Cerita Diskusi Webinar Forum Kebebasan Tentang Membaca Arah Wacana Revisi UU TNI

161

Wacana revisi UU No. 24 Tahun 2004 tentang TNI yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, beberapa waktu yang lalu memantik pro dan kontra. Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar perwira aktif TNI dapat mengisi jabatan di kementerian dan lembaga. Namun, wacana itu langsung mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Wacana TNI dapat menduduki jabatan struktural di institusi sipil dipandang bukan merupakan kebutuhan yang perlu dilakukan, alih-alih justru akan melahirkan persoalan baru.

Salah satu dampak yang dikhawatirkan dari revisi UU tersebut ialah kembalinya TNI menjadi institusi dengan dua peran, yakni di bidang militer dan sipil seperti pernah terjadi pada era pemerintahan Soeharto dengan konsep Dwi Fungsi ABRI-nya. Oleh karena itu, wajar jika agenda penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil termasuk dianggap sebagai bentuk pengingkaran reformasi.

Lantas, bagaimana melihat wacana revisi UU TNI? Perlukah Revisi UU TNI dilakukan dan di aspek apa tepatnya? Bagaimana mengaitkan revisi UU TNI dalam konteks demokrasi, khususnya dalam melihat relasi sipil dan militer pada saat ini?

Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan dengan mengangkat topik “Membaca Arah Wacana Revisi UU TNI”, Jumat,(14/10/ 2022). Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Brigjen TNI Agustinus Purboyo (Dirdok Kodiklat TNI