Hari Internasional Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis atau dikenal dengan “International Day to End Impunity for Crimes against Journalists” selalu diperingati pada tanggal 2 November setiap tahunnya. Peringatan itu dilakukan untuk menyerukan kepada semua negara agar mengambil langkah nyata dalam memerangi budaya impunitas.
Seperti diketahui, bahwa Indonesia adalah negara yang menjamin kemerdekaan pers sebagai salah satu elemen penting demokrasi sekaligus menjadi komitmen reformasi yang memberikan ruang besar bagi hak setiap orang untuk berkomunikasi dan mendapat informasi.
Termasuk di dalam kemerdekaan pers, yaitu menjamin dan memberikan perlindungan hukum bagi jurnalis untuk menjalankan tugasnya. Namun, dalam praktiknya hal tersebut masih jauh panggang daripada api. Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menjelaskan bahwa kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tercatat selama periode 1 Januari – 25 Desember 2021 mencapai 43 kasus.
Lantas, bagaimana kondisi perlindungan terhadap jurnalis pada saat ini? Bagaimana evaluasi terhadap penegakan hukum terhadap kekerasan jurnalis yang terjadi? Bagaimana mewujudkan kemerdekaan pers secara utuh di Indonesia?
Suara Kebebasan telah menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan yang mengangkat topik “Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis” pada hari Jumat, (11/11/2022). Hadir menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin.
***
Dalam pemaparannya, Ade Wahyudin menjelaskan beberapa poin terkait kriminalisasi wartawan. Ia menjelaskan betapa banyak kasus kekerasan dan peristiwa yang menganggu kinerja jurnalistik. Gangguan itu terjadi baik oleh masyarakat biasa, polisi atau pemerintah yang tak suka dengan kehadiran jurnalis sebagai pencari informasi. Banyak terjadi beberapa kasus kriminalisasi wartawan oleh polisi, seperti kasus Project Multatuli yang beberapa waktu lalu menghebohkan publik.
Menurut Ade, tindakan tersebut merupakan salah satu bentuk pelanggaran, sebab sebuah produk jurnalistik harusnya disikapi dengan prosedur yang tertera dalam undang-undang, sebab menurut hukum, pekerja pers dilindungi. Ade juga mengatakan bahwa banyak laporan para jurnalis yang diajukan ke polisi justru tidak diproses secara serius. Hal ini yang membuat perlindungan terhadap jurnalis dan kerja-kerja jurnalistik harus diperkuat. Pasalnya, jurnalis bukan hanya sebagai sebuah profesi, tetapi juga sebagai pengawal demokrasi.
ntuk diketahui, tiap tahun tidak kurang dari 40 kasus kekerasan dengan berbagai jenis kekerasan dan berbagai profesi pelaku. Pelaku terbanyak selalu diungguli dari aparatur negara mulai dari polisi, walikota, gubernur dan pegawai aparatur sipil lainnya. Dari banyak jumlah kasus, hanya hitungan jari yang kasus berani di bawa ke ranah hukum. Oleh karena itu Ade prihatin ketika profesi jurnalis menghadapi dilema tanpa ada jaminan hukum yang pasti.
Menurut Ade, banyak faktor yang melanggengkan kekerasan dan impunitas atas kejahatan terhadap jurnalis. Contohnya, jurnalis yang tidak memperjuangkan hak atas keadilannya. Perusahaan media yang memilih jalur non-yudisial dalam penyelesaian kekerasan. Faktor lainnya adalah kepolisian yang lamban dan tidak progresif dalam memproses laporan kekerasan dari jurnalis maupun media. Hal-hal ini yang membuat banyak kasus kekerasan terhadap pekerja pers cenderung diabaikan atau tak diproses secara hukum yang layak.
***
Di sesi pertanyaan, beberapa pertanyaan diajukan kepada pemateri. Salah satunya adalah sejauh mana undang-undang kita melindungi pers dan pemberitaan pers. Ade menjawab bahwa sebenarnya kebebasan dan jaminan hukum untuk pekerja pers kita sudah sangat kuat. Salah satunya adalah dari UU Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor 39 Tahun 1999 dan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Keduanya merupakan produk hukum di era Reformasi yang mencerminkan semangat kebebasan dan demokratisasi.
Dua produk hukum atau undang-undang tersebut sebenarnya sangat menjamin kebebasan pers dan para pekerja pers. Namun pasca Reformasi, mulai muncul suara untuk menggembosi kebebasan pers dan berbagai produk hukum, seperti UU ITE untuk menjebak pekerja pers. Oleh karena itu, Ade sangat menyayangkan jika semangat reformasi yang mencerminkan kebebasan justru lambat laun menghilang, dan sekarang justru muncul UU yang membatasi gerak pekerja pers.
Pertanyaan lainnya adalah, apakah para jurnalis atau pekerja pers benar-benar mendapat impunitas dalam melakukan tugasnya? Ade menjawab, tidak. Sebab, harus diperhatikan dahulu apakah tulisan yang dibuat oleh jurnalis benar-benar produk jurnalistik atau malah tulisan asal-asalan.
Jurnalisme sama seperti dunia ilmiah, yang memiliki kriteria yang ketat sesuai dengan kaidah dan kode etik yang berlaku di dunia kewartaan. Jika si jurnalis asal menulis yang menjurus pada isu palsu atau berita bohong, maka si jurnalis bisa dikenakan pidana. Karena itulah, para jurnalis harus benar-benar menjaga mutunya dan menjalankan tugas jurnalistik secara profesional tak melanggar kode etik yang berlaku.
Sebagai penutup, Ade Wahyudin mengatakan bahwa belakangan ini banyak sekali undang-undang -baik yang sudah ada atau masih berupa rancangan- yang berusaha mengekang kebebasan pers, seperti UU ITE dan juga UU Perlindungan Data Pribadi, yang secara spesifik bisa membahayakan kinerja pers. Untuk itu, penting untuk mendorong dan mengawal agar setiap produk undang-undang harus tetap menghormati kerja-kerja jurnalisme.
Bagaimanapun juga, jurnalis atau pers adalah anak kandung dari demokrasi. Ia adalah pengawal setia negara demokrasi dan menjadi garda terdepan jika terdapat penyimpangan dari para pemegang tampuk negara.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com