Muslim, maka banyak hukum-hukum Islam dipraktikkan secara formal. Begitu juga di India yang mayoritasnya adalah agama Hindu, produk hukum yang dihasilkan pasti tak jauh dari agama yang dianut oleh masyarakat India tersebut.
Dalam perspektif kebebasan dan demokrasi, masuknya hukum dan norma agama yang sifatnya privat atau terbatas oleh suatu kelompok adalah sangat berbahaya dan juga berpotensi merusak keragaman. Bukan maksud mengatakan hukum agama itu buruk, tetapi, dalam sebuah negara majemuk dan menjunjung tinggi kebhinnekaan, asas yang harus dikedepankan adalah hukum untuk kepentingan bersama tanpa melihat ras, suku kelompok, serta agama tertentu.
Belakangan ini, DPR kembali mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang yang kontroversial, yaitu Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol. RUU tersebut diajukan oleh tiga Fraksi, yakni Partai PPP, Partai PKS, dan Partai Gerindra, yang tujuannya adalah untuk menjaga moralitas dan juga mencegah penyimpangan di masyarakat.
Tentu saja, RUU ini menimbulkan kontroversi. Selain karena dianggap terlalu mengontrol kebebasan individu, RUU ini dianggap sebagai upaya untuk memasukan hukum agama tertentu dalam konstitusi. Suarakebebasan tertarik untuk membahas ini, selain karena RUU ini sangat bertentangan dengan asas kebebasan, formalisasi hukum agama tertentu akan dianggap menganaktirikan agama lain dan cenderung merusak kerukunan.
Oleh karena itu, pada tanggal 27 November lalu, Suara Kebabasan mengundang dua narasumber yang serius mengkaji RUU ini dan dampak dari pelarangan minuman beralkohol yang sudah diterapkan di beberapa daerah di Indonesia. Menjadi pemateri dalam diskusi tersebut adalah Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Pingkan Audrine, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).
*****
Di sesi pertama, Erasmus Napitupulu memaparkan materinya dari segi hukum pidana. Menurutnya, pelarangan minuman beralkohol yang akan dikaji oleh DPR sangat membingungkan, aneh dan terkesan asal-asalan dari sudut pandang teori. Sebab, bagaimana pemerintah bisa melarang alkohol sedangkan dari segi produksi dan konsumsinya sudah menjadi adat tradisional atau bagian dari ritual keagamaan?
Erasmus memang mengakui bahwa sudah menjadi tugas pemerintah untuk mengurus kesehatan masyarakat. Tetapi, jika hal ini ditanggapi dengan pelarangan minuman beralkohol (minol), justru dampaknya akan sangat luas sekali.
Jika alkohol secara langsung dijustifikasi sebagai minuman terlarang dan setiap peminum dan produsen akan diganjar hukuman, alih-alih mengurangi angka kriminalitas, justru kriminalitas akan naik dan overcrowding (over kapasitas sel) akan naik. Sebab, orang-orang yang biasanya bebas mengkonsumsi minuman beralkohol, ketika RUU itu disahkan, otomatis ratusan orang, bahkan ribuan orang yang menjadi penikmat alkohol akan dikategorikan sebagai kriminal yang harus dipidana.
Yang perlu dicatat adalah, ketika pemerintah menetapkan suatu produk hukum yang baru, tidak berarti masyarakat akan otomatis mentaatinya. Sebab, ada satu dan dua hal mengapa aturan hukum itu dilanggar. Misalnya, ketika aturan wajib masker di terapkan, seperti yang kita ketahui, tidak semua orang akan taat menggunakan masker, karena kebiasaan manusia kadang tidak bisa diubah hanya dengan mensahkan sebuah undang-undang, diperlukan proses yang panjang dan itu tidak instan.
Selain itu, dikhawatirkan akan muncul minuman alkohol oplosan di pasar gelap yang mengandung dzat yang sangat berbahaya bagi tubuh. Tentu resiko kesehatan akan sangat besar dan peredaran alkohol oplosan di pasar gelap ini akan sulit dikontrol oleh pemerintah.
Erasmus menjelaskan bahwa, meregulasi atau membuat aturan mengenai minuman beralkohol itu penting, tetapi bukan dengan melarang atau membuat alkohol sebagai barang ilegal. Sebab, alkohol dalam sebagian adat atau agama dan di sebagian daerah di Indonesia sudah menjadi minuman tradisional dan dikonsumsi sebagai minuman adat, diantaranya di Pontianak, Bali, Sumatera Utara, NTB, Manado dan lain sebagainya.
Di Bali pun, sekarang Tuak Bali sudah mulai dilegalkan dan diterapkan regulasinya oleh pemerintah daerah. Jika hal ini kemudian dibatalkan lewat UU Pelarangan Minuman Beralkohol, tentu akan bertabrakan dengan adat istiadat setempat. Dalam agama Katolik pun, wine juga menjadi salah satu pelengkap dalam ritual ekaristi (peribadatan Kristen Katolik). Dengan demikian, jika pemerintah mensahkan RUU ini, maka akan terjadi diskriminasi bagi umat agama tertentu.
*****
Pada sesi kedua, Pingkan Audrine menjelaskan materinya. Sebenarnya RUU ini bukan hal yang baru, karena fraksi PPP sejak tahun 2012, sudah berusaha untuk mengoalkan RUU ini menjadi Prolegnas. Namun, karena satu dan lain hal, usulan RUU ini kemudian baru dibicarakan secara serius oleh DPR pada tahun 2015.
