Pada hari Jumat, 11 Juni 2021 lalu, Suara Kebebasan kembali menyelenggarakan diskusi terkait dengan kebebasan berbicara di internet sekaligus membahas pentingnya perlindungan data pribadi lewat pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Dalam diskusi kali ini, Suara Kebebasan mengundang Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Rifqi Rachman, sebagai pembicara di dalam diskusi tersebut.
Mengenai kebebasan berbicara di internet dan juga perlindungan data pribadi Suara Kebebasan memiliki pandangan bahwa isu ini semakin mendesak dan penting untuk dibahas. Pasalnya, kebebasan berekspresi individu untuk berkomentar dan berpendapat mulai terganggu.
Media sosial saat ini sudah menjadi hal penting bagi masyarakat. Banyak orang menuangkan isi pikiran dan suasana hati dalam bentuk memposting tulisan, mengunggah foto, mengomentari tautan dan lain sebagainya.
Sayangnya, aktivitas untuk bermedia sosial saat ini mulai dibatasi oleh pemerintah, baik lewat polisi siber maupun UU ITE. Orang-orang yang memiliki suara kritis, seperti melalui sarkasme, akan dengan mudahnya dijebloskan ke penjara dengan dalih melakukan hate speech atau ujaran kebencian.
Rifqi Rahman menjelaskan kebebasan berbicara ini sebenarnya sudah dijamin oleh Undang-Undang (UU) No. 9 tahun 1998 mengenai penjaminan praktik kebebasan berpendapat di muka umum. Namun menurut Rifqi, hal ini masih bermasalah karena UU ini hanya menyentuh pada aspek luring bukan daring. Dengan kata lain, kebebasan berbicara di internet bukan salah satu model kebebasan berbicara yang dilindungi dan dijamin oleh pemerintah.
Dalam UU tersebut, kebebasan berpendapat yang dimaksud adalah yang berada di wilayah fisik, seperti, mimbar bebas, rapat umum, dan pawai, sedangkan kebebasan berbicara di internet tidak termaktub sebagai model kebebasan yang harus dilindungi sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini. Inilah yang di kemudian hari menjadi masalah serius.
Rifqi mengatakan, angka pengguna internet pasti meningkat tiap tahun. Melihat fenomena kriminalisasi yang menyasar model-model penyampaian pendapat secara daring, menurut Rifqi menjadi bukti betapa pentingnya pemerintah melakukan perbaikan pada beberapa pasal yang ada di dalam UU 9 Tahun 1998 tersebut.
Laporan yang dikeluarkan oleh beberapa organisasi seperti SAFENet dan LBH Pers secara terang menunjukkan adanya tren pemidanaan yang menyasar kelompok kritis di tengah masyarakat. Karenanya, perubahan pada UU 9/1998 akan menjadi elemen komplementer pada upaya perbaikan iklim demokrasi, khususnya soal penyampaian pendapat di Indonesia.
Selain menjelaskan pentingnya perlindungan kebebasan berbicara di internet, Rifqi juga menjelaskan pentingnya perlindungan data pribadi para pengguna internet. Sebab, masalah kebebasan berbicara dan identitas pribadi adalah sektor privat yang sudah seharusnya mendapatkan jaminan keamanan oleh negara.
Di beberapa negara menurut Rifqi, masalah data pribadi ini justru sering diselewengkan dan disalahgunakan oleh negara dengan dalih keamanan seperti di Myanmar, Uganda, dan China. Sedangkan di beberapa negara lainnya, para politisi kerap menggunakan data pribadi untuk kepentingan politik mereka, seperti di pemilu Presiden Amerika Serikat contohnya.
Karena itulah, perumusan RUU Perlindungan Data Pribadi atau RUU PDP sangat penting untuk masyarakat Indonesia yang kerap menggunakan internet setiap hari. RUU ini menjadi begitu penting karena melindungi keamanan data pribadi milik warga negara sekaligus mencegah pihak-pihak yang mencoba menyalahgunakan data pribadi pihak lain.
Sayangnya, terdapat tantangan tersendiri bagi publik untuk mengikuti perkembangan seluruh proses perumusan RUU PDP secara lengkap. Rifqi menyayangkan ketidaktransparanan di DPR dalam merumuskan RUU ini.
Hingga saat ini, rancangan yang dapat diunggah masih terhenti di versi bulan Januari 2020 setebal 39 halaman. Padahal, menurut Rifqi, hal-hal yang diusulkan dan diubah dalam RUU PDP dari rapat-rapat Panja sangat penting untuk diawasi oleh publik.
Kondisi ini patut disayangkan, sebab tidak lengkapnya informasi yang dapat diakses publik seakan memutus semangat transparansi. Padahal menurut Rifqi, penyediaan akses informasi seperti ini penting untuk dipublikasikan, sehingga publik dapat mengakses dan mengetahui informasi termutakhir yang berkaitan dengan proses formulasi perumusan RUU PDP ini.
*****
Setelah menyampaikan materinya, pada sesi tanya jawab, beberapa peserta mulai mengajukan pertanyaan. Salah satunya adalah masalah pengaksesan data pribadi. Salah satu peserta bertanya, apakah lembaga ilmiah di luar lembaga riset milik pemerintah dikecualikan, sehingga mereka bisa mengakses data pribadi untuk kepentingan riset? Apakah hanya lembaga riset milik negara yang dapat mengakses data tersebut?
Menjawab hal ini, Rifqi merujuk pada RUU PDP yang tertera pada Pasal 16 mengenai pengecualian institusi yang dapat mengakses data pribadi. Menurut Rifqi, dalam penjelasan mengenai pasal tersebut tidak tertera apakah institusi ilmiah non pemerintah alias swasta bisa mengakses data pribadi untuk kepentingan risetnya.
Namun menurut Rifqi, pasal tersebut bisa dimaknai, jika suatu lembaga riset ingin mengakses data pribadi seseorang dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan, maka hal itu dibolehkan. Namun, hal ini juga perlu dikaji lebih lanjut.
Peserta selanjutnya kemudian mengajukan pertanyaan lainnya yang terkait perlindungan data pribadi, apakah pihak-pihak yang meretas atau sengaja menyebarkan data pribadi seseorang dapat dihukum? Pasalnya, di Korea Selatan perusahaan sebesar Microsoft dapat dikenakan sanksi finansial karena telah membocorkan 114 data pribadi penduduk Korea Selatan.
Menjawab hal ini, Rifqi mengatakan bahwa sanksi peretasan data juga termaktub dalam RUU PDP ini, baik berupa sanksi pemblokiran, sanksi pidana atau sanksi finansial berupa denda. Beberapa waktu lalu, lembaga seperti BPJS Kesehatan juga terbukti melakukan kelalaian hingga jutaan data mengalami kebocoran, namun, karena RUU PDP ini belum disahkan, maka tidak ada sanksi apapun yang dijatuhkan pada pihak BPJS Kesehatan, kata Rifqi.
Peserta lainnya kemudian bertanya mengenai isu yang sedang hangat terkait dengan RKUHP Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, di mana orang yang melakukan tindak penghinaan yang dapat merendahkan martabat pemerintah di media sosial akan dikenakan sanksi penjara. Audiens tersebut kemudian meminta pandangan pribadi pemateri .
Menanggapi pernyataan dari audiens tersebut, Rifqi kemudian beralih kepada persoalan revisi UU ITE yang hingga saat ini masih menjadi polemik. Namun, melihat pemberitaan yang muncul di media belakangan ini, pemerintah seolah tidak berniat serius untuk merevisi UU ITE ini.
Hal ini dibuktikan dengan ucapan pemerintah yang mengatakan bahwa UU ITE tidak bermasalah, yang bermasalah hanyalah penerapannya. Ucapan pemerintah ini menjadi satu pijakan kuat bagi aktivis demokrasi bahwa pemerintah seolah ingin mempertahankan UU ITE khususnya mengenai pasal pencemaran nama baik di media sosial.
Dugaan ini dibuktikan dengan isu mengenai RKUHP terkait dengan pemidanaan terhadap orang-orang yang terbukti melakukan penghinaan dan perendahan martabat presiden atau pemerintah di media sosial. Dengan kata lain, RKUHP ini sangat bertentangan dengan semangat kebebasan berekspresi di internet bahkan mengancam kebebasan warganet untuk mengkritisi pemerintah, jelas Rifqi.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com