Cerita Forum Kebebasan Tentang Fenomena Pinjol dan Anak Muda

78

Anak muda sering mencari pinjaman online (pinjol) untuk berbagai keperluan, seperti pendidikan, membeli barang elektronik, membayar tagihan, atau memenuhi kebutuhan mendesak lainnya. Pinjol dapat memberikan akses dana yang cepat dan mudah, tanpa persyaratan yang terlalu rumit atau waktu yang lama untuk menyelesaikan prosesnya.

Namun, kasus-kasus pinjol ‘bodong’ yang menjerat anak muda juga menjadi sorotan baru-baru ini. Banyak dari mereka yang terkena tipu daya permainan pinjol sehingga terlilit hutang puluhan juta rupiah. Belum lagi masalah terkait kesetaraan hak dan kewajiban dalam kesepakatan yang sering kali terdapat celah untuk pemaksaan kehendak sepihak. Hal ini juga menyangkut penyalahgunaan data pribadi yang turut melanggar privasi seseorang.

Lantas, mengapa fenomena pinjol dan anak muda menjadi isu yang perlu diperhatikan? Mengapa fenomena penipuan pinjol merusak ekosistem digitalisasi keuangan? Dan, bagaimana risiko pinjol perlu diantisipasi dan dicegah lewat literasi keuangan, literasi digital, serta penegakan hukum yang efektif, relevan, dan berdampak, serta menjamin kebebasan ekonomi, pilihan bebas konsumen, dan kepastian hukum?

Untuk membahas mengenai hal tersebut, Suara Kebebasan telah menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan pada Jumat, (16/6/2023), yang mengangkat topik  “Fenomena Pinjol dan Anak Muda”. Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Siska Trisia, Researcher Hukumonline News dan dipandu oleh Adinda Tenriangke Muchtar, Chief Editor Suara Kebebasan.

*****

Pada awalnya, Siska memaparkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait dominasi peminjam pinjol yang diisi oleh generasi milenial sebanyak 70,07 persen. Adapun, alasan masyarakat terjerat pinjol ini juga beragam, seperti membayar utang, latar belakang finansial menengah ke bawah, dana cair lebih cepat, memenuhi kebutuhan gaya hidup, kebutuhan mendesak, dan lain sebagainya.

Perkara pinjol juga masih menjadi salah satu pemberitaan yang hangat hingga saat ini, mulai dari kondisi keuangan anak muda, isu perempuan di dalamnya, dan lain-lain. Maka dari itu, yang memprihatinkan sebenarnya adalah pengaduan konsumen soal pinjol dengan korban mayoritas masyarakat kecil atau miskin. Dampak dari jeratan pinjol pun juga tidak main-main, mulai dari bunuh diri, perceraian, hingga ada yang sampai kehilangan mata pencahariannya.

Kemudian, Siska pun menjelaskan bagaimana langkah preventif yang perlu diketahui untuk melawan dan mempertahankan hak kita sebagai konsumen saat memakai jasa pinjol ini. Pertama, jika KTP digunakan orang untuk mengajukan pinjol. Ada Pasal 20 dan 65 ayat (1) dan (3) dari Undang-Undang (UU) tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Perlindungan hukum jika kasusnya adalah nomor telepon yang digunakan untuk kontak darurat pinjol juga diatur dalam pasal-pasal di UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 20 Tahun 2016.

Pada dasarnya, pinjol adalah hal inovatif yang baik untuk memberikan pendanaan kepada masyarakat yang tidak bisa dilayani oleh sektor keuangan formal, tapi pinjol juga dapat menyengsarakan bila masyarakat (terutama anak muda) tidak bijak dalam menggunakannya. Adinda, selaku moderator pada diskusi ini, juga menyinggung soal bagaimana prinsip self-control untuk pertanggungjawaban diri sendiri mengenai pilihan-pilihan hidup keseharian.

Pertanyaannya adalah bagaimana peran debt collector secara legal di Indonesia? Debt collector sudah seharusnya independen dari lembaga pinjolnya. Mereka menjadi orang yang ditarik langsung secara profesional dan harus bersifat netral, bukan suruhan dari si pemberi pinjaman. Cara penagihannya juga menjadi penting, yakni melalui langkah-langkah yang “baik” dan sopan. Namun, kenyataannya adalah cara penagihan si debt collector yang melenceng, seperti lewat pelecehan, meneror dengan makian atau kekerasan, dan lain sebagainya.

Adinda juga kemudian menyorot bagaimana literasi keuangan sejak dini sudah seharusnya dibiasakan kepada anak-anak. Karena “mau tidak mau”, kecanggihan gawai saat ini juga memicu potensi tantangan yang beragam. Kasus kebocoran data-data yang dimiliki negara saja pernah ‘dijebol’ oleh hackers, apalagi data pribadi masyarakat yang keamanannya lebih rentan. Tantangan-tantangan inilah yang membutuhkan kebajikan serta daya kritis dari masyarakat. Melalui literasi digital ini, diharapkan  masyarakat dapat mawas diri dan memiliki kewaspadaan terhadap data pribadi sendiri.

Akhir kata, kewaspadaan terhadap data pribadi menjadi kontribusi yang wajib diperhatikan oleh setiap konsumen. Jangan sampai hal ini menjadi boomerang yang menambah beban bagi konsumen. Selain itu, prinsip bijak dalam bertransaksi dan self-control juga perlu untuk selalu diingat dan diterapkan untuk mengantisipasi dampak-dampak yang tidak diinginkan. Maka dari itu, literasi mengenai keuangan dan literasi digital pun menjadi penting untuk diterapkan.

*****