Proses yang panjang dan juga maslah internal partai membuat RUU ini tertunda. Hingga, pada tahun 2020, karena pandemi Corona, Pemerintah kembali menunda pembahasan RUU Larangan Minuman Alkohol ini karena fokus Pemerintah adalah penanganan Virus Corona yang sedang mewabah ditengah masyarakat.
Jika dilihat dari draft RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU ini tampak menyasar semua jenis alkohol baik dari golongan A, B atau C. RUU ini juga berlaku pada para pembuat alkohol tradisional dan para pengracik alkohol (alkohol oplosan). CIPS telah melakukan penelitian bahwa dari semua jenis alkohol, yang paling berbahaya dan luput dari pemantauan pemerintah dan aparat adalah alkohol oplosan.
Walaupun belum ada UU khusus yang mengatur alkohol, namun sudah banyak peraturan-peraturan baik perda, permen, peraturan direktorat jenderal, yang mengatur soal peredaran alkohol ini. Hal ini termasuk peraturan yang membatasi penjualan alkohol di minimarket dan tempat-tempat yang mudah dijaungkau pemuda dan orang berpendapatan rendah.
Dengan adanya RUU Pelarangan Minuman Alkohol, jika disahkan dan menjadi undang-undang, maka pemerintah memiliki kuasa untuk memperketat batasan dan peredaran alkohol di masyarakat. Dalam survei CIPS, masyarakat atau pemuda yang sudah terbiasa mengkonsumsi alkohol, tidak berarti akan berhenti minum alkohol dengan adanya larangan ini. Justru, mereka akan mencari alternatif lain seperti minuman oplosan karena minuman alkohol yang legal dilarang oleh pemerintah.
Dan ini akan berbahaya sekali, seperti keterangan Erasmus Napitupulu, bahwa pelarangan alkohol secara total dan represif justru akan menciptakan pasar gelap alkohol dan membuat mafia-mafia terorganisir yang mengatur pasar gelap alkohol. Di sisi lain, peredaran alkohol oplosan akan membahayakan kesehatan masyarakat.
Sebab, masyarakat yang sudah tak mampu menjangkau alkohol yang resmi dan aman, dan mereka akan beralih untuk meracik alkohol sendiri yang justru efeknya lebih berbahaya bagi tubuh. Pingkan menjelaskan bahwa RUU larangan minuman alkohol ini dianggap masih mentah dan tidak didukung data yang kuat.
Di sisi lain, RUU ini hanya menyasar produsen dan konsumen minuman alkohol yang legal. Sedangkan, yang berbahaya dan yang harusnya diatur adalah alkohol ilegal atau oplosan yang menjadi salah satu penyebab tingginya kematian dan merusak tubuh.
*****
Memasuki sesi tanya jawab, beberapa peserta mulai mengajukan pertanyan dan juga mengemukakan pandangannya kepada kedua narasumber. Salah satu peserta berpendapat, bahwa walaupun UU ini ditentang melalui perspektif hukum pidana dan juga melalui kajian kebijakan publik, namun dari sisi masyarakat, data dan argumen tersebut sulit diterima. Sebab, masyarakat lebih memperhatikan hukum agama dan juga nilai-nilai moral, dan mungkin masyarakat yang menolak minol karena urusan moral tersebut yang mendorong para politisi untuk mengajukan RUU ini sebagai amanat dari konstituennya.
Pemateri menjawab, bahwa agak sulit jika membentuk hukum positif jika hanya berdasarkan agama (apalagi hanya satu agama). Sebab, hukum dan norma setiap agama saling berbeda-beda. Jika minum alkohol adalah tindakan melanggar norma bagi masyarakat di Jawa, di sisi lain bagi masyarakat Bali atau Papua itu bukan tindakan amoral.
Meskipun politisi boleh saja mengajukan keinginan konstituennya, tetapi untuk menjadi sebuah dasar hukum, tidak bisa jika melihat dari kacamata sempit. Sebab, pemerintah harus melihat konsekuensi-konsekuensi ketika RUU tersebut disahkan sebagai hukum positif. Yang harusnya didahulukan adalah menegakkan hukum positif yang berlandas pada kepentingan rakyat bersama, bukan hanya satu golongan.
Peserta yang lain berkomentar, apakah dengan dukungan satu kelompok di Indonesia, lalu RUU ini memiliki kemungkinan untuk disahkan?
Pemateri menjawab, kalau kita lihat keterangan yang kurang valid, data-data yang kurang ilmiah, dan pertimbangan hukum yang masih belum kuat, kemungkinan hukum ini tidak lolos. Pun jika lolos, harusnya kita belajar dengan UU Narkotika yang bisa dikatakan hanya menyebabkan over kapasitas lapas. Pemerintah tidak memiliki strategi dan tujuan untuk memangkas peredaran narkoba kecuali lewat jalan hukum. Hasilnya, lapas penuh tapi narkoba malah terus berkembang.
Di sisi lain, yang perlu dicatat adalah, pengawasan masyarakat sangat dibutuhkan. Sebab, kadang DPR mensahkan sebuah UU secara tertutup tanpa ada proses keterbukaan. Di masa pandemi ini, harusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan dan produk hukum yang justru bisa mengangkat Indonesia dari keterpurukan. Karena, RUU ini tidak merugikan golongan atas yang mampu menikmati Minuman Beralkohol di hotel atau tempat wisata, tetapi justru sangat merugikan masyarakat bawah dan masyarakat adat yang sudah terbiasa mengkonsumsinya sebagai bagian dari tradisi atau upacara keagamaan.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com