Sejarah panjang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia dihadapkan pada kondisi di mana adanya catatan masa lalu yang kelam, yaitu adanya kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Hal ini tentu memerlukan upaya yang strategis agar penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dapat diselesaikan.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengaku menyesalkan terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu seiring dengan diterimanya laporan yang berisi dari rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat Masa Lalu melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022. Selain memastikan hak korban dipulihkan, ia juga berjanji agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi, termasuk akan mengeluarkan instruksi presiden untuk mendukung hal tersebut.
Lantas, sudah tepatkah kebijakan negara dalam hal ini? Bagimana proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia? Bagaiman tantangan untuk dapat mewujudkan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia?
Untuk membahas mengenai hal tersebut, Suara Kebebasan telah menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan pada hari Jumat, 27 Januari 2023 yang mengangkat topik “Meneropong Arah Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia”. Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Pendiri Lokataru sekaligus pegiat Kontras, Haris Azhar.
***
Dalam membuka diskusi, Haris Azhar menerangkan bahwa sebagai suatu bangsa, sebenarnya kita semua sudah tahu bahwa pelanggaran HAM berat adalah sebuah masalah besar bagi bangsa ini. Bahkan, upaya untuk menyelesaikan kasus kejahatan HAM juga sudah tercantum dalam undang-undang dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah.
Karena banyaknya aturan-aturan mengenai HAM yang keluar pada masa Reformasi dan lahirnya era demokrasi, akhirnya memberikan kepercayaan diri buat para korban untuk meminta keadilan. Akan tetapi, meskipun reformasi sudah bergulir dan para korban sudah angkat bicara, tapi bukan berarti penyelesaian HAM bisa terjadi dengan mudah.
Belakangan justru para pelaku HAM (yang diantaranya adalah pejabat dan yang punya kuasa di Indonesia) justru mereka berusaha sekuat mungkin agar kasus pelanggaran HAM yang menimpa mereka tidak diusut. Menurut Haris, mungkin pejabat atau pebisnis itu pro terhadap penegakan HAM dan lahirnya regulasi soal penegakan HAM, tetapi mereka juga berusaha berkelit bahkan meminta perlindungan agar tak diusut di pengadilan.
Harus mengatakan bahwa banyak kasus HAM yang dilaporkan ke Komnas HAM, namun hanya tergeletak saja di meja. Ini disebabkan karena lambatnya pengadilan mengusut oknum tersebut. Banyak pelanggaran HAM terjadi seperti di era Orde Baru. Pelanggaran itu dilakukan dengan tujuan yang beraneka ragam.
Ada yang karena ingin mengamankan kekuasaan politik, ada yang untuk mengamankan bisnis, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, hal ini harus diusut secara tuntas. Tapi sayangnya, belum ada kasus HAM di masa lalu yang secara fundamental diselesaikan.
Kemarin, Presiden kita, Joko Widodo (Jokowi) dalam konferensi persnya mengakui dan menyayangkan tindakan HAM di masa lalu. Hal ini memang harus diapresiasi, namun bagi Haris Azhar yang terpenting adalah penegakan lewat hukum. Mereka yang melanggar harus dihukum sesuai komitmen yang tertera dalam undang-undang kita.
Jika pemerintah ingin mengadakan rekonsiliasi antar anak bangsa, yang terpenting bukan sekedar mendatangi para korban dan membantunya (ini memang penting). Tapi pengusutan tuntas harus dilakukan demi kepentingan hukum.
Suatu bangsa yang besar akan dipandang terhormat oleh bangsa lain jika penegakan hukum di negara itu berkembang mantap. Haris juga mengatakan, percuma jika pemerintah menarik investor luar tapi penegakan hukum payah. Sebab para investor juga membutuhkan dan menginginkan kepastian hukum.
Meski saat ini perjuangan untuk mengadili pelanggaran HAM masih menjadi pekerjaan rumah bersama, namun Haris optimis jika generasi muda kita berminat besar pada persoalan HAM. Lebih jauh, Haris menekankan bahwa masalah pemerintah dalam menegakkan hukum terkait HAM maupun penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM ada pada ketidakmauan dan bukan ketidakmampuan, mengingat sudah ada banyaknya peraturan perundang-undangan terkait yang mendasarinya.
Lebih jauh, Haris menambahkan bahwa momentum Reformasi di Indonesia juga bisa menjadi titik mula untuk penegakan HAM. Momen itu harus dijadikan kesempatan bagi korban untuk mengklaim kembali hak-haknya.
***
Setelah Haris Azhar menyampaikan materinya, beberapa peserta menyampaikan pertanyaan sekitar tema penegakan HAM ini. Salah satu peserta bertanya, bagaimana tanggapan Haris Azhar mengenai sikap politik Jokowi yang mengakui pelanggaran HAM di masa lalu?
Haris menyatakan bahwa ia tidak mengomentari secara personal mengenai Jokowi, tapi lebih terfokus pada penegakan HAM yang sudah dicapai. HAM dan penegakan hukumnya sebenarnya sudah mempunyai payung hukumnya tersendiri. Mekanismenya juga sudah jelas, namun yang menjadi masalah adalah pengawalan mekanisme yang tidak berjalan dengan semestinya.
Haris berharap pemerintah ke depan bisa memiliki komitmen yang kuat untuk menuntaskan masalah ini. Sebab untuk menyembuhkan luka masa lalu, mau tak mau kasus kejahatan HAM ini harus diselesaikan.
Pertanyaan lainnya, apakah pemenuhan hak korban ini juga sudah dijalani 100% dengan baik di Indonesia? Dan, bagaimana pemenuhan hak-hak korban lokal oleh pemerintah daerah? Ada beberapa hak korban yang perlu diperhatikan menurut Haris, yaitu hak akan fakta, hak ganti rugi, hak reparasi, dan hak keadilan dalam melihat proses resmi penghukuman pada pelaku juga pernyataan yang harus dilakukan oleh para korban (mekanisme resmi).
Namun saat ini, konstruksi penyelesaian HAM selama ini hanya fokus pada pemulihan korban saja, sedangkan penemuan pelaku tidak begitu ditonjolkan. Padahal, secara konseptual, HAM secara universal juga berarti bagaimana mengadili pelakunya.
Pertanyaan terakhir adalah, apakah isu penegakan HAM masih menjadi isu yang relevan untuk tahun politik 2024 nanti? Haris Azhar menjawab, isu tersebut bukan hanya relevan, tetapi wajib dan harus menjadi relevan demi perbaikan penegakan HAM di Indonesia. Pada masa Pilpres dan Pilkada nanti, setiap calon harus ditanya sejauh mana komitmen mereka dalam penegakan HAM.
Haris percaya bahwa partisipasi publik di tengah stagnansi penyelesaian pelanggaran HAM berat sudah seharusnya terus diupayakan secara mandiri dan melalui inisiatif baik lewat upaya hukum, administratif, maupun kolektif dengan elemen masyarakat sipil lainnya.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com