Pandemi COVID-19 kini sudah memasuki tahun kedua di Indonesia. Ketika pandemi mulai melanda berbagai wilayah di seluruh dunia, banyak masyarakat mengeluh tentang sulitnya mencari nafkah di masa pandemi ini. Tidak sedikit pula orang yang merasa bosan dan frustasi karena aktivitasnya dibatasi. Keluhan-keluhan warga tentang pandemi saat ini memang wajar. Selain menebarkan penyakit berbahaya, pandemi COVID-19 juga membuat kegiatan setiap orang menjadi susah.
Mall sepi, ruko-ruko kosong, restoran tampak sunyi, bahkan hingga tempat hiburan seperti bioskop pun ditinggalkan penonton. Orang-orang di akar rumput banyak yang mengeluh sembari menyalahkan pemerintah. Di sisi lain, pemerintah merasa sudah memberikan pelayanan maksimal untuk melindungi masyarakat yang terdampak oleh pandemi.
Pandemi telah berhasil mengubah situasi normal menjadi situasi serba sulit, serba susah, dan banyak dompet yang menjadi kering. Setelah vaksin ditemukan, kini banyak orang menaruh harapan pada vaksin tersebut. Walaupun banyak juga orang yang tidak percaya pada vaksin, toh sebagian besar masyarakat masih berharap pada vaksinasi. Lantas, bagaimanakan prospek pemulihan ekonomi di Indonesia pasca COVID-19?
Untuk membahas mengenai topik tersebut, pada tanggal 19 Februari lalu, Suara Kebebasan menyelenggarakan Forum Kebebasan Webinar yang mengangkat tema “Prospek Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi COVID-19 di Indonesia”. Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Business Development Manager dari Indonesian Stock Exchange (IDX), Poltak Hotradero, atau yang akrab disapa Bang Poltak.
*****
Dalam uraiannya, Bang Poltak menjelaskan bahwa, pada tahun 2020 kemarin, kita benar-benar mendapat tantangan besar. Wabah virus COVID-19 telah membuat penduduk dunia menjadi panik dan ketakutan. Banyak negara yang secara spontan melakukan karantina (baik lokal maupun nasional) untuk menghentikan laju infeksi dan membatasi persebaran virus tersebut
Dengan adanya karantina wilayah, kebebasan individu di setiap wilayah yang terdampak oleh virus ini menjadi terkekang. Di Indonesia aktivitas sekolah, kegiatan usaha, dan juga interaksi sosial terpaksa dibatasi untuk mencegah terjadinya korban dengan skala besar.
Memang, fenomena pandemi ini bukan sebuah peristiwa baru. Tahun 1920-1921, muncul pandemi Flu Spanyol yang telah merenggut puluhan juta nyawa. Namun, ketika pandemi kembali menginfeksi manusia 100 tahun kemudian, banyak negara-negara menjadi “gagap” dalam menanganinya. Di sisi lain, trend globalisasi (di mana setiap manusia menjadi lebih mudah melakukan interaksi dan transaksi ekonomi) juga turut menjadi penyebab wabah virus menyebar lebih cepat.
Pada sektor ekonomi, juga terjadi kepanikan pasar. Barang-barang kesehatan seperti masker, vitamin, dan hand sanitizer seketika menjadi barang langka. Toko-toko banyak yang tutup dan pabrik-pabrik terpaksa mengurangi karyawan sehingga menambah daftar pengangguran.
Menanggapi masalah pandemi ini, beberapa tokoh dan aktivis anti kapitalis justru menyerang sistem ekonomi global yang dianggap rapuh dan terbukti gagal. Para pegiat sosialisme di media sosial, menyerukan agar pemerintah mengikuti jalan yang ditempuh oleh negara-negara sosialis seperti China, Vietnam dan Kuba, seperti melakukan pembatasan sosial, melakukan nasionalisasi ekonomi dengan mengambil alih beberapa perusahaan vital, serta memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak pandemi.
Yang menjadi pertanyaan, apakah resep sosialisme dalam menangani pandemi ini adalah cara yang tepat? Jawabannya tidak selalu tepat. Dalam menanggapi klaim sosialisme, Bang Poltak menjawab bahwa tidak setiap negara yang melakukan lockdown atau karantina dengan sukses. Di Malaysia, Singapura, dan India, pemerintah sudah menerapkan karantina skala besar, namun hasilnya justru ekonomi ketiga negara tersebut kini jatuh ke dalam resesi.
Sebaliknya, negara-negara yang demokratis seperi Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang, justru dapat mengendalikan laju infeksi walau mereka tidak menerapkan karantina skala besar. Bang Poltak menyebut bahwa pandemi saat ini memang merupakan batu ujian bagi setiap negara, baik sosialis atau demokratis. Setiap negara sama-sama mengalami krisis sosial dan kesulitan ekonomi.
Namun menurut Beliau, justru di situasi inilah pasar bebas justru menampakkan “keajaiban-keajaibannya”. Bersyukur kita mengalami pandemi tahun 2020. Bayangkan jika pandemi ini muncul 10 tahun lalu 2010, tidak ada ojek online, toko online, restoran online, internet dan media sosial. Jelas tanpa itu semua kita pasti bakal menjadi semakin sulit dalam menjalankan aktivitas, dan bukan tidak mungkin akan menimbulkan korban lebih banyak.
Pada tahun 2020, banyaknya PHK dan juga lesunya usaha kecil membuat manusia tidak berhenti berinovasi. Media sosial dan fasilitas internet membuat otak manusia terus berputar untuk mendapatkan uang. Kini, ojek online, toko online, situs belajar online dan kegiatan lain seperti usaha catering, dan masker, yang membuat efek pandemi dapat di minimalisir.
Prinsip pasar bebas adalah, di setiap kesulitan, pasti individu akan tertantang untuk keluar dari kesulitan tersebut. Saat pemerintah memutuskan untuk membuat kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar, terjadi kelangkaan pada bahan makanan, masker, dan obat-obatan. Namun, di sini tiap orang kemudian memanfaat peluang tersebut. Industri-kecil dan besar mulai memproduksi masker dan hand sanitizer. Masyarakat kecil juga banyak yang menjual jamu dan obat-obat tradisional seperti jahe dan madu untuk menggantikan vitamin yang pada awal pandemi mulai mengalami kelangkaan.
Bisa dikatakan bahwa, alih-alih pasar bebas tenggelam dan digeser oleh sosialisme yang bertitik tumpu pada kontrol negara terhadap pasar. Justru di sini invisible hand menunjukkan bahwa melalui inovasi, manusia selalu termotivasi untuk memenuhi kebutuhannya.
*****
Dalam sesi tanya-jawab, ada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peserta kepada pembicara. Salah satu pertanyaan tersebut adalah, apakah tepat jika pemerintah, melalui perusahaan milik negara atau BUMN, menjadi tonggak ekonomi seperti di negara-negara sosialis? Bagaimana dengan proses transaksi ketika terjadi pembatasan yang luar biasa? Dan bagaimana nasib UMKM yang terdampak pandemi?
Bang Poltak menjawab, untuk perusahaan negara, memang pada awal pandemi, ketika banyak pabrik-pabrik dan usaha terpaksa gulung tikar dan menyebabkan ratusan ribu orang terkena PHK. Selain itu, ada juga wacana agar pemerintah mengambil alih pabrik-pabrik tersebut agar dapat memproduksi barang-barang yang dibutuhkan rakyat, dan ini sudah lumrah terjadi di negara-negara sosialis.
Tetapi kenyataannya, banyak perusahaan negara (BUMN) yang justru terkena dampak pandemi. Otomatis, pemerintah menyuntikkan anggaran dan bantuan agar perusahaan milik negara tersebut tidak sampai bangkrut. Di sini sudah terlihat bahwa, negara tidak mungkin melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan strategis (tentu akan menambah biaya anggaran) atau justru pemerintah melirik sektor UMKM dan berharap pada kreatifitas rakyat.
Terhadap UMKM yang terdampak oleh pandemi, pemerintah dapat memberikan bantuan terhadap usaha-usaha kecil tersebut agar tetap hidup. Diakui atau tidak, ketika krisis ekonomi melanda dan usaha-usaha besar mengalami kerugian, UMKM hadir sebagai penyelamat karena mereka tumbuh dari kemandirian individu. Daripada pemerintah mengambil alih perusahaan-perusahaan yang mulai pailit atau sudah bangkrut, tentu akan lebih mudah jika pemerintah menyalurkan bantuan agar usaha rakyat tetap dapat berjalan normal.
Bang Poltak juga mengatakan, karena pandemi membatasi aktivitas belanja kita, namun hasrat konsumsi tak terbendung, maka muncul berbagai usaha online. Transaksi yang dilakukan pun tidak secara langsung tetapi melalui uang virtual. Bang Poltak malah memprediksi, ketika masyarakat menyadari bahwa transaksi melalui uang virtual lebih efisien, bisa jadi untuk kedepannya, uang konvensional tidak digunakan lagi.
Sebagai penutup, pandemi COVID-19 ini adalah ujian bagi kebebasan dan pasar bebas. Di tahun 2021 ini, mungkin pandemi masih tetap membatasi kebebasan kita untuk beraktivitas seperti biasa. Namun, bukan berarti itu sebuah kemunduran, justru pandemi ini memberi sebuah pelajaran berharga bahwa kebebasan sangat penting bagi kita. Ketika pandemi menghantam sektor ekonomi, justru sistem pasar bebas dan inovasi makin menunjukkan kesuksesannya.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com