Perempuan sering dianggap masih berjarak dari politik. Sebaliknya, laki-laki dalam berpolitik, berada jauh di depan dibanding perempuan. Budaya ketidakadilan dan ketidaksetaraan tersebut secara sistematis hadir dalam jangka waktu lama, dan seringkali menempatkan posisi perempuan menjadi tertinggal di belakang laki-laki untuk berkontestasi, serta berperan untuk menghadirkan diskursus, termasuk di Indonsia. Padahal, faktanya perempuan memiliki kemampuan yang tidak kalah mumpuni dari laki-laki.
Banyak negara mengkonsolidasikan dan mentransformasikan politik dan dalam penyelenggaraan bernegara dengan membuka kesempatan seluasnya bagi partisipasi perempuan dalam politik dan mempunyai pemimpin perempuan. Selandia Baru dengan Perdana Menteri Jacinda Ardern, Taiwan dengan Presiden Tsai Ing-wen, dan Jerman dengan Kanselir Angela Merkel, dan beberapa negara lainnya yang progresif dalam menghadapi pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu menunjukkan fakta keberhasilan transformasi politik. Indonesia sendiri juga mendorong partisipasi perempuan dalam politik lewat kebijakan afirmasi dan pengarusutamaan gender.
Lantas, bagaimanakah memahami urgensi dan pentingnya representasi perempuan dalam politik? Bagaimana tantangan perwujudan representasi politik perempuan di Indonesia? Bagaimana strategi mewujudkan hal tersebut?
Untuk membahas mengenai hal tersebut, Suara Kebebasan telah menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan yang mengangkat topik “Menilik Representasi Politik Perempuan di Indonesia” pada hari Jumat, (10/3). Pembicara dalam diskusi ini adalah Ella Syafputri Prihatini (Visiting Researcher di Pusat Riset Politik BRIN) dan Ira Sobeukum (Anggota DPRD Kabupaten Kupang, NTT dari Fraksi PKB dan Presidium Nasional FPMI).
***
Perempuan dan politik menjadi tema menarik dalam kancah demokrasi kita saat ini. Nampaknya, sudah bukan hal aneh jika banyak perempuan yang bersekolah di jurusan politik, bahkan terjun langsung ke dunia politik. Sudah jamak juga kita melihat perempuan di berbagai daerah atau negara menjadi pemimpin dan tokoh penting dalam menentukan kebijakan-kebijakan penting untuk kemaslahatan rakyat.
Namun, tidak sedikit orang berpikiran sempit menolak partisipasi perempuan dalam ranah politik. Ella Syafputri Prihatini selaku Visiting Researcher di Pusat Riset Politik BRIN, mengatakan bahwa pandangan seperti ini tampaknya bukan arus utama. Hal ini terlihat dari partisipasi perempuan yang cukup aktif di beberapa jabatan politik negeri kita.
Ella juga menyodorkan sebuah fakta di lapangan bahwa dalam dua dekade terakhir, representasi perempuan di parlemen khususnya DPR dan DPD memang telah meningkat.
Hampir di seluruh partai bahkan di partai Islam sekali pun, terdapat anggota perempuan yang memiliki peran aktif.
Namun, Ella menyoroti bagaimana perwakilan perempuan di DPR hanya ditempatkan di komisi-komisi yang khusus menangani kepentingan perempuan. Sebaliknya, di komisi-komisi dengan urusan di luar kepentingan perempuan itu sangat jarang. Contohnya, Komisi III yang membidangi masalah hukum, di sana agak kurang adanya partisipasi perempuan.
Yang disayangkan dari riset mengenai keterlibatan perempuan dalam pembuatan undang-undang, baik mikro maupun makro, adalah tidak adanya peran yang kuat dari pihak perempuan untuk mengajukan sebuah RUU. Sebab, dalam membuat RUU, pihak perempuan harus menggalang suara dari berbagai pihak, khususnya dari laki-laki yang duduk di kursi parlemen. Banyak RUU yang terkait perempuan tidak lolos karena tidak adanya dukungan yang cukup kuat dari berbagai pihak, termasuk laki-laki, seperti RUU Ketahanan Keluarga yang akhirnya gagal dirancang.
Di sini belum ada kejelasan aturan bagaimana sebuah RUU dirancang, didukung hingga disahkan. Rute pembuatan RUU itu sendiri diakui Ella masih belum jelas. Ella mengatakan bahwa untuk mewujudkan sebuah undang-undang yang progresif dan melindungi perempuan, dibutuhkan anggota parlemen dari kalangan laki-laki yang pro terhadap kepentingan perempuan, anak dan keluarga. Dalam risetnya, Ela juga menyarankan agar partisipasi politik perempuan dapat disosialisasikan secara menyeluruh agar pendidikan seperti ini dapat menjadi bekal perempuan di dunia politik.
***
Jika Ella dalam beberapa bagian materinya menjabarkan adanya peningkatan sisi perempuan di Indonesia yang bergelut di dunia politik, Ira menambahkan dua hal yang perlu dilihat dalam melihat perempuan di politik: pertama, angka perwakilan perempuan di bidang politik; dan, kedua kebijakan yang berpihak pada perempuan.
Pertama, Ira mengatakan bahwa wacana partisipasi perempuan sudah menggema, namun di lapangan, khususnya di beberapa daerah, partai-partai masih sulit untuk mencari calon legislatif dari kalangan perempuan. Ira mengatakan kurangnya kompetensi dan minat politik menyebabkan hal itu terjadi. Pun kalau ada, beberapa anggota parlemen tersebut tidak begitu paham problematika apa yang harus mereka hadapi.
Kedua, adalah terkait kebijakan yang berpihak pada perempuan. Ira menyayangkan bahwa beberapa anggota parlemen dari kalangan perempuan justru kurang peka terhadap isu-isu yang dihadapi saat ini. Seperti soal gender, tenaga kerja perempuan, imigran perempuan dan lain sebagainya. Ini yang membuat Ira mengkritik dan meminta agar mereka yang duduk di parlemen harus mengetahui isu terkini terkait perempuan.
Kesimpulannya, Ira menyayangkan kesiapan perempuan dalam ranah politik. Ira menyorot bagaimana caleg perempuan di daerah belum sepotensial yang lain dan kepekaan parlemen perempuan di DPR terhadap isu-isu politik juga belum memadai.
***
Dalam sesi tanya jawab. Beberapa peserta, baik perempuan atau laki-laki yang hadir di forum, mulai mengajukan pertanyaan dan pandangannya masing-masing.
Pertanyaan pertama, bagaimana menggiatkan soal politik di perempuan, terutama anak muda, di tengah kebiasaan individualisme yang dinilai membuat politik seolah ketinggalan jaman? Menjawab pertanyaan ini, Ella mengatakan bahwa harus dibangkitkan kesadaran perempuan dan anak muda terkait soal-soal politik. Politik sangat penting karena ia menentukan arah kebijakan negara. Oleh karena itu, ketika perempuan berpartisipasi dalam politik, mereka harus menyadari apa masalah di lingkungannya, apa yang merugikan perempuan, apa problem nyata yang kita hadapi, sehingga permasalahan tersebut dapat menjadi bekal untuk meningkatkan partisipasi mereka di dunia politik.
Selain Ella, Ira Sobeukum juga memberi tanggapan bahwa anak muda saat ini tidak dipungkiri memandang politik dengan citra negatif. Mereka lebih asyik membahas sepak bola atau film ketika berkumpul bersama keluarga ketimbang membahas arah kebijakan negara ini. Itu dilihat Ira juga menjadi salah satu masalah.
Padahal, seluruh kebijakan dan apapun yang ada dalam kehidupan kita tak lepas dari politik. Misalnya, harga beras yang makin mahal, pupuk yang mulai langka, yang merupakan imbas dari kebijakan politik. Oleh karena itu, Ira menekankan pentingnya edukasi politik anak muda agar mereka lebih peka terhadap politik, bahkan terjun ke dunia politik.
Menanggapi hal ini salah satu peserta, Nur Iman Subono, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, menanggapi bahwa realitas kita yang masih sering menyudutkan perempuan menjadi rintangan bagi perundang-undangan yang pro terhadap gender. Permasalahannya adalah batasan (barrier) yang tinggi bagi perempuan dan dukungan politik terhadap perempuan yang masih minim. Belum lagi, politik yang dianggap jauh dari keseharian kita juga menjadi faktor lain yang menyebabkan anak muda abai terhadap hal ini.
Selain Nur Iman Subono, Farco Siswiyanto Raharjo, Dosen FISIP Universitas Slamet Riadi, juga beranggapan bahwa kuota perwakilan perempuan tidak hanya menjadi pajangan yang hanya untuk memenuhi kuota saja, tetapi benar-benar dioptimalkan sebagai ruang untuk perempuan berkembang di bidang politik. Pada akhirnya, keterwakilan perempuan dan anak muda menjadi dua hal penting yang perlu digiatkan terus, terutama di musim politik, mengingat kedua kelompok tersebut kerap menjadi objektifikasi isu.
******

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com