Cerita Forum Kebebasan Webinar: Apakah RUU Cipta Kerja Penting Bagi Kita?

552

Belakangan ini, ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk diperhatikan bagi setiap pembuat kebijakan di suatu negara. Apabila sebuah negara memiliki sistem ketenagakerjaan yang baik, maka hal tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi, memastikan stabilitas sosial, dan meningkatkan kesejahteraan.

Salah satu hal penting terkait ketenagakerjaan adalah memastikan adanya lapangan kerja yang cukup bagi tenaga kerja di suatu negara, termasuk di Indonesia. Tanpa adanya lapangan kerja yang cukup, maka pengangguran akan semakin melambung, yang tentunya akan meningkatkan kemiskinan dan menurunkan daya beli masyarakat, karena semakin banyak orang yang tidak memiliki penghasilan.

Di Indonesia akhir-akhir ini, salah satu upaya untuk memperbaiki ketenagakerjaan di Indonesia adalah melalui Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Melalui RUU Cipta Kerja, diharapkan investasi dapat semakin meningkat, izin pendirian usaha dapat dipermudah, dan daya saing Indonesia akan semakin meningkat.

Namun, Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan di Indonesia. Tidak sedikit pihak-pihak yang beranggapan bahwa RUU tersebut hanya akan menguntungkan investor dan merugikan para pekerja, serta tidak berpihak pada pelaku UMKM.

Di sisi lain, RUU sapu jagat ini memang bermasalah dalam proses pembahasannya sejak awal. Apalagi dengan beragam pasal yang dianggap berpotensi melanggar penegakan hukum dan HAM, serta mengancam kelestarian lingkungan. Hal ini pulalah yamg membuat RUU ini kontroversial dan alot dalam pembahasannya, terutama di tengah masa pandemi ini. Lantas, apakah anggapan tersebut merupakan sesuatu yang tepat?

Untuk membahas hal tersebut, Suara Kebebasan mengadakan diskusi Webinar Forum Kebebasan yang mengangkat tema “Pro-Kontra Omnibus Law: Apakah RUU Cipta Kerja Sesuatu yang Penting?” Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, pendiri dan direktur eksekutif Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS), Nanang Sunandar, dan peneliti bidang ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Rifki Fadilah.

Rifki Fadilah yang menjadi pemateri pertama menjelaskan tentang situasi makro industri manufaktur. Pada tahun 2017, 2018 hingga 2019 kemarin, industri manufaktur mengalami trend penurunan, ditambah lagi dengan pandemi COVID-19 ini, perkembangan industri manufaktur semakin menurun seiring dengan menurunnya perekonomian nasional.

Tren penurunan investasi dan juga perkembangan pada industri manufaktur disebabkan karena adanya birokrasi dan prosedur yang rumit yang justru menghambat pertumbuhan keran investasi di Indonesia. Rifki kemudian membawakan data dari Global Competitiveness Report (GCR) tahun 2019. Mencatat bahwa daya saing Indonesia turun peringkat dari 49 menjadi urutan ke peringkat 50. Sedangkan waktu memulai bisnis ada di peringkat ke 103, sedangkan biaya untuk memulai usaha ada di peringkat ke-67.

Peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia menempati urutan ke-73 dari 190 negara. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu saja karena para investor yang punya komitmen menanam modal jangka panjang terganjal banyak hambatan dari regulasi perizinan yang tumpang tindih, rumit dan lama. Selain itu, pasar tenaga kerja yang dipersepsikan para investor tidak fleksibel dan banyak tuntutan pekerja yang dirasa memberatkan para investor.

Rifki menjelaskan bahwa ada 5 indikator yang perlu diperbaiki, yaitu seperti urusan memulai usaha (starting a business), berdagang lintas batas (trading across borders), berurusan dengan ijin konstruksi (dealing with construction permits), menegakkan kontrak (enforcing contracts), serta membayar pajak (paying taxes).

