Cerita Forum Kebebasan Tentang Masa Depan Kebebasan di Indonesia Jelang Tahun Politik 2024

134

Pasca tergulingnya rezim Orde Baru dari kancah perpolitikan dan sosial di Indonesia, demokrasi dan kebebasan yang selama 30 tahun terkekang bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Di awal milenium 2000, rakyat menikmati secara lebih luas, baik kebebasan berpolitik, berbicara dan kebebasan untuk mengutarakan pandangannya dalam berbagai bentuk ekspresi, serta kebebasan lainnya.

Namun, proses demokratisasi dan kebebasan di Indonesia berjalan bukan tanpa hambatan. Hal ini terlihat dari praktiknya, bahwa masih banyak sekali fenomena dalam berbagai sektor yang terkesan masih menggambarkan anti demokrasi. Tantangan demokrasi dan kebebasan juga terlihat dari lahir dalam kondisi politik, sosial, dan hukum yang masih menunjukkan degradasi dan cenderung mengebiri kebebasan dalam berbagai aspek.

Apalagi, jika berbicara tahun Politik 2024, seharusnya menjadi momentum untuk terus membangun kesadaran dan evaluasi bersama untuk bagaimana seharusnya membangun politik kebebasan dalam kontestasi demokrasi yang ada. Lantas, bagaimana melihat persoalan kemunduran kebebasan yang ada? Bagaimana strategi untuk melawan fenomena anti kebebasan?

Untuk membahas mengenai hal tersebut, Suara Kebebasan telah menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan yang mengangkat topik “Masa Depan Kebebasan di Indonesia Jelang Tahun Politik 2024”. Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Andy Budiman (Wakil Ketua Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia).

***

Dalam membuka diskusinya, Andy membawa survei adanya erosi demokrasi baru-baru ini di beberapa negara yang menganut demokrasi. Dalam artian, banyak pihak yang menggunakan demokrasi sebagai topeng di balik narasi populisme. Banyak orang melihat diktator ala China, Korea Utara dan Rusia sebagai model yang baik dalam menciptakan stabilitas negara.

Dalam konteks global, terkait protokol kesehatan Covid-19, banyak anak muda di Prancis dan Belanda melakukan aksi protes yang berujung pada kerusuhan. Ini seolah menggambarkan negara demokratis mempunyai kesulitan dalam melayani rakyatnya dan menjalankan fungsinya. Dan, yang menjadi masalah adalah bagaimana sistem demokrasi berujung pada kejenuhan.

Dalam buku yang dikutip Andy, hal ini juga didukung dengan tren kebanyakan anak muda mendukung negara otoriter ketimbang negara demokrasi. Hal ini terjadi semenjak penanganan pandemi di dua negara yang menghasilkan output berbeda antara negara yang demokratis dan negara yang otoriter.

Berangkat dari fenomena tersebut, fenomena global terkait tantangan kebebasan dan demokrasi juga menjadi tantangan tersendiri bagi anak muda di Indonesia yang terekspos dengan beragam informasi akibat perkembangan tekonologi yang ada. Posisi anak muda di Indonesia juga makin krusial, mengingat mayoritas pemilih di tahun 2024 adalah anak muda, yang juga akan menentukan masa depan demokrasi dan kebebasan di Indonesia.

Di konteks domestik, pandangan anak muda juga dipengaruhi adanya polarisasi dalam masyarakat. Salah satunya adalah antara kelompok Islam nasionalis dan Islam moderat mengenai pandangan bahwa agama harus beriringan dengan kehidupan negara.Mungkin, selama ini sebenarnya pemikiran generasi dulu dan kini masih sama, perbedaan utamanya adalah kemahiran anak muda generasi kini dalam berartikulasi di media sosial.

***

Dalam sesi tanya jawab, Galang Taufani, Managing Editor Suara Kebebasan dan pemandu diskusi webinar ini, menanyakan tentang kaitan antara maraknya fenomena pelarangan pembukaan rumah ibadah dan hubungannya dengan erosi demokrasi.

Andy menjelaskan bahwa fenomena terkait larangan rumah ibadah juga erat dengan gerakan konservatif. Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana ekspresi bernada konservatif tersebut kerap diwarnai dengan intoleransi.

Andy juga menyoroti bagaimana pemberitaan negatif dan iklim media sosial yang mendukung naiknya informasi negatif juga menjadi salah satu faktor persoalan kemarahan anak muda. Berita negatif tersebutlah yangmembuat anak muda memikirkan banyaknya keburukan di negara demokrasi dibandingkan melihat dan mengapresiasi berita atau informasi baik lain yang ada di Indonesia.

Pertanyaan lain muncul dari peserta tentang adalah sistem “one-man one-vote” yang mungkin membuat partisipasi langsung pemuda masih minim, sehingga bagaimana sistem yang dapat diterapkan untuk mengatasi hal tersebut?

Hal tersebut diakui oleh pembicara yang mengatakan bahwa faktor seperti biaya politik yang sangat mahal, ambang batas untuk kandidita politik, adalah beberapa faktor yang membuat biaya politik dan partisipasi dalam kompetisi politik masih eksklusif dan tidak murah. Hal ini pula yang salah satunya mendorong transaksi di balik layar yang menjadikan anak muda yang berkualitas (namun kurang dari segi finansial) terhambat untuk ikut berpartisipasi dalam kompetisi politik tersebut.

Maka dari itu, menyederhanakan ambang batas dapat menjadi peluang terbuka untuk memberikan kesempatan bagi anak muda berkualitas untuk berpartisipasi dalam kompetisi politik, meskipun mereka memiliki keterbatasan finansial dan koneksi.

Lebih jauh, Andy juga beranggapan bahwa debat partai politik juga penting diperhatikan, di mana masyarakat bisa menilai visi dan misi dari parpol yang akan dipilih begitu pula kandidat yang ditawarkan kepada publik, serta apa yang mereka kerjakan.

Isu politik identitas dan sektarian yang kuat menjadi hal krusial lainnya yang diangkat pembicara. Andy Budiman mengatakan bahwa pada akhirnya, ruang demokrasi yg sehat, toleran, bising, bagi anak muda pun terus digiatkan oleh PSI. Bagaimanapun, partai politik sudah seharusnya menjadi wadah strategis penyaluran aspirasi masyarakat.