Cerita Forum Kebebasan Webinar: Kebhinnekaan dan Kebebasan Beragama di Indonesia

680

Indonesia merupakan negara dengan keragaman agama dan kepercayaan yang sangat kaya. Ada berbagai agama dan aliran kepercayaan yang hidup dan berkembang di negara kita ini. Keragaman kepercayaan yang tinggi ini tentu merupakan sesuatu yang patut kita apresiasi. Namun, tidak jarang keragaman ini juga menimbulkan konflik horizontal.

Berkembangnya kelompok-kelompok keagamaan ekstrim dan intoleran merupakan salah satu permasalahan besar yang muncul di tengah-tengah keragaman yang begitu tinggi ini. Kelompok-kelompok ini tak jarang menuntut konformitas di masyarakat dan memaksa setiap orang untuk mengikuti ajaran keagamaan yang diyakininya lewat ancaman maupun tindakan kekerasan.

Belum lama ini, kelompok Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, misalnya, menjadi sasaran kelompok-kelompok intoleran tersebut. Kelompok Sunda Wiwitan tidak boleh mendirikan makam oleh sebagian kelompok masyarakat karena dianggap bertentangan dengan keyakinan kelompok masyarakat tersebut. Berbagai kelompok keagamaan minoritas lain, seperti umat Kristiani, Hindu, Syiah, dan Ahmadiyah, juga tak jarang mengalami tindakan intoleransi dan kekerasan di berbagai wilayah.

Lantas, bagaimana cara kita menghadapi kelompok-kelompok intoleran ini dan menjaga kebhinnekaan kita? Dan bagaimana juga langkah terbaik yang bisa dilakukan untuk melindungi hak setiap warga negara untuk bebas beribadah dan berkeyakinan?

Untuk membahas hal tersebut, Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan yang mengangkat tema “Kebhinnekaan dan Kebebasan Beragama di Indonesia”. Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Tenaga Ahli Utama Kedeputian V, Kantor Staf Presiden Republik Indonesia, Rumadi Ahmad.

Pemateri membuka diskusi dengan menjelaskan bahwa wacana kebebasan beragama dan berkeyakinan belum terlalu lama dikaji sebagai suatu diskursus akademik. Menurut Beliau, pengkajian masalah kebebasan berkeyakinan baru mulai ramai dibahas kira-kira tahun 2005 hingga sekarang. Ini didasarkan pada hasil-hasil riset yang ditulis dan dicetak oleh para intelektual mengenai tema kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Munculnya diskusi yang serius mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia tentu bukan datang secara tiba-tiba. Adanya kasus kekerasan berlatar belakang agama, intoleransi umat beragama, diskriminasi kaum minoritas, dan bentrokan antar umat beragama, membuat kajian keagamaan di Indonesia menjadi hal yang menarik untuk dikaji secara serius.

Banyak orang meyakini bahwa komunitas agama saling hidup rukun di Indonesia karena masyarakatnya menjunjung falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”. Faktanya, kekerasan dan intoleransi yang muncul dewasa ini di masyarakat kita adalah bukti bahwa Indonesia tidak terlalu toleran dalam menanggapi isu-isu keagamaan. Bahkan, agama masih menjadi isu yang sensitif dan rentan menimbulkan konflik.

Menurut pemateri, dalam mengkaji masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan di masayarakat, terdapat tiga paradigma yang menjelaskan mengenai akar masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan. Paradigma yang pertama adalah bahwa kebebasan beragama dapat terjadi atau tidak sama sekali tergantung pada negara. Sumber konflik dan juga ketertiban adalah negara itu sendiri.

Dalam paradigma ini, negara menjadi titik sentral dalam masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jika negara tidak begitu perduli dengan masalah kebebasan dan berkeyakinan warganya, niscaya konflik antar agama akan terjadi. Sebaliknya, jika negara melindungi dan menjamin agama-agama bisa melakukan ritual secara bebas, maka keharmonisan dan kerukunan antar agama akan tercipta. Sebagian peneliti meyakini bahwa produk hukum (yaitu perundang-undangan) yang menjamin kebebasan beragama, aparat penegak hukum yang tegas, menjadi kunci dalam menciptakan stabilitas sosial dan menghindari aksi-aksi intoleransi.

Sedangkan paradigma yang kedua, lebih menekankan peran sentral masyarakat (society) sebagai agen keharmonisan antar agama dan kebebasan berkeyakinan. Menurut pemateri, masalah konflik dan keharmonisan antar agama ada di masyarakat dan penyikapan masyarakat. Walaupun negara telah membuat produk hukum yang baik guna menaungi semua kelompok tetapi masyarakatnya berpikiran radikal dan intoleran, maka konflik-konflik keagamaan akan timbul dan akan terus berulang.

Di Indonesia jika kita melihat kasus intimidasi kelompok agama minoritas yang berujung konflik, biasanya (dalam beberapa kasus) yang menjadi inisiator bukanlah pemerintah atau penegak hukum, namun dari masyarakat sipil atau kelompok masyarakat seperti ormas. Contohnya adalah kasus penyerangan komunitas Muslim Ahmadiyah di Cikeusik dan di NTB, atau pengusiran komunitas Syiah di Madura.

Dalam kasus-kasus ini, kelompok masyarakat bertanggung jawab atas terjadinya aksi-aksi intoleransi. Dalam paradigma ini, solusi untuk menciptakan kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah dengan mengedukasi masyarakat tentang pluralisme dan toleransi. Namun, pemateri agak ragu apakah dengan menanamkan gagasan “kebebasan individu dalam beragama” bisa sukses diterapkan di Indonesia. Sebab, menurut pemateri, masyarakat Indonesia masih bersifat komunal, sehingga dalam masyarakat komunal, hak-hak individu dibatasi oleh kepentingan bersama.

Sedangkan paradigma ketiga adalah, kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat terwujud jika ada relasi dan integrasi antara negara dan masyarakat. Dalam paradigma ini menurut pemateri, perlu kerjasama yang baik antara negara dan masyarakat dalam menciptakan suasana yang harmonis dan saling jaga antar komunitas agama.

Namun di Indonesia, justru malah terjadi kepincangan kerjasama antara negara dan masyarakat. Ketika negara menghendaki kebhinnekaan dan kebebasan beragama warganya, muncul kelompok-kelompok masyarakat yang menentangnya. Dan anehnya, negara justru terlihat melemah dan terpaksa mengikuti kemauan masyarakat.

Misalnya, dalam kasus Gafatar dan Komunitas Eden, walaupun undang-undang dan hukum kita tidak mempermasalahkan munculnya agama baru atau aliran baru, kadang kelompok masyarakat yang menekan negara, membuat negara takhluk sehingga kelompok minoritas seperti Komunitas Eden dan Gafatar, terpaksa dikriminalkan.

Pemateri menegaskan bahwa tidak ada larangan jika masyarakat ingin membentuk agama atau sekte baru. Negara juga tidak bisa menghalangi masyarakat yang ingin membangkitkan kembali agama-agama lokal atau memilih untuk menjadi ateis.

Dan jika kita perhatikan dengan seksama, sebenarnya produk hukum di Indonesia sudah cukup baik untuk melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam kasus Gafatar atau Lia Eden, pemidanaan sebenarnya bukan kepada mereka yang mendirikan agama baru, namun pada orang yang menodai atau menistakan ajaran agama atau mengungkap kebencian terhadap suatu agama.

Namun, karena negara terlalu lunak terhadap tuntutan-tuntutan ormas dan kelompok masyarakat tertentu, akhirnya komunitas keagamaan atau aliran kepercayaan dikorbankan hanya demi menentramkan keadaan. Seperti pembangunan gereja yang terhambat karena desakan ormas, penyegelan paseban komunitas Sunda Wiwitan, dan juga penyegelan masjid milik Ahmadiyah adalah contoh buruknya penegakan hukum oleh pemerintah dan aparatur negara. Dengan demikian, jika hal ini terus berlangsung, dikhawatirkan masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan di negeri ini kian memburuk.

****

Setelah Pemateri memaparkan materinya, para peserta mulai diajak untuk berdiskusi dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau. Namun, sebelum moderator memberi kesempatan kepada peserta, Haikal Kurniawan selaku moderator turut mengajukan pertanyaan, yaitu kenapa di zaman Orde Baru komunitas penghayat kepercayaan diberikan ruang yang luas untuk mengekspresikan agamanya? Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Orde Baru adalah rezim yang cukup represif, namun dalam masalah beragama, Pak Harto memberikan ruang bagi komunitas penghayat kepercayaan, bahkan mereka bisa berpartisipasi di televisi dalam acara mimbar agama.

Pemateri menjawab bahwa, kemungkinannya bisa karena rezim Orde Baru pada masa itu tidak menjadikan komunitas kepercayaan sebagai ancaman bagi kedudukan politiknya. Komunitas kepercayaan hanya menjaga adat dan norma-norma nenek moyang, mereka cenderung pasif terhadap masalah politik. Terlebih lagi, Suharto sendiri dalam beragama cenderung pada kebatinan Jawa. Ini dibuktikan betapa fasihnya beliau menjelaskan butir-butir falsafah dan kearifan para pujangga Jawa dan juga para leluhur Jawa.

Kemungkinan kedua menurut pemateri, bisa jadi ini disebabkan pola hidup masyarakat lampau cenderung lebih toleran ketimbang saat ini. Semangat primordialisme dalam hal keagamaan masyarakat lampau tak segencar saat ini. Masyarakat zaman dahulu tak mempermasalahkan urusan pergaulan dengan non-muslim. Sedangkan saat ini, dengan perkembangan internet yang makin menggencarkan ide-ide militansi dalam agama dan juga munculnya tren semangat keagamaan yang hadir di Timur Tengah mempengaruhi pola keagamaan masyarakat kita belakangan ini menjadi semakin militan.

Setelah menjawab pertanyaan moderator, para peserta ikut memberi tanggapan dan juga pertanyaan kepada pemateri. Salah satu tanggapan adalah mengenai apakah masyarakat Indonesia di zaman Orde Baru lebih toleran atau tidak, ini masih menjadi perdebatan. Sebab, pada masa Orde Baru dominasi negara sangat kuat mencengkram setiap lini kehidupan, sehingga ketika pemerintah berkata A, maka tidak ada yang berani membantah secara terang-terangan. Jadi, apakah masyarakat Indonesia zaman Orde Baru lebih toleran dari masa sekarang tidak bisa dipastikan.

Kemudian, dalam masalah intoleransi dan kebebasan beragama di Indonesia, nampaknya kita terlalu pesimis dalam melihat keadaan di Indonesia. Kenapa kita tidak membandingkan keadaan kita dengan masyarakat Bangladesh atau Pakistan yang kasus radikalisme dan intoleransinya sangat tinggi. Jika dibandingkan dengan Afghanistan, Pakistan, dan juga Bangladesh, tentu negara kita jauh lebih baik dan toleran.

Setelah mendengar tanggapan dari peserta, Pemateri merespon bahwa apa yang disampaikan dalam tanggapan tersebut memang ada benarnya, khususnya masalah toleransi di Indonesia. tentu jika dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan, tentu keadaan masayarakat kita jauh lebih baik dan lebih toleran. Namun, hal ini jangan sampai membuat kita berpuas diri. Masalah radikalisme tetap menjadi persoalan utama keberagamaan di Indonesia.

Pertanyaan berikutnya disampaikan oleh peserta, apa karena konsep yang ditekankan di Indonesia itu lebih ke arah “kerukunan” bukan “kebebasan”, sehingga polisi dan ormas kadang mendiskreditkan minoritas karena konsep yang ditekankan adalah kerukunan bukan kebebasan, sehingga demi kerukunan minoritas dikorbankan?

Pemateri menjawab bahwa memang benar, pemerintah kita lebih menekankan kerukunan dan harmoni sosial ketimbang kebebasan. Dengan demikian, apa yang terjadi di Kuningan (penyegelan paseban milik Sunda Wiwitan) dilakukan dengan mengatasnamakan kerukunan dan kebaikan bersama. Di satu sisi, memang masalah “menjaga kerukunan” akan berimbas pada dipotongnya hak-hak individual.

Namun, di sisi lain, sikap masyarakat yang mengedepankan harmoni sosial-lah yang membuat negara kita tidak seperti Pakistan atau Afghanistan, di mana masyarakat kita cenderung menerima dan tunduk demi kepentingan bersama. Sikap menjaga kerukunan ini juga penting ditanamkan dalam masyarakat kita.