Untuk sektor manufaktur, dealing with construction permits atau berurusan dengan izin konstruksi skornya adalah 66,8, dilihat dari 0 –100. Khusus pembangunan usaha di Jakarta, jumlah prosedur yang harus dilalui oleh investor atau pebisnis sangat rumit dan itu melalui banyak prosedur. Sedangkan, untuk memproses izin konstruksi di Indonesia saja rentang waktunya cukup panjang, yaitu 191 hari.

Disinilah menurut Rifki pentingnya Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja, di mana dengan adanya Omnibus Law ini, maka dapat mengurangi transaction costs atau biaya transaksi melalui efisiensi regulasi, dengan menghapus beberapa pasal dan UU yang dinilai menghambat investasi. Omnibus Law juga dapat meminimalisir terjadinya praktik institutional corruption di sektor manufaktur, karena berkurangnya transaction costs pada perizinan usaha dan investasi.

Setelah Rifki Fadilah menjelaskan materinya, kemudian Nanang Sunandar sebagai narasumber kedua memberikan materinya. Beliau membenarkan uraian Rifki yang dirasa menguatkan pentingnya RUU Cipta Kerja ini disahkan, di mana populasi angkatan kerja terus tumbuh tapi tidak diimbangi dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan, tentu saja ini akan membawa masalah bagi kita semua.

RUU Cipta Kerja sangat penting dan lebih penting lagi ketika Indonesia ditimpa krisis seperti sekarang ini. RUU ini ketika mencuat di masyarakat memang melahirkan perdebatan dan pro-kontra, terlebih lagi dari kalangan buruh atau pekerja yang merasa bahwa RUU ini akan membahayakan kelompok mereka. Namun, pro dan kontra menurut Nanang memang lumrah dan wajar, itu juga bermanfaat untuk membenahi RUU (yang tentu saja banyak kekurangan) sebelum disahkan.

Krisis ekonomi yang saat ini melanda Indonesia telah membuat jutaan pekerja di PHK dan juga ratusan lapangan pekerjaan tutup. Tentu hal ini juga membuat RUU Cipta Kerja sangat penting (bahkan di masa normal sekalipun). Pemateri menguatkan argumennya dengan mengatakan, kalau tanpa pandemi saja ekonomi Indonesia cenderung stagnan, tentu saja dengan adanya pandemi (bisa saja) Indonesia akan jatuh ke negara miskin.

Lembaga Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) sendiri telah melakukan survei bahwa, mahasiswa Indonesia berpandangan 76% ekonomi dilihat buruk; termasuk persepsi tentang ekonomi keluarga 48%. Dalam hal ketersediaan lapangan kerja, mahasiswa yang beranggapan sangat sulit mendapatkan pekerjaan ada 53%. Survei ini dilakukan secara online selama 5 hingga 6 hari. Dari 742 formulir, ada 325 data yang masuk dan divalidasi dari kalangan mahasiswa aktif. Dalam hal RUU Cipta Kerja, kalangan. Mahasiswa dan angkatan kerja baru kebanyakan mendukung diresmikannya RUU ini.

Selain itu, RUU Cipta Kerja sangat mendukung bagi kebebasan ekonomi dan demokrasi ekonomi yang selama ini terhambat oleh berbagai regulasi. Walaupun RUU ini tidak sempurna karena lemahnya perlindungan hak kepemilikan akibat lemahnya rezim hak kepemilikan, termasuk Pasal 33 di mana negara berhak mengambil properti individu dengan alasan demi kepentingan orang banyak. Ini kelemahan RUU Cipta Kerja karena tidak dalam konteks negara yang liberal.

Pemateri selanjutnya, Saidiman Ahmad, menjelaskan bahwa munculnya RUU Cipta Kerja adalah realisasi keinginan Presiden Joko Widodo untuk Indonesia tahun 2045, Saidiman optimis Indonesia akan menjadi negara maju. Namun, melihat realita bahwa kondisi perekonomian Indonesia hanya mencapai 5% dalam lima tahun terakhir dan juga jumlah pengangguran yang mencapai 7 juta orang, merupakan masalah yang mengganjal dari mimpi presiden tersebut.

