Masalah penistaan agama belakangan ini menjadi berita yang menarik para warganet sekaligus menjadi berita yang cukup sering tampil ke muka publik. Beberapa kasus yang menghebohkan seputar kasus penistaan agama membuat publik marah, contohnya seperti Roy Suryo yang mengunggah sebuah foto patung Buddha yang diedit menjadi wajah Presiden Joko Widodo dan dianggap oleh para pendukung Joko Widodo sebagai tindakan yang melecehkan agama Buddha. Pun dengan Permadi Arya atau Ade Armando yang kerap dituduh melakukan penistaan agama hanya karena sering mengkritik tindakan umat Islam.
Polemik seputar kasus penistaan agama masih merupakan isu yang menimbulkan pro dan kontra dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi, secara historis dan hukum, sebagian masyarakat mendorong pentingnya pengaturan terkait penistaan agama agar tidak tercipta konflik horizontal, seperti keresahan dan disintegrasi. Di sisi lain, tidak sedikit juga yang mengkritik dampak negatif dari pengaturan tersebut. Bagi para penentangnya, pengaturan hukum tersebut berisi banyak pasal karet, yang melanggar kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Salah satunya adalah kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Holywings, sebuah restoran ternama di Indonesia, khususnya Jakarta yang harus berurusan dengan hukum karena menyematkan nama Muhammad dan Maria.
Lantas, bagaimana melihat kasus penistaan agama di Indonesia? Bagaimana seharusnya kita menyikapi kasus-kasus yang dianggap sebagai penistaan agama? Bagaimana juga seharusnya kita menyikapi polemik ini dikaitkan dengan kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat, terutama di tengah menguatnya politik identitas di negeri ini?
Membahas mengenai hal tersebut, Suara Kebebasan menyelenggarakan Diskusi Webinar Forum Kebebasan yang mengangkat topikl “Polemik Seputar Kasus Penistaan Agama di Indonesia,” (8/7). Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Feby Indirani, penulis fiksi “Bukan Perawan Maria” dan “Memburu Muhammad.”
***
Feby Indirani dikenal di muka publik sebagai penulis sekaligus sastrawan. Ia sendiri dipandang sebagai sastrawan yang cukup berani dalam mengekspresikan karyanya. Betapa tidak, dua buku fiksi yang ia tulis berjudul “Bukan Perawan Maria” dan “Memburu Muhammad.” Dua buku yang kita tahu memiliki judul yang cukup menantang dan membuat jantung berdegup kencang.
Terlebih ketika kondisi sosial masyarakat zaman kita ini yang sangat sensitif dengan persoalan yang menyinggung agama, tentu buku ini cukup kontroversial. Namun, Feby menulis dua karyanya sebagai simbol kebebasan berekspresi dan berpikir.
Feby mengatakan bahwa dua bukunya tersebut tidak ia tulis dari sudut pandang luar, namun ia tulis dari sudut pandangnya sebagai seorang yang beragama Islam.
Dua buku tersebut, “Memburu Muhammad” dan “Bukan Perawan Maria,” adalah refleksi Feby melihat praktik keagamaan yang kemudian dituliskannya dalam bentuk novel yang sangat kental dengan nuansa sastrawi.
Ia berkata bahwa ketika mulut dibungkam, maka disitulah sastra bermain mengambil peran. Feby mengakui bahwa respon masyarakat terhadap cerita atau fiksi lebih terbuka ketimbang artikel atau cuitan di media sosial.
Pada tahun 2016, ketika masyarakat Indonesia tengah dihantam oleh gejolak politik identitas yang menyeret Ahok sebagai tersangka penistaan agama, Feby menuangkan gagasannya dalam bentuk cerita fiksi berjudul “Babi Ingin Masuk Islam.”
Tulisan ini pertama ia posting di media sosialnya. Feby menulis kritikannya dalam bentuk kisah fiksi yang penuh satir, namun dikemas dengan kisah yang menarik.
Walhasil, respon terhadap kisah fiksi yang ditulis oleh Feby tidak senegatif yang dia pikir. Hal ini menunjukkan bahwa sastra memiliki kekuatan untuk membawa kritik dengan cara yang paling halus, sehingga Feby menganggap bahwa kritik yang diekspresikan dalam bentuk sastra atau seni masih memiliki peluang untuk berkembang di Indonesia.
***
Meski seni dan sastra memiliki kebebasan serta imunitas terhadap moral dan hukum, namun Feby mengatakan bahwa kecemasan dan ketakutan ketika ia menulis novel yang berisi kritik masih kerap ia rasakan dalam dirinya. Namun sekurang-kurangnya, orang cenderung lebih toleran terhadap sebuah karya seni termasuk kepada kritik yang disajikan dalam bentuk sastrawi.
Terkait dengan Holywings. Feby mengatakan bahwa di satu pihak Holywings mungkin tidak berniat untuk menistakan agama. Namun, ia mengatakan bahwa kesalahan terbesar Holywings sehingga disalahpahami oleh masyarakat adalah mempromosikan minuman yang dicap haram oleh muslim dengan membawa nama Muhammad sebagai ajang promosi minuman tersebut.
Feby mengatakan bahwa di tengah masyarakat yang sensitif terhadap agama, maka setiap orang harus bisa melihat situasi serta berpikir sisi positif dan negatifnya.
Ia mengatakan ketika ia menulis buku “Memburu Muhammad,” Feby justru tidak membawa Muhammad sebagai personal yang ditampilkan dalam cerita. Melainkan menjadikan sosok lain, yaitu Abu Jahal, sebagai sosok sentral dalam kisah ini sehingga masyarakat tidak menilai buku ini sebagai sebuah penistaan terhadap agama.
Feby menyayangkan bahwa kasus ini membuat nama besar Holywings hancur, namun ia juga menyayangkan kenapa tim kreatif terlalu gegabah dalam membuat pamflet promosi.
Dari sini, Feby mengatakan bahwa dalam kondisi masyarakat kita yang seperti ini, sangat penting bagi orang-orang untuk tidak menyinggung agama dengan hal-hal yang ditabukan.
Memang pada dasarnya agama memiliki beberapa penafsiran terkait satu masalah, namun ada saja satu pihak yang berusaha memonopoli penafsiran dan memaksakan tafsirannya sebagai penafsiran tunggal.
Feby mengatakan bahwa penting untuk menghadapi hal ini dengan berhati-hati, karena Undang-Undang Penistaan Agama dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang bisa saja menjerat kita sendiri.
***
Dalam sesi tanya jawab, beberapa peserta yang bertanya mengenai sikap dan watak manusia Indonesia yang terlalu kaku dalam beragama. Apakah hal ini bisa diubah seiring waktu?
Feby menjawab, bahwa untuk sebuah perubahan budaya atau pikiran masyarakat memerlukan waktu yang lama dan tidak sebentar. Evolusi budaya manusia tidak ada yang tahu, namun butuh pendobrak untuk menyempurnakan proses ke arah tersebut. Misalnya masyarakat kita yang terlalu fanatik beragama, diperlukan aksi dan edukasi mengenai pemahaman keagamaan yang lebih moderat dan fleksibel.
Pertanyaan selanjutnya terkait dengan Holywings. Bagaimana kasus Holywings ini dilihat dari kacamata Feby?
Menjawab hal ini, Feby mengatakan, bahwa dirinya cukup menyayangkan Holywings jatuh hanya karena kesalahpahaman. Namun, Feby juga mengkritik kenapa manajemen dan tim kreatif Holywings menggunakan strategi promosi yang sensitif dan rentan menimbulkan kontroversi. Meskipun Muhammad dan Maria di sana adalah sebuah nama, namun nama tersebut tak lepas dari sosok yang dihormati umat beragama, sehingga harus hati-hati untuk menyikapinya.
Sayangnya, kenapa Holywings tidak menggunakan nama-nama yang lebih populer di masyarakat dan dekat dengan budaya lokal, “Asep” misalnya. Toh, Holywing dalam menunya juga memasukan makanan dan minuman khas nusantara.
Pertanyaan berikutnya adalah soal UU Penistaan Agama. Adanya UU Penistaan Agama kerap membuat kontroversi dan bermasalah bagi kebebasan demokrasi. Apa bisa UU itu dihapus atau direvisi?
Feby menanggapi, UU Penistaan agama sebenarnya sudah sejak lama ada. Feby mengatakan bahwa UU ini sudah ada dari zaman Belanda bahkan sejak Orde Lama telah dikukuhkan. Karena sudah menjadi UU, maka sangat sulit dicabut. Apalagi jika berkaitan dengan agama.
Hal ini patut disayangkan karena UU Penistaan agama ini selalu berkaitan dengan politik dan rentan dengan kepentingan kelompok tertentu. Mau tak mau kita harus terus mengupayakan agar penerapan UU ini tidak melanggar hak demokrasi dan kebebasan individu. Sebab, dengan adanya UU Penistaan Agama, banyak kritik yang dibungkam atau individu yang belum tentu bersalah, malah dijebloskan ke dalam tahanan.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com