Cerita Diskusi Webinar Forum Suara Kebebasan: Membaca Arah RUU Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua  

214

Topik mengenai wacana pemekaran Papua Kembali menghangat. Hal ini muncul setelah Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua, yang akan dimulai pasca Presiden Joko Widodo mengirim surat persetujuan (Surpres) kepada DPR.

Namun, suara penolakan pemekaran wilayah Papua bergulir merespon hal itu. Seperti diketahui, gelombang demo penolakan terjadi di mana-mana, tidak hanya di Papua. Melainkan juga digelar di beberapa kota di Jawa, Bali, dan Sulawesi.

Munculnya demo besar-besaran di berbagai daerah, dengan mengusung aspirasi penolakan terhadap wacana pemekaran Papua, membawa argumentasi tegas menyatakan bahwa upaya pemekaran wilayah Papua dilaksanakan dengan tanpa mendengarkan aspirasi dari masyarakat Papua.

Namun, dorongan untuk membaca urgensi melakukan pemekaran juga disuarakan oleh berbagai pihak. Argumentasi yang dibangun adalah terkait dengan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) atau pemekaran Papua dinilai dapat mengakselerasi pembangunan sekaligus memperluas jangkauan pelayanan birokrasi pemerintahan.

Lantas, bagaimana melihat hubungan negara dan otonomi daerah di Papua? Apakah pelaksanaan kebijakan Daerah Otonomi Baru (DOB) tepat untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan di Papua? Bagaimana akomodasi dan peran serta masyarakat dalam konteks ini? Dan, bagaimana memahami aspek hak “self-determination” dari perspektif kebebasan dalam menilik hal ini?

Membahas mengenai hal tersebut, Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan yang mengangkat topik “Membaca Arah RUU Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua” Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Fientje Yarangga (Aktivis Senior Papua) dan Muhammad Azka Fahriza (Peneliti ELSAM).

***

Perdebatan mengenai Daerah Otonomi Baru tak jauh dari kebijakan pemerintah pusat yang ingin menjadikan tanah Papua sebagai daerah dengan otonomi khusus pada tahun 1998.

Gagasan otonomi khusus yang diwacanakan pada era Habibie dan Gus Dur makin membuat rakyat Papua optimis akan masa depannya. Pemerintah pada saat itu ingin Papua menjadi sebuah daerah yang lebih mandiri dan mampu membangun sesuai dengan keinginannya sendiri bukan lagi didikte oleh pusat (Jakarta).

Fientje mengatakan bahwa kebijakan otonomi khusus itu mendatangkan tiga kelompok di tengah masyarakat Papua. Kelompok pertama menerima, kelompok kedua menolak, namun masih bisa berkompromi, kelompok ketiga mengikuti arus kedua kelompok besar tersebut.

Ketika pembahasan mengenai otonomi khusus sedang dibahas, pemerintah pusat mulai melakukan kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat Papua, yaitu memekarkan wilayah Papua.

Pada awalnya dimekarkan menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat seperti sekarang, namun pada tahun ini, pemerintah merencanakan untuk memekarkan tiga wilayah lagi menjadi Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Pegunungan Tengah.

Pengembangan tiga provinsi tersebut, menurut Fientje, tidak sesuai dengan undang-undang di mana pemerintah pusat harus berkonsultasi dan mendapat persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam segala kebijakan.

Fientje mengatakan bahwa MRP sendiri menilai bahwa kebijakan pemekaran ini terlalu bernilai politis tanpa mendengar kehendak rakyat Papua. Pemekaran daerah yang dilakukan tanpa adanya koordinasi dengan masyarakat Papua asli, membuat berbagai macam penolakan dan demonstrasi dari masyarakat Papua.

Pemateri menilai bahwa masalah ini menjadi semacam tumpukan persoalan yang juga tak diselesaikan. Selain itu, banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua yang tak kunjung selesai, membuat rakyat Papua menaruh rasa tak percaya pada pemerintah. Dan kondisi semacam ini yang membahayakan situasi jika pemerintah tidak kembali melakukan dialog dengan masyarakat Papua dan menyelesaikan segala persoalan yang ada.

Komentar serupa juga diucapkan oleh Muhammad Azka Fahriza dari ELSAM, ia mengatakan bahwa bergolaknya rakyat Papua atas kebijakan Otonomi Baru bukanlah hal yang terjadi belakangan saja, tetapi sudah sejak awal era 2000an.

Menurut Azka, pergolakan dan protes yang dilakukan oleh masyarakat Papua atas Otonomi Baru, merupakan bukti bahwa rakyat Papua tidak butuh pemekaran daerah. Dan pembentukan provinsi baru tersebut bukanlah solusi yang tepat untuk masyarakat Papua.

Masyarakat Papua membutuhkan keadilan dan juga keamanan. Kesenjangan ekonomi yang parah antara Papua dengan daerah lainnya di Indonesia, juga masalah kekerasan dan penyelewengan HAM yang tak kunjung selesai.Problematika tersebut, menurut Azka, lebih diutamakan ketimbang pemerintah memekarkan wilayah baru di Papua hanya demi kepentingan politik.

Azka menekankan ada empat poin yang menjadi masalah utama di Papua, yaitu kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang Papua asli, kasus kekerasan HAM, dan masalah status politik di wilayah tersebut.

Empat poin inilah yang menjadi permasalahan utama dari masyarakat Papua. Jika pemerintah ingin melakukan pembangunan tanpa melihat keadilan, kesempatan yang setara untuk warga Papua, maka hal tersebut akan sia-sia saja.

***

Dalam sesi tanya jawab, ada peserta yang bertanya mengenai persoalan Papua dengan Pemilu 2024. Bagaimana agar permasalahan Papua menjadi konsen pembahasan bagi pemerintah ke depan dan tidak hanya menjadi komoditas politik untuk menaikkan citra semata?

Hal ini dijawab oleh Fientje, ia mengatakan bahwa untuk pemilu ke depan, yang dibutuhkan adalah membangkitkan kesadaran politik masyarakat Papua. Ia juga berjuang agar kaum perempuan Papua menjadi kelompok masyarakat yang sadar dan berani untuk berpolitik demi kemajuan tanah airnya.

Fientje juga bercerita bahwa dirinya dan kawan-kawan tengah berusaha untuk membangun perempuan Papua yang hebat dan berani untuk maju di kursi parlemen. Upaya agar masyarakat Papua menjadi sadar politik akan membuat mereka bersuara lebih lantang untuk menuntut pembangunan dan keadilan yang nyata. Sedangkan menurut Azka, untuk persiapan tahun politik 2024, ia meminta agar pemerintah lebih mempercayai orang Papua dalam menegakkan mekanisme demokrasi di wilayahnya.

Ia berharap politik Jakarta tidak campur tangan di wilayah Papua. Azka mengatakan bahwa secara praktik orang Papua sudah dewasa dalam berdemokrasi. Namun, jika pemerintah masih mencurigai orang Papua dan menegakkan hukum militer di sana, maka hingga Pemilu 2050 pun masalah di Papua tidak akan pernah selesai.

Penanya selanjutnya bertanya mengenai tanggapan para pemateri terhadap kebijakan Daerah Otonomi Baru yang diberlakukan oleh pemerintah. Apakah ini akan mensejahterakan rakyat Papua atau seperti apa?

Fientje Yarangga mengatakan bahwa DOM atau Otsus pada awalnya bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan di Papua dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, namun hal tersebut hanya bunyi di atas kertas. Banyak anak-anak muda dan orang Papua sadar bahwa penyelesaian bukan itu. Saat ini kebebasan masih belum dirasakan oleh rakyat Papua.

Jika masyarakat Papua sedikit berteriak, maka akan dianggap sebagai anggota separatis dan akan dibungkam. Hal ini merupakan ketidakbenaran. Seharusnya pemerintah belajar dari masa lalu. Membangun Papua tidak bisa hanya dengan membangun seperti daerah lainnya. Partisipasi rakyat Papua harus benar-benar terasa agar mereka merasa memiliki negeri ini.

Fientje mengatakan pemerintah harus memberikan keadilan dan kebebasan pada rakyat Papua agar mereka merasakan identitas sebagai anak bangsa dan bisa diajak untuk membangun Papua.

Senarai dengan pandangan Fientje, Azka juga mengatakan bahwa pemerintah perlu untuk mengajak masyarakat Papua asli dalam membangun tanahnya. Ia juga mengatakan poin yang penting mengenai kebebasan berbicara di Papua. Azka tak menampik adanya rasa traumatik yang mendalam di hati masyarakat Papua akibat penindasan dan ketidakadilan di sana.

Jika pemerintah tak melihat hal ini dan menyadarinya, maka persoalan di Papua takkan pernah selesai. Yang diperlukan adalah komunikasi antara anak bangsa dan juga memberikan kesempatan bagi masyarakat Papua ruang berekspresi agar mereka dapat bertindak dan berbuat yang terbaik untuk tanah mereka sendiri.