Tentu saja RUU Cipta Kerja ini semakin perlu dan penting. Survei 24-26 Juni 2020 SMRC, 70% responden memiliki persepsi keadaan ekonomi rumah tangga buruk, 75% responded berpresepsi pendapatan menurun, dan berpresepsi 84% persepsi keadaan ekonomi nasional buruk. Jika tidak ada perubahan, maka mimpi untuk Indonesia maju akan lenyap dan kita tak akan mampu lepas dari jebakan negara pendapatan menengah.

Menurut Saidiman, kita perlu melakukan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan ekonomi termasuk kemudahan berusaha. Di Asia Tenggara pun, kita berada di ranking keenam. Di masa pandemi ini, negara terpaksa harus membantu masyarakat lewat bantuan sosial. Tentu saja, pemberian bantuan sosial takkan menolong dan membuat negara menjadi maju.

Sebab, negara tidak punya sumber daya untuk terus menerus memberi bantuan sosial jangka panjang. Belum lagi, sumber dana dan masalah data sangat amburadul. Ini kemudian menimbulkan konflik di masyarakat. Menurut Saidiman, tidak ada negara yang maju dengan memberi bantuan rakyat. Di masa pandemi ini, rakyat sendirilah yang harus berinisiatif untuk bangkit dari keterpurukan.

Disini, publik perlu diberi kebebasan ekonomi. Karena itulah, RUU Cipta Kerja menjadi penting. RUU Cipta Kerja yang mempermudah iklim usaha akan meningkatkan jumlah UMKM dan juga UMKM (sebagai tulang punggung ekonomi negara) akan mendapat jaminan kemudahan izin usaha dan perlindungan hukum dari para pemeras.

Setelah pemateri memaparkan presentasinya, maka dibukalah sesi tanya jawab. Salah satu peserta bertanya, mengenai kebebasan berekonomi, bagaimana jika rakyatnya (seperti di Vietnam) ingin kebebasannya dikurangi oleh negara, demi kontrol ekonomi, seperti di China dan Singapura?

Pemateri menjawab bahwa, kebebasan dapat memberi semangat dan inovasi untuk bangkit karena masyarakat tahu kebutuhan dan sumber dayanya. Mengenai RUU Cipta Kerja ini, tidak benar seluruhnya menolak. Menurut survei SMRC, baru 20% responden tahu RUU Cipta Kerja. Kalangan urban DKI dan sekitarnya khususnya kalangan yang berpendidikan dan penghasilan tinggi, sedangkan masyarakat tidak mengetahui keberadaan RUU ini. Sekiranya, mereka mengetahui dengan jelas bahwa RUU ini bukan untuk memberangus hak buruh, malah sebaliknya membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, tentu takkan ada masalah.

Pertanyaan selanjutnya adalah, merespons RUU Cipta Kerja yang mencabut cuti haid dan bersalin, yang berarti RUU ini juga berpotensi untuk merugikan perempuan dan juga sangat bias gender. Terkait hal tersebut, RUU Cipta Kerja bukan menghapus cuti haid dan juga melahirkan. Namun, RUU Cipta Kerja ini tidak membahas secara spesifik mengenai cuti hamil dan lain sebagainya, karena fokusnya adalah kemudahan regulasi untuk usaha dan juga investasi. Ini juga jadi salah satu konsern dan kritik terhadap RUU ini karena tidak  mencantumkan masalah ini sehingga dikuatirkan akan menghapus hak pekerja perempuan.

Kemudian, salah seorang peserta menanggapi, bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja ini menjadi sulit untuk diproses karena banyaknya jumlah halaman (1000 lebih) dan juga banyak pasal-pasal yang akan sangat lama dan rumit untuk dibahas, sehingga pasti akan rumit dan panjang pengesahaannya. Selain itu, kalangan libertarian dinilai kurang militan karena tidak mempromosikan dan mengkampanyekan isu ini secara masif, sedangkan yang dibutuhkan saat ini adalah kampanye yang masif agar masyarakat tahu betapa pentingnya RUU ini untuk memajukan ekonomi, menguntungkan kaum pengusaha dan juga para pekerja.