Pembahasan upah minimum dan juga isu mengenai kesejahteraan pekerja atau buruh nampaknya merupakan isu abadi yang terus langgeng dan disuarakan oleh massa pekerja setiap tahunnya. Persoalan mengenai upah ini pun belakangan kembali mencuat ketika pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, menegaskan rata-rata kenaikan upah minimum (UM) secara nasional mencapai 1,09 persen di tahun 2022
Hal ini tentu saja diprotes oleh para serikat buruh yang menginginkan agar kenaikan upah per tahunnya tetap di angka 10% sebagaimana tahun sebelumnya dan juga agar kesejahteraan buruh lebih terjamin di tengah pandemi. Perdebatan muncul, dan beberapa pihak mendukung keputusan pemerintah mengenai peraturan upah atau gaji. Sedangkan, beberapa pihak lainnya menolak secara tegas penetapan UMP oleh pemerintah yang dianggap akan membahayakan kesejahteraan para buruh.
Di tengah polemik yang tengah hangat ini, pada 3 Desember 20201 lalu, Suara Kebebasan mengundang Pendiri dan Direktur Eksekutif Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS), Nanang Sunandar, sebagai pembicara di diskusi webinar Forum Kebebasan yang mengangkat tema “Dampak Kebijakan Upah Minimum Tinggi terhadap Peningkatan Lapangan Kerja dan Kesejahteraan”.
*****
Dalam pembukaannya, Nanang Sunandar menjelaskan suatu masalah yang cukup fundamental. Yakni, mengapa isu mengenai upah buruh setiap tahun selalu diangkat, dan mengapa para buruh selalu melakukan demonstrasi untuk menuntut masalah yang sama selama bertahun-tahun.
Nanang Sunandar menjawab bahwa hal ini terkait dengan soal “kesejahteraan”. Siapa pun ingin agar hidupnya sejahtera, baik buruh atau bukan. Hasrat untuk mencapai kesejahteraan ini merupakan hasrat alami manusia yang bisa dimaklumi, karena berlandaskan pada kesejahteraan inilah kaum buruh selalu menuntut kenaikan upah setiap tahunnya.
Namun, di mana masalahnya? Yang menjadi masalah adalah ketika negara berusaha untuk mengkhususkan satu kelompok dan meninggalkan kelompok lainnya. Dengan kata lain, Pemerintah memperhatikan upah minimum buruh tetapi tidak menetapkan upah minimum bagi pekerja sektor lainnya.
Hal ini menjadi semakin menarik ketika Nanang Sunandar menjelaskan survei yang dilakukan oleh INDEKS bahwa para pekerja di Indonesia tidak hanya berprofesi sebagai pekerja tetap atau buruh. Ada juga pekerja lepas, pekerja harian yang memiliki upah tidak tetap dan pekerja setengah pengangguran.
Nanang menambahkan, jika memang tujuan negara adalah mensejahterakan rakyat, mengapa pemerintah hanya menetapkan pada satu kelompok saja yaitu buruh bukan pekerja lainnya? Tentu ini menjadi diskriminasi.
Di sisi lain, Nanang Sunandar menjelaskan bahwa tingginya upah minimum tentu berpengaruh pada kelompok pekerja lainnya, yaitu para pengusaha dan wirausaha. Dengan adanya penetapan UMP atau upah minimum yang terlampau tinggi di tiap daerah, tentu ini berimbas pada turunnya jumlah pengusaha dan wirausaha di Indonesia.
Hal ini disebabkan karena beberapa pengusaha menganggap ongkos untuk membayar gaji pekerja terlalu tinggi. Dengan demikian, hal ini akan memberatkan usaha mereka kedepannya. Nanang sendiri membawa hasil survei yang dilakukan oleh lembaganya.
Berdasarkan hasil survei tersebut, dari tahun 2012 hingga 2021, jumlah pengusaha yang mampu menggaji buruh tetap jumlahnya terus menurun, dari 3,33 persen, menjadi 2,89 persen. Ini mengindikasikan semakin tinggi UMP setiap tahun, semakin rendah jumlah pengusaha.
Di sisi lain, meski profesi buruh tetap meningkat. Namun, jumlah pekerja tidak tetap, pekerja setengah pengangguran, dan juga pekerja lepas yang tidak memiliki standar upah minimum justru malah jauh meningkat ketimbang populasi buruh tetap selama setahun.
Jika nilai UMP semakin tinggi, maka para pengusaha bisa saja mem-PHK karyawan tetapnya agar ongkos produksi lebih efisien. Akibatnya, semakin banyak jumlah pekerja tidak tetap yang memiliki pendapatan di bawah upah minimum.
Inilah salah satu dampak yang dijelaskan oleh Nanang Sunandar terkait dengan masalah kenaikan upah buruh. Nanang menjelaskan, kenaikan upah per tahun harusnya disesuaikan dengan produktivitas buruh dan juga nilai kerjanya, bukan malah didikte oleh pemerintah.
*****
Dalam sesi tanya jawab, beberapa peserta mulai mengajukan sejumlah pertanyaannya. Salah satunya adalah bagaimana dengan masalah UU Omnibus Law yang mengatur pengupahan buruh? Apakah sudah berjalan?
Menurut Nanang Sunandar, UU Omnibus Law secara hukum memang sudah disahkan, tapi belum dipraktikkan seluruhnya dalam dunia kerja. Berbagai kontroversi dan juga penolakan terhadap UU ini membuat pelaksanaannya makin lambat, padahal ini penting sekali untuk semua pihak.
Sebab, dengan pemberian otonomi gaji kepada pengusaha, maka akan semakin banyak lapangan pekerjaan karena upah pekerja di Indonesia lebih bersaing dan menarik minat investor. Dengan semakin tingginya UMP dan juga sulitnya membuka usaha, justru membuat lapangan kerja menjadi makin berkurang dan ini berpengaruh pada kesejahteraan buruh.
Peserta lainnya mengajukan sebuah pertanyaan, apakah kehadiran serikat-serikat buruh yang setiap tahun menuntut kenaikan upah menjadi sumber masalah?
Pemateri menjawab bahwa, keberadaan serikat buruh dan bukan merupakan masalah. Sebab, tugas serikat adalah menegosiasikan besaran upah buruh pada pengusaha. Tetapi yang celaka adalah ketika serikat buruh justru menekan pemerintah untuk membuat regulasi seperti upah minimum yang kenaikannya sudah dipastikan tiap tahun.
Jika seperti ini tentu pemerintah terkesan membela satu profesi dan melupakan profesi lainnya. Jika lapangan kerja ingin meningkat dan juga iklim wirausaha di Indonesia bisa terus tumbuh, tentu pemerintah juga melakukan perlindungan yang sama kepada kelompok usahawan sebagaimana mereka melindungi buruh, sebab antara buruh dan pengusaha adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah perusahaan.
Setelah menjawab dua pertanyaan, pemateri mendapat satu pertanyaan lagi terkait dengan nilai upah buruh di Indonesia yang terendah di Asia. Jika upah buruh di negara kita paling rendah, bukankah lebih manusiawi jika kita mengadakan perbaikan upah selama setahun?
Nanang menjawab bahwa, tolak ukur mereka dalam melihat upah buruh di Indonesia dengan buruh di Asia atau tempat lainnya, jelas keliru besar. Nanang mengatakan, tolak ukur upah seorang buruh tidak dilihat dari nilai upah di negara lain, tetapi dari produktivitasnya.
Jika suatu perusahaan memiliki produktivitas yang luar biasa, maka sudah sangat layak jika para buruh dibayar dengan upah yang tinggi. Namun sebaliknya, jika nilai produktivitas itu merosot, maka upah pun bisa kecil. Hal inilah yang dilupakan oleh para pendukung kenaikan upah buruh.
Memang tak salah jika buruh berusaha untuk menggapai kesejahteraan melalui upah yang layak. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika pemerintah menetapkan nilai upah minimum tanpa melihat kesanggupan para pengusaha yang memberi gaji.
Jika hal ini diabaikan, maka jargon pemerintah untuk membuka 3 juta lapangan pekerjaan akan sia-sia saja. Sebab, siapa pengusaha yang ingin membuka perusahaan dengan upah buruh yang tinggi namun produktivitas yang dihasilkan tidak sebanding.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com