Masalah kemiskinan adalah masalah yang krusial dan masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Isu kemiskinan juga menjadi persoalan menarik yang tidak pernah habis untuk dibicarakan dan didiskusikan baik oleh politisi, ekonom, bahkan agamawan. Karena memang, persoalan kemiskinan dan kesejahteraan adalah asas penting yang harus dipenuhi oleh setiap orang.
Suara Kebebasan sebelumnya telah menerjemahkan sebuah buku yang berjudul “Kemiskinan dan Kebebasan” yang diedit oleh Presiden Atlas Network, Matt Warner, dan juga diterbitkan oleh Atlas Network. Untuk mendiskusikan buku ini pada 23 Juli 2021 lalu, Suara Kebebasan mengadakan diskusi webinar Forum Kebebasan yang mengangkat topik “Diskusi Buku Kemiskinan dan Kebebasan”. Menjadi pembicara dalam diskusi kali ini adalah Direktur Eksekutif Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS), Nanang Sunandar.
Dalam pembukaannya, Haikal Kurniawan selaku moderator memaparkan bahwa banyak orang berpikir bahwa cara mengatasi kemiskinan yang menjamur di beberapa negara berkembang seperti di Afrika dan Asia adalah dengan cara memberi mereka uang. Padahal, mereka tidak tahu konsekuensi atas apa yang mereka lakukan. Apakah dengan memberi sumbangan uang kepada rakyat miskin maka kemiskinan akan hilang begitu saja, atau malah membuat rakyat mengalami ketergantungan?
Nanang Sunandar selaku pemateri menjelaskan bahwa dalam diskursus filsafat dan ideologi politik, isu kemiskinan seolah sudah dimonopoli oleh kelompok aktivis dan para intelektual kiri seperti sosialis atau Marxis. Kaum kiri membicarakan kasus kemiskinan dalam lanskap eksploitasi individu oleh individu lain dan juga mengenai keadilan sosial.
Sebagaimana pandangan pemateri diawal, bahwa kebanyakan orang-orang sosialis lebih menyetujui distribusi kemakmuran melalui bantuan sosial dan uang tunai kepada fakir miskin ketimbang melakukan pemberdayaan agar masyarakat menjadi lebih mandiri.
Kapitalisme atau pasar bebas memiliki cara lain untuk menjawab persoalan kemiskinan tersebut. Buku “Kemiskinan dan Kebebasan” ini menawarkan cara pandang baru dalam dunia perbukuan di Indonesia yang umumnya didominasi dengan gagasan kaum kiri.
Banyak orang yang menyalahpahami makna pasar bebas sebagai sebuah sistem ekonomi yang memihak pada orang kaya. Namun pada dasarnya, pandangan tersebut tidak benar. Pasar bebas berpijak pada kedaulatan manusia sebagai pelaku utama dalam kegiatan ekonomi.
Menurut pemateri, terdapat dua hal yang paling esensial dalam pasar bebas. Pertama, kedaulatan individu-individu sebagai pelaku ekonomi dan kedua adalah kebebasan tiap individu untuk melakukan pertukaran sukarela dalam bertransaksi. Dalam mengentaskan kemiskinan, pasar bebas menekankan pada kebebasan pasar dan juga kemandirian individu-individu dalam praktik ekonomi tanpa kontrol yang bersifat totaliter dan sentralistik.
Pemateri mencontohkan Afrika Selatan di mana saat politik Apartheid berlaku di sana, banyak orang kulit hitam mengalami perampasan tanah dan tidak bisa memiliki tanah sebagai properti sah milik mereka. Ketika sistem Apartheid dihapus, maka sangat ditekankan agar pemerintah mengembalikan tanah-tanah tersebut kepada pemilik asli mereka dan siapapun yang mau membeli dan mengolahnya. Tetapi sayangnya, banyak para warga kulit hitam di negara tersebut yang tidak mendapatkan sertifikat yang seharusnya berhak mereka dapatkan.
Di Ukraina, pasca bubarnya Uni Soviet, pemerintah Ukraina melakukan privatisasi tanah sehingga tiap tanah dapat dimanfaatkan secara ekonomis oleh setiap orang dan masyarakat dapat menggandakan keuntungan dari tanah tersebut. Hal ini merupakan praktek nyata bahwa kebebasan properti merupakan salah satu syarat untuk mengentaskan kemiskinan.
Pasar bebas juga menekankan pada kemudahan perizinan usaha dan juga kemudahan mendapat permodalan. Jika dua hal ini dipangkas, tentu gairah ekonomi juga akan tumbuh. Ini adalah contoh dimana kebebasan ekonomi akan membuka ruang-ruang usaha yang besar dan bermanfaat bagi kebangkitan ekonomi.
Jika dalam ekonomi sosialis pengentasan kemiskinan lebih menekankan pada bantuan sosial sebagai distribusi kemakmuran, sedangkan dalam pasar bebas, pengentasan kemiskinan lebih menekankan pada peningkatan peluang usaha dan gairah ekonomi agar setiap orang bisa memiliki kesempatan yang sama untuk berusaha.
*****
Dalam sesi tanya jawab, beberapa peserta mengajukan pertanyaan kepada pemateri, seperti tantangan apa yang dihadapi oleh kita saat ini untuk mengentaskan kemiskinan.
Nanang menjawab bahwa isu yang sering mengganjal adalah mengenai prinsip hak kepemilikan, yaitu ketika masyarakat Indonesia menghalangi modal atau investasi yang masuk ke suatu daerah dengan semangat “anti asing” atau rasa takut jika kaum asing akan menjajah ekonomi Indonesia. Asumsi seperti ini menurut Nanang sangat keliru ,sebab dengan masuknya invfestasi dan modal dalam suatu daerah, maka peluang usaha dan manfaat ekonomi akan didapat oleh masyarakat sekitar.
Contohnya pada kasus tanah di Ukraina, di mana banyak tanah yang dikuasai oleh negara, namun terbengkalai karena tidak dimanfaatkan secara ekonomis. Begitu pula jika satu daerah menolak modal usaha dari asing (baik luar negeri atau luar daerah), maka potensi ekonomi di daerah tersebut akan terbengkalai dan tak bisa dimanfaatkan secara optimal.
Lalu pertanyaan peserta selanjutnya, ia bertanya apakah kemiskinan dan agama memiliki keterkaitan?
Di sini, pemateri menjelaskan bahwa “mungkin” terdapat keterkaitan, sebab agama mempengaruhi konstruksi mental manusia. Misalnya, jika satu agama berorientasi pada anti hal-hal yang bersifat keduniaan, otomatis motivasi ekonomi pengikutnya rendah. Sementara, jika satu agama memberi penghargaan besar pada hal-hal keduniaan, maka hal itu akan mempengaruhi motivasi ekonomi penganutnya untuk menjadi sukses
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pandangan libertarian tentang pemberian bansos dan pembatasan sosial seperti karantina saat pandemi. Pemateri menjawab bahwa dalam hal prinsip, libertarian menentang perampasan kebebasan dalam hal apapun. Ketika pandemi COVID-19 menyerang, maka hal yang harus dilakukan adalah meminimalisir pengetatan dengan menyerahkan pada partisipasi individu dalam penerapan protokol kesehatan.
Dalam masalah bantuan sosial terjadi perdebatan di kalangan libertarian yang menyetujui menolak. Namun, secara moderat, pemateri menyetujui jika bantuan sosial tersebut diberikan pada orang yang tepat dan benar-benar dalam keadaan darurat.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com