Cerita Diskusi Webinar Forum Kebebasan Tentang Polemik Permenkominfo No. 5 Tahun 2020

182

Beberapa waktu terakhir, tak luput dari linimasa informasi tentang ramainya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) yang kemudian direvisi lewat Permenkominfo Nomor 10 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat yang mulai berlaku.

Berita ini cukup mencengangkan publik dengan informasi terkait pemblokiran besar-besaran kepada sejumlah perusahaan atau badan yang menggelar layanan digital, seperti Google, Facebook, YouTube, Twitter, dan sebagainya. Secara garis besar, Permenkominfo tersebut mengatur ihwal pendaftaran, tata kelola, moderasi informasi atau dokumen elektronik, dan permohonan pemutusan akses atas informasi atau dokumen yang dilarang.

Namun, aturan tersebut juga mengatur pemberian akses data pribadi untuk kepentingan pengawasan penegakan hukum, serta sanksi administratif yang mungkin dijatuhkan pada PSE yang ada di Indonesia. Misalnya, jika ada PSE yang belum mendaftar, maka akan mendapatkan sanksi administrasi berupa pemutusan akses alias pemblokiran maupun ‘take down’. Hal ini akan dilakukan dengan merujuk pada pasal tentang Penjatuhan Sanksi Administratif dan Normalisasi.

Lantas, bagaimana melihat terkait Permenkominfo tersebut? Bagaimana hubungan Permenkominfo tersebut, khususnya dengan kebebasan sipil, kebebasan berekspresi dan berpendapat, partisipasi publik dalam proses kebijakan, maupun perlindungan data pribadi di Indonesia?

Membahas mengenai hal tersebut, Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan dengan topik “Polemik Permenkominfo No. 5 Tahun 2020,” (5/8). Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Shevierra Danmadiyah, Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

***

Terkait dengan polemik Permenkominfo No. 5 dan kebijakan Kominfo yang melakukan penangguhan beberapa situs beberapa waktu lalu, Shevierra mengatakan bahwa pemerintah kurang memperhatikan dampak dari kebijakan tersebut.

Shevierra mengatakan bahwa saat ini hubungan antara individu dengan teknologi digital sudah sangat erat. Ponsel dengan berbagai aplikasi di dalamnya sudah memiliki keterkaitan dengan masyarakat. Dengan demikian, ketika pihak Kominfo melakukan pemblokiran terhadap beberapa platform digital, masyarakat luas yang langsung merasakan dampaknya, khususnya influencer dan freelance sebagai pengguna aplikasi PayPal.

Pemateri juga mengatakan bahwa pemblokiran ini merupakan sinyal tegas, bahwa Pemerintah ingin mengawasi setiap PSE lingkup privat. PSE Lingkup Privat merupakan platform digital yang didirikan menurut hukum negara lain atau yang berdomisili tetap di negara lain, tetapi memberikan layanan di dalam wilayah Indonesia, melakukan usaha di Indonesia, dan sistem elektroniknya dipergunakan di wilayah Indonesia.

Tujuan pengawasan PSE lingkup digital ini menurut Kominfo, tak lain untuk menciptakan iklim digital tanah air yang sehat. Kominfo berdalih, ketika PSE mendaftarkan diri dan setuju mengikuti aturan di Indonesia, pemerintah bisa melakukan pencegahan terhadap peredaran konten negatif, penyalahgunaan data pribadi, eksploitasi seksual pada anak, hingga radikalisme terorisme berbasis digital.

Namun, menurut Shevierra, kontrol pemerintah lewat Permenkominfo ini juga menimbulkan dilema lainnya, khususnya pemblokiran terhadap beberapa platform yang menghambat industri kreatif dan juga terhadap sisi privasi masyarakat. Misalnya, Permenkominfo tersebut memiliki sejumlah pasal “karet” yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat.

Contohnya, Pasal 9 Ayat 3 yang menyatakan PSE wajib memastikan sistemnya tidak memuat informasi yang dilarang, dan tidak memfasilitasi penyebarluasan informasi yang dilarang. Kemudian, Pasal 9 Ayat 4 menyatakan bahwa informasi yang dilarang itu mencakup informasi yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.

Dengan demikian, pemerintah bisa menekan atau meminta PSE mencabut atau melakukan take down semua postingan yang dianggap mengancam dan apapun yang ‘membahayakan’ kursi para pejabat publik. Hal ini dilakukan dengan mengatasnamakan demi keamanan dan ketertiban, pemerintah bisa membungkam semua postingan yang diduga meresahkan.

Tentu menurut Shevierra, kebijakan ini bermata dua dan membahayakan aktivitas masyarakat dan kebebasan masyarakat untuk beropini. Bayangkan saja, pemerintah bisa secara bebas mengetahui data pribadi dan jejak digital setiap orang, pemerintah juga bisa menghapus postingan yang berpotensi bahaya meski itu adalah kritik.

Kebijakan serupa juga sudah dilakukan pemerintah di Thailand pasca kudeta militer. Rezim Junta dan kerajaan memasang setiap ponsel masyarakat chips khusus, sehingga mereka bisa membatasi ruang gerak pada aktivis dan mereka yang kritis dengan pemerintah.

Jika demikian yang terjadi, ini sama saja pemerintah menerapkan pola pemerintahan ala novel “1984” karya George Orwell, di mana dalam novel tersebut terdapat kalimat “Big Brother is Watching you” yang merupakan bentuk teror bagi kebebasan rakyat.

Dengan adanya aturan tersebut, PSE mau tidak mau harus menyerahkan data pribadi penggunanya kepada pemerintah. Menurut Shevierra, para pelaku platform PSE bisa saja menolak mendaftar karena mereka ingin melindungi data penggunanya. Namun dengan adanya aturan ini, mau tak mau PSE harus menyerahkan data pengguna dan wajib menaati apa yang diinginkan oleh pemerintah.

Penulis sendiri cukup takjub ketika mendengar pemaparan pemateri. Penulis jadi ingat ketika dahulu menggunakan kartu seluler ‘milik negara’ beberapa nomor tak dikenal dan SMS dari anonim masuk. Entah itu mengaku sebagai teman yang minta pinjaman, hadiah, atau promo lainnya. Dengan kata lain, nomor pribadi penulis tersebar bebas ke berbagai orang dan tak ada perlindungan sama sekali. Lalu, bagaimana jika data pribadi dan rekam jejak kita diketahui oleh orang tak bertanggung jawab atau penguntit? Ini jelas sangat berbahaya. Apalagi, Indonesia juga belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang amat penting bagi perlindungan data pribadi masyarakat ketimbang Permekominfo ini.

Kembali ke pembahasan diskusi, Shevierra selaku pemateri meminta agar pemerintah dalam menerapkan kebijakan, senantiasa mengajak partisipasi masyarakat dan mengetahui pandangan umum.

Setelah ramai kasus pemblokiran beberapa platform penting yang menganggu industri kreatif, sangat baik jika Kominfo melakukan evaluasi dan mengundang berbagai pihak untuk mengkaji lebih mendalam dan menerapkan langkah-langkah terbaik tanpa mencederai demokrasi.

***

Setelah Shevierra memaparkan materi mengenai Permenkominfo no 5 tersebut, beberapa peserta yang yang menyimak mulai memberikan beberapa pertanyaan dan pendapat. Pertanyaan pertama yang ditujukan kepada pemateri adalah mengenai kontroversi Kominfo atau pemerintah yang dapat mengakses data pribadi dan jejak komunikasi masyarakat.

Permenkominfo ini sudah dibuat sejak lama, namun kenapa ributnya sekarang? Pun, beberapa platform yang diblokir adalah milik perusahaan asing. Sementara, user platform tersebut adalah masyarakat Indonesia, tentu pemerintah bisa menerapkan aturan untuk melindungi masyarakatnya.

Menanggapi pertanyaan dan argumen tersebut, Shevierra menjelaskan bahwa peraturan yang dibuat oleh Kominfo tersebut memang sudah lama dan sudah mulai banyak perdebatan di masyarakat. Namun, keributan dimulai ketika kebijakan itu diterapkan beberapa waktu lalu. Mereka meminta agar Kominfo meminta pendapat dan pandangan dari masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya agar kebijakan ini tepat sasaran.

Iklim digital lahir dari demokrasi, kebebasan, dan kreativitas. Dan ekologi digital itu tidak bisa dimonopoli atau dikontrol sesuai kemauan negara. Shevierra berharap pemerintah membuat aturan yang bersifat luwes bukan mengontrol dunia digital.

Pertanyaan kedua yang diajukan oleh peserta lainnya adalah terkait peran pemerintah terhadap data pribadi masyarakat: apakah pemerintah tidak boleh secara mutlak mengawasi via digital aktivitas masyarakat, khususnya untuk pencegahan seperti terorisme dan kelompok kriminal lainnya?

Shevierra menjawab, bahwa untuk masalah mitigasi terhadap terorisme dan kelompok kriminal secara jelas tentu dibolehkan, dengan catatan bahwa pemerintah mengambil data untuk fokus ke tujuan itu (mitigasi teroris dan kriminal) dan bukan hal lain. Dirinya juga menegaskan bahwa data pribadi kita pada hakikatnya adalah milik kita, dan hanya bisa dikelola atau diketahui oleh pihak lain dengan izin kita.

Boleh saja pihak pemerintah mengetahui data kita sejauh itu relevan untuk kebutuhan pemerintah dan kebijakan publik. Misalnya, untuk aplikasi “Peduli Lindungi”. Pemerintah cukup mengetahui data dasar kita yang sudah melakukan vaksinasi. Pemerintah tidak perlu tahu ke arah mana kecondongan politik kita, siapa pasangan kita, apa yang menjadi favorit kita, dan hal-hal tidak relevan lainnya.

Oleh karena itu, UU Perlindungan Data Pribadi sangat mendesak karena ia melindungi data kita dan membatasi pihak lain untuk mengetahui apa-apa yang menurut kita merupakan hal atau data yang sifatnya personal.

Adanya Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 yang mengizinkan pemerintah, khususnya Kominfo, untuk mengakses data pribadi di media sosial, jelas bertentangan dengan hak privasi kita. Dan, tentu saja pemerintah mengambil data itu tanpa sepengetahuan dan seizin setiap orang.

Shevierra mengatakan bahwa alangkah baik dan pentingnya Kominfo mengadakan komunikasi dan sosialisasi dengan masyarakat sebelum sebuah aturan atau kebijakan diterapkan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, kebijakan yang diterapkan beberapa waktu lalu terkait pemblokiran PSE, terbukti sangat merugikan orang banyak, baik dalam hal kebebasan sipil maupun kebebasan ekonomi.