Masalah kemiskinan menjadi hal yang krusial dan terus diperbincangkan dari masa ke masa. Bahkan, beberapa ideologi dicetuskan oleh para pemikir besar untuk memusnahkan salah satu fenomena yang dianggap ‘penyakit’ dalam sejarah manusia.
Beberapa ideologi seperti Sosialisme, Merkantilisme dan Marxisme memiliki konsep bahwa peran negara harus diutamakan untuk mengontrol ekonomi dan juga mengatur pemerataan agar tidak ada lagi kemiskinan.
Namun, sudah berbagai ideologi dipraktikkan tapi tetap saja kemiskinan tidak juga berhasil 100% dihilangkan. Berbagai tragedi politik dan kudeta terjadi dengan motif untuk memberantas kemiskinan. Namun, setelah si aktor berhasil meraih tampuk kekuasaan, tetap saja kemiskinan tidak juga hilang.
Libertarianisme sebagai sebuah filosofi kebebasan, berusaha untuk melihat masalah kemiskinan dari bagian lain. Ia melihat bahwa kemiskinan itu merupakan sebuah kondisi alamiah yang akan ada.
Kemiskinan adalah peristiwa yang niscaya seiring dengan adanya manusia. Namun, apakah dengan begitu libertarian mendukung eksistensi kemiskinan? Jawabannya adalah tidak. Libertarianisme berusaha untuk memandang kemiskinan secara objektif.
Jika kemiskinan itu hadir karena pola manusia, maka dibutuhkan sebuah kebijakan yang sekiranya bisa meringankan beban individu dari kesengsaraan akibat kemiskinan. Pemikir seperti Murray Rothbard meyakini bahwa tujuan yang utama adalah mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin, sekaligus berusaha agar orang-orang miskin tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Pasar bebas adalah tawaran sekaligus solusi atas fenomena ini. Ekonomi bebas justru menolak peran sentral negara dalam mendikte pasar dan menguasai setiap lini usaha manusia dengan dalih mengurangi kemiskinan.
Pasar bebas mendorong agar manusia selalu berinovasi dan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghasilkan nilai lebih yang bermanfaat baginya. Karena itu, John Norberg dalam bukunya, “Membela Kapitalisme Global”, mengemukakan rasa optimismenya jika pasar bebas bisa mengurangi kemiskinan.
Menguatkan tesis John Norberg, Matt Warner yang didukung oleh Atlas Network menyadur sebuah buku bagus mengenai kemiskinan dan kebebasan. Dengan tema dan judul yang sama, Matt menguraikan beberapa artikel dalam buku ini mengenai tema-tema yang relevan dengan masalah kemiskinan ini.
Suara Kebebasan, bersama Gerakan Toleransi dan Kebebasan (GERTAS), akhirnya mengadakan forum diskusi pada hari Jumat, 19 November 2021 yang secara khusus membahas mengenai isi buku ini. Dari pihak GERTAS diwakili oleh Wildan Romadhon selaku Kepala Bidang Pengembangan Intelektual Gerakan Toleransi dan Kebebasan (pembicara), dan dari pihak Suara Kebebasan, diwakili oleh Haikal Kurniawan selaku moderator.
*****
Dalam kata pengantarnya, pemateri mengutip pernyataan Matt Warner mengenai kebakaran hutan. Matt menjelaskan bahwa Pemerintah Amerika Serikat berusaha mati-matian untuk mencegah terbakarnya hutan dengan mencegah praktik pembakaran hutan.
Para ahli telah merancang sedemikian rupa agar mereka bisa merealisasikan mimpi Presiden tersebut. Namun, apa yang terjadi, kebakaran tetap terjadi dan masih terjadi di Amerika. Matt menganalogikan kemiskinan dengan kebakaran. Matt menulis, “Mengapa kita tidak membiarkan sebagian pohon tua terbakar. Kebakaran kecil dibiarkan untuk mencegah kebakaran besar.”
Pemateri juga menjelaskan bahwa kebakaran hutan juga dibutuhkan untuk menciptakan ekosistem baru yang lebih segar, karena itu sedikit banyak apa yang dipandang pemerintah sebagai sebuah keburukan bisa saja itu baik untuk lingkungan.
Mungkin pemerintah akan melakukan hal yang sama (mengenai kebijakan melawan kemiskinan) terhadap kebakaran hutan. Yaitu menutup diri, mengintervensi lewat subsidi memberi sumbangan uang untuk sebagian orang (sedangkan sebagiannya lain tidak).
Gagasan sederhana ini masih dipraktikkan sampai sekarang, tak dipungkiri, tapi bagi Matt, mereka melupakan hal yang penting: yaitu kompleksitas kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan tidak hadir hanya karena kekurangan uang. Ada beberapa hal yang bisa membuat orang menjadi miskin tanpa dapat kita prediksi.
Intervensi pemerintah terhadap ekonomi melalui bantuan sosial justru malah terkesan mengekang kebebasan pasar itu sendiri. Misalnya, jika pemerintah memberikan subsidi atau bantuan kepada pihak lain (dalam hal ini BUMN), maka akan ada pihak yang tidak mendapatkan bantuan seperti pengusaha swasta. Dan tentu saja bantuan yang diberikan oleh negara tersebut adalah uang hasil pajak yang seyogyanya akan digunakan untuk pembangunan.
Sayangnya berkat pengalokasian dana pajak untuk berbagai bantuan tersebut, hasil-hasil yang didapatkan kadang sangat jauh dari ekspektasi. Bahkan, masyarakat merasa ketergantungan terhadap bantuan tersebut.
Dalam buku ini, yang menjadi dilematik adalah ketika negara lain memberi bantuan atau suatu lembaga filantropi masuk untuk mengentaskan kemiskinan, mereka tidak benar-benar mengentaskan kemiskinan sepenuhnya.
Kenapa hal ini tidak efektif? Karena pihak pemberi bantuan atau filantropi terlalu mendikte bagaimana dan seperti apa uang yang diberikan disalurkan oleh penerima. Hal ini justru yang menjadi kendala, sebab para pemberi bantuan tidak melihat kreativitas dan inovasi dari masyarakat untuk mengembangkan dirinya dan pemanfaatan modal yang mereka dapatkan.
Seperti kasus di Vietnam misalnya. Dengan angka kemiskinan yang tinggi di Vietnam pasca Perang Saudara. Beberapa lembaga kemanusiaan memprediksi bahwa jutaan anak akan dalam keadaan kekurangan gizi. Namun, ketika pihak penyalur bantuan datang ke masyarakat, justru yang tampak adalah anak-anak yang normal.
Hal ini disebabkan karena kreativitas dan pengetahuan orang-orang Vietnam untuk bertahan hidup sehingga mengkonsumsi bahan pangan sehat yang tidak populer bagi masyarakat Eropa dan Amerika.
Karena itu ketika ada pihak luar yang berusaha untuk memberikan bantuan kepada satu negara, maka akan lebih baik jika bekerja sama dengan satu lembaga think tank, yang mengetahui pasti keadaan masyarakat sekitar, sehingga si lembaga donor bisa memastikan bahwa bantuan yang diberikan benar-benar teralokasi dengan baik.
Dalam mengentaskan kemiskinan, tidak bisa pemerintah bersikap tertutup. Kerja sama dengan pihak luar amat dibutuhkan sekaligus merangkul lembaga masyarakat yang dapat diberdayakan untuk mengentaskan kemiskinan.
Keterbukaan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan sangat dibutuhkan. Sama seperti sistem pasar yang harus terbuka dan bebas, pemerintah harus mengambil sikap inklusif dan merangkul siapapun untuk mengentaskan masalah ini.
*****
Dalam sesi tanya jawab, peserta bertanya kepada pemateri, ketika ia membaca buku ini (Kemiskinan dan Kebebasan) gagasan menarik apa yang bisa ia tangkap dan bagaimana jika dikontekstualisasikan dengan kondisi Indonesia.
Pemateri menjawab bahwa, buku ini memberikan inspirasi kepada dirinya, khususnya mengenai metode pengentasan kemiskinan yang sering dianggap sederhana oleh pemerintah.
Misalnya, ketika ada kemiskinan, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan uang atau bantuan subsidi kepada kelompok orang-orang miskin tersebut. Hal ini akan mengakibatkan dampak yang tak terduga, yaitu ketergantungan.
Sama seperti orang tua yang memberikan uang kepada anaknya hingga sang anak dewasa. Sang ayah atau ibu tidak memberikan edukasi yang benar mengenai pengelolaan uang yang mereka berikan. Akhirnya, si anak menjadi manja dan sangat bergantung pada orang tuanya. Ini yang harusnya dievaluasi agar program pengentasan kemiskinan kita begitu tepat sasaran.
Penanya berikutnya mengajukan pertanyaan pada Wildan selaku pemateri, apa sekiranya kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini yang menghambat kebebasan ekonomi?
Menjawab pertanyaan ini, pemateri menjelaskan salah satu contoh nyata sikap pemerintah yang sangat mengekang kebebasan ekonomi. Salah satunya adalah aturan PPKM, yaitu pembatasan sosial yang diberlakuan oleh pemerintah untuk menghadang laju infeksi virus.
Tapi di sisi lain, pemerintah justru mematikan lahan ekonomi orang kecil (UMKM), sehingga mereka tidak dapat beraktivitas dan melanjutkan usahanya. Kebijakan pemerintah yang kurang matang ini merupakan salah satu penyebab bagi kemunduran ekonomi.
Sebagai kata penutup, gagasan pasar bebas yang menghendaki kebebasan ekonomi adalah sebuah metode yang realistis untuk mengentaskan kemiskinan. Ekonomi pasar bebas tidak menafikkan bahwa kemiskinan adalah fenomena kemanusiaan yang alami, namun ia dapat diminimalisir agar masyarakat miskin tidak menderita dan terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Salah satu solusi yang diberikan oleh ekonomi pasar bebas adalah kebebasan ekonomi. Memberikan peluang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memaksimalkan potensinya dan mengembangkan nafkahnya tanpa diperumit oleh aturan atau monopoli pemerintah.
Ekonomi pasar bebas melihat kemiskinan sebagai suatu yang kompleks. Tidak berarti jika pemerintah memberikan bantuan uang kepada komunitas miskin, lantas komunitas tersebut berubah menjadi komunitas kaya. Pemberian bantuan sosial oleh pemerintah harus serealistis mungkin, dengan tujuan agar dana bantuan teralokasi dengan baik (dimanfaatkan sebaik-baiknya) dan masyarakat miskin tidak merasa bergantung dengan adanya uang bantuan tersebut.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com