Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, sertifikasi halal merupakan salah satu keharusan yang dimiliki oleh hampir semua pelaku usaha di Indonesia, khususnya yang bergerak di bidang pangan atau obat-obatan. Adanya sertifikasi halal untuk sebuah produk sangat penting menyediakan rasa aman dan nyaman bagi konsumen Muslim bahwa produk tersebut tidak mengandung zat-zat yang tidak sesuai dengan hukum dalam agama Islam.
Namun, dalam praktiknya, sertifikasi halal ini juga menimbulkan perdebatan. Salah satu perdebatan yang kerap muncul adalah apakah sertifikasi halal cukup diberikan kepada otoritas satu lembaga saja atau tidak. Selain itu, peran negara untuk mewajibkan sertifikasi halal atau tidak juga tidak jarang menimbulkan perbedaan pandangan dari berbagai pihak.
Lantas, bagaimana kita sebaiknya kita menanggapi hal tersebut? Apakah otoritas untuk mengeluarkan sertifikasi halal cukup diberikan ke satu lembaga saja? Dan apakah peran pemerintah yang ideal terkait dengan sertifikasi produk halal dan mendukung ekonomi pasar yang terbuka dan inklusif?
Untuk mendiskusikan topik tersebut, pada 13 November 2020 lalu, Suara Kebebasan menyelenggarakan webinar Forum Kebebasan yang mengangkat tema “Menilik Sertifikasi Produk Halal di Indonesia”. Menjadi pembicara diskusi tersebut adalah Visiting Fellow ISEAS Yusof Ishak Singapore dan Direktur Perpustakaan & Budaya Universitas Islam Internasional Indonesia, Syafiq Hasyim.
*****
Sebelum masyarakat Muslim memiliki lembaga pengecekan makanan dan minuman halal, umat Muslim di Indonesia memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri mana makanan yang menurutnya halal dan tidak halal dikonsumsi. Pada masa pra-kemerdekaan, organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, serta Al-Irsyad memiliki lembaga fatwa. Namun, mereka tidak memiliki lembaga khusus untuk memberi sertifikasi halal.
Ormas-ormas Islam hanya memberikan edukasi dan juga penerangan mana makanan yang halal dan makanan yang halal. Hingga pada akhir tahun 1980-an, ada kasus salah satu produk susu yang diragukan kehalalannya. Sehingga, kemudian pemerintah Orde Baru meminta bantuan MUI untuk membentuk tim yang menentukan kriteria halal dan haram untuk produk makanan, minuman, kosmetik dan obat-obatan pada tahun 1989.
Setelah pembentukan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), kemudian banyak perusahaan-perusahaan melihat nilai ekonomis dari sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI. Banyak perusahaan kemudian mendaftarkan produknya ke LPPOM MUI untuk mendapatkan sertifikasi halal.
Lembaga sertifikasi halal LPPOM kemudian menjadi tulang punggung MUI, di mana MUI banyak mendirikan di setiap provinsi lembaga halal untuk melayani sertifikasi halal yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan. Menurut pemateri, secara sosial, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sangat selektif dalam memilih makanan. Karena itulah, banyak perusahaan mensertifikasi produk mereka agar bisa diterima oleh masyarakat Muslim Indonesia secara luas.
Sertifikasi halal bukan hanya menjamin kehalalan suatu produk dalam kacamata Islam, tetapi juga kebersihan lingkungan pabrik, kebersihan makanan, dan juga jaminan bahwa produk tersebut aman dikonsumsi oleh manusia. Karena inilah, bagi banyak orang, khususnya masyarakat Muslim, jika suatu produk sudah ada sertifikat halal (atau cap halal), maka produk makanan atau obat ini sudah terpercaya dan aman digunakan.
*****
Otoritas sertifikasi yang dimonopoli MUI kemudian mulai digugat oleh Menteri Agama periode 2009 – 2014, Suryadharma Ali, yang menginginkan agar sertifikasi halal dikelola oleh pemerintah. MUI sebenarnya memprotes rencana Kementerian Agama yang menginginkan agar sertifikasi halal diurus oleh negara.
Namun, dalam hal ini, MUI menawarkan opsi agar LPPOM yang dijalankan oleh MUI, mendapat legitimasi dari negara. Sehingga, MUI memiliki wewenang yang jelas untuk mengurus masalah pangan umat. Sayangnya, pihak kementerian justru menolak dan mengeluarkan UU No. 33 tentang Jaminan Produk Halal tahun 2014.
Menurut pemateri, perebutan wewenang sertifikasi halal dari MUI ke negara, adalah bentuk “syariahisasi”, di mana negara berarti menggunakan hukum dari suatu agama tertentu yang kemudian dijadikan patokan umum. Sertifikasi halal memang pada dasarnya tidak hanya dikeluarkan oleh MUI. NU misalnya, juga memiliki lembaga halal sendiri. Namun, setelah UU No. 33 tentang Jaminan Produk Halal diberlakukan, otomatis negara memilki wewenang untuk mengeluarkan sertifikasi.
Kenapa pemerintah begitu ingin memonopoli sertifikasi halal? Tentu saja, itu karena sertifikasi ini memiliki peluang ekonomi yang cukup besar bagi pemasukan negara. Banyak perusahaan yang tertarik mensertifikasi produknya sehingga dalam kacamata pemerintah, tentu akan sangat menguntungkan jika sertifikasi halal dikelola oleh mereka, bukan oleh ormas.
Agar tidak terjadi perdebatan yang berlarut-larut, walaupun sertifikasi ini dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi dalam prosesnya, pemerintah mengakomodir organisasi-organisasi Islam seperti MUI, untuk meneliti dan memastikan kehalalan suatu produk. Dengan demikian, pemerintah membuka kemungkinan kerja sama dengan organisasi sipil untuk mengawasi produk makanan, kosmetik dan obat-obatan yang beredar di pasar.
*****
Setelah pemateri menjabarkan materinya, maka dibukalah sesi tanya jawab. Pertanyaan pertama yang diajukan oleh peserta adalah bagaimana dengan makanan yang tidak memiliki label halal? Sebab, saat ini prasangka masyarakat memandang jika suatu produk tidak memiliki label halal, maka otomatis menjadi haram. Selain itu, bagaimana dengan produk makanan yang dibuat oleh UMKM yang tidak mungkin mensertifikasi produk mereka?
Syafiq Hasyim menjawab, masalah pelabelan halal dan haram, memang menjadi perdebatan sebagian ulama memandang bahwa yang harus dibeli label adalah yang haram bukan yang halal. Namun, dari segi ekonomi politik, barang yang halal itu lebih sedikit. Dengan demikian, dari sudut pandang pasar, ia tidak memiliki manfaat ekonomis, sebaliknya jika suatu produk memiliki label halal. Maka, banyak perusahaan akan meminta produknya disertifikasi dan itu menguntungkan bagi pengusaha, karena akan mendapatkan kepercayaan dari konsumen.
Di sisi lain, tidak semua produk yang tidak disertifikasi halal, berarti haram, sebab banyak kendala bagi UMKM atau pedagang kecil untuk mensertifikasi produknya, seperti biaya dan lain sebagainya. Sebenarnya di sini, umat diberi kebebasan untuk menilai mana makanan yang sekiranya halal atau haram.
Pertanyaan berikutnya, apakah dalam Islam, setiap ulama atau kyai memiliki otoritas memberikan label halal dan haram di luar lembaga seperti ormas?
Pemateri menjawab, memang pada dasarnya otoritas memberi fatwa halal dan haram adalah otoritas yang fleksibel dan tersebar. Setiap pakar agama yang memiliki kualifikasi kemampuan, berhak untuk mengeluarkan fatwa halal dan haram. Namun, karena di Indonesia dan beberapa negara seperti di Malaysia dan Brunei, masalah makanan halal sudah tertera dalam undang-undang, maka dibuatlah lembaga terpusat untuk mengurus urusan tersebut.
Lembaga yang berwenang sepeti Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) diberi otoritas untuk meneliti dan memberi keputusan terorganisir untuk memberikan sertifikasi halal pada suatu produk.
Pertanyaan berikutnya, apakah kualifikasi halal kita sama dengan standar BPOM?
Pemateri menjawab, bahwa dari segi kesehatan, kualifikasi halal lebih tinggi atau baik daripada BPOM. Jika BPOM hanya melihat kualifikasi kesehatan makanan, sertifikasi halal yang dikeluarkan BPJPH justru melihat aspek (selain sehat) adalah thayyib atau yang baik secara teologis. Sehingga, masyarakat lebih tertarik dengan sertifikasi halal ketimbang kualifikasi sehat yang dikeluarkan oleh BPOM. Dari sini, jika potensi pangan kita terus ditingkatkan, bukan mustahil jika Indonesia bisa mendominasi pasar makanan halal dunia.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com