Kondisi perekonomian global belum sepenuhnya bisa bernapas lega usai melewati pandemi Covid-19. Selain itu, peristiwa yang terjadi saat ini, seperti perang antara Rusia dan Ukraina, gangguan rantai pasokan dan krisis energi dan pangan, dan lainnya menjadi persoalan yang kian memperburuk dampak ekonomi di seluruh dunia, khususnya adalah mahalnya biaya hidup.
Laporan UNDP (2022) menjelaskan, bahwa persoalan biaya hidup terkini telah mendorong 71 juta orang di negara berkembang jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Meskipun Indonesia dalam waktu terakhir berhasil mencatakan pertumbuhan ekonomi 5,44% pada kuartal II-2022, tetapi rentetan kenaikan harga bahan pokok, tiket pesawat, hingga kenaikan BBM menambah daftar beban ekonomi bagi masyarakat.
Lantas, bagaimana melihat persoalan ini? Apakah kebijakan untuk merespon tantangan ekonomi saat ini sudah tepat? Bagaimana solusi yang tepat dan apa saja pembelajaran yang penting untuk mengatasi persoalan biaya hidup dan mendorong pemberdayaan dan ketahanan ekonomi masyarakat di masa yang penuh tantangan ini?
Suara Kebebasan membahas topik ini dalam diskusi webinar Forum Kebebasan yang mengangkat topik “Menyoal Mahalnya Biaya Hidup,” Jumat, (9/9/2022), dengan menghadirkan Ninasapti Triaswati, Ekonom dan Dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.
***
Ninasapti membuka diskusi dengan memaparkan beberapa data perekonomian Indonesia yang merujuk dari data BPS. Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah salah satu negara yang terkena imbas dari krisis global. Kenaikan harga pangan dan BBM adalah imbas yang paling nyata dan dapat kita rasakan. Tekanan kenaikan harga komoditas yang dikonsumsi masyarakat terlihat dari IHK dan IKRT pada bulan Maret 2022 yang lebih tinggi dibanding bulan September 2021.
Kenaikan harga-harga tersebut dapat berdampak pada bertambahnya beban pengeluaran masyarakat karena peningkatan harga-harga dipasaran. Baik harga yang didorong oleh pasar atau harga yang diatur oleh pemerintah juga naik. Bahkan menurut Menteri Keuangan, hal tersebut sudah tak bisa dihindari.
Menurut Ninasapti, tekanan kenaikan harga terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan, terlihat dari IHK yang menggambarkan kondisi perkotaan dan IKRT yang menggambarkan kondisi perdesaan memiliki tren peningkatan yang sama. Kenaikan harga gandum dan kebutuhan pokok yang diimpor tentunya naik karena ada pengaruh dari negara-negara pemasok yang juga mengalami gejolak. Baik gejolak karena perang atau krisis ekonomi.
Begitu pula dengan naiknya kebutuhan pokok yang primer, seperti beras, telur, ikan juga mengalami kenaikan karena inflasi yang terjadi di pedesaan. Inflasi atau kenaikan harga di desa juga turut mempengaruhi tren harga di perkotaan menimbang kebutuhan kota di Indonesia sangat bergantung pada desa yang menjadi sentra produksi kebutuhan pokok.
Ninasapti menjelaskan tiga jenis inflasi yang berkembang di Indonesia: Pertama, inflasi inti, yaitu inflasi uang yang beredar di pasaran sebesar 0,24%. Kedua, inflasi yang diatur pemerintah, yaitu harga yang diatur oleh pemerintah melalui subsidi sebesar 0,06%. Ketiga, inflasi bergejolak, yaitu inflasi di pasar harga yang dipengaruhi oleh situasi domestik maupun global sebesar -0,51%.
Dari data di atas, dapat dilihat bahwa inflasi bergejolak memiliki tingkat yang cukup tinggi. Ini menunjukkan bahwa situasi global benar-benar mempengaruhi keadaan di Indonesia. Apalagi pemerintah yang berusaha menjaga stabilitas harga dengan subsidi, lama kelamaan akan kelelahan karena dana subsidi hampir habis untuk menjaga komoditas yang terus naik harganya. Akhirnya, pemerintah mau tak mau, harus melakukan kebijakan yang tidak populer dengan menaikkan harga bahan bakar minyak. Hal ini dikarenakan dana APBN terus tergerus untuk menanggung biaya subsidi yang makin membengkak.
Komoditas bensin (BBM) merupakan salah satu penyumbang utama inflasi pada Kelompok Harga yang Diatur Pemerintah (administered price). Dengan demikian, kenaikan harga BBM akan berdampak pada kenaikan harga-harga komoditas lain sehingga dapat mendorong kenaikan inflasi umum. Lebih jauh, Ninasapti memaparkan bahwa Indonesia tidak sendiri. Eropa misalnya, sudah mengalami lonjakan harga baik pangan dan energi selama hampir setahun karena ketidakstabilan geopolitik di Kawasan. Sedangkan Indonesia, meski harga kebutuhan naik, namun kenaikan itu berjalan secara bertahap sehingga tidak begitu merusak fondasi ekonomi lainnya.
Lalu pertanyaannya sekarang adalah siapa yang paling terdampak oleh inflasi secara umum ini? Tentu saja masyarakat yang miskin. Kelompok menengah juga terdampak oleh kemiskinan, namun tidak separah masyarakat dalam kelompok miskin. Kelompok miskin ini hampir 50% pendapatannya hanya untuk pangan, apalagi orang yang mengalami kemiskinan ekstrim hampir 70% pendapatan hanya untuk konsumsi pangan.
Meski terjadi tren penurunan kemiskinan di wilayah perkotaan dan pedesaan dari bulan Maret 2022 hingga bulan September 2022, tetapi jika gejolak harga semakin parah dan bantuan sosial yang diberikan pemerintah tidak bertahan lama, tidak menutup kemungkinan kemiskinan akan kembali bergejolak baik. Apalagi dampak penyesuaian harga BBM yang baru diumumkan beberapa waktu lalu masih harus dilihat dampaknya dalam beberapa waktu ke depan.
Karena itu, Ninasapti mengatakan bahwa pemerintah diharapkan memiliki kebijakan yang tepat dan jitu dalam menangani dampak inflasi ini. Meski tidak terjadi seperti di beberapa negara lain seperti Sri Lanka dan Turki, namun Indonesia harus tetap waspada dan cermat dalam menentukan langkah kebijakan apa yang tepat untuk meredam gejolak harga yang terus naik.
***
Ninasapti merangkai materi dengan baik dan jelas, serta merinci secara singkat sebab-sebab kenaikan harga yang belakangan dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Beberapa penanya mengajukan pertanyaan cukup menarik, seperti sejauh mana dampak kenaikan harga dan inflasi pada perekonomian masyarakat kita.
Pembicara menjawab bahwa tentu saja inflasi yang terjadi saat ini sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Khususnya kelompok menengah bawah, yang sebelumnya juga mendapat pukulan hebat ketika pandemi terjadi. Memang angka kemiskinan bisa ditekan kurang lebih 10%. Namun hal ini jangan membuat kita terlena, sebab mereka yang hampir masuk ke kategori miskin. Hal ini hampir mencapai sepertiga penduduk jika kenaikan harga tidak dikelola dengan baik.
Khususnya di Pulau Jawa yang merupakan kawasan perkotaan paling banyak dan penduduk paling padat. Jika tidak dikelola dengan baik, angka kemiskinan akan meningkat pesat. Terkait dengan pengentasan kemiskinan, peserta juga bertanya sejauh mana peran bantuan sosial dalam menangani kenaikan harga dan menekan angka kemiskinan.
Ninasapti menjawab bahwa bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah sebenarnya memang bertujuan untuk menekan angka kemiskinan, tetapi, pemerintah juga harus berbenah apakah bansos tersebut sudah tepat sasaran?
Melihat apa yang terjadi beberapa waktu lalu, yaitu korupsi bansos dan data penerima yang tidak akurat. Pemerintah mesti mengevaluasi kebijakan tersebut dengan mendesentralisasi data kemiskinan di daerah (bukan data pusat) dan menggunakan model bantuan lain yang bisa mencegah korupsi.
Ninasapti juga menjelaskan problem kenaikan BBM dan pengaruhnya di masyarakat. Pemateri tidak memungkiri bahwa masalah konsumsi bahan bakar fosil sangat tinggi untuk masyarakat. Ini yang menyebabkan kenaikan harga sangat berdampak pada masyarakat.
Mau tak mau pemerintah harus memperbaiki transportasi, baik kendaraan umum maupun kereta api. Di Eropa dan Jepang, pengaruh kenaikan harga minyak dunia tidak begitu berpengaruh karena masyarakat terbiasa naik transportasi umum. Di Indonesia, yang dibenahi hanya jalan tol. Padahal, jalan tol justru menguras konsumsi BBM sedemikian besar.
Oleh karena itu, Ninasapti mengatakan pentingnya mendorong kebijakan yang visioner, termasuk investasi untuk swasembada sumber energi maupun pangan lewat kebijakan yang relevan juga ‘political will’ yang kuat. Selain itu, pemerintah juga harus secara bertahan memikirkan transisi ke bahan bakar alternatif sekaligus membenahi transportasi umum agar masyarakat tak terlalu terbebani ketika harga BBM kembali naik.
Dari diskusi ini dan paparan pembicara, kita dapat mengambil beberapa intisari. Diantaranya: pembuat kebijakan harus memperhatikan dampak kebijakan dan jangka panjang kebijakan terkait akan seperti apa, serta prioritas untuk pemenuhan kebutuhannya. Pemerintah juga harus konsisten dan jelas dalam memilih dan menerapkan kebijakan. Pembangunan bukan hanya soal efisiensi, tapi juga soal ‘equity’ dan bermanfaat untuk seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itulah, priortias kebijakan dalam pembangunan sangat penting.
*****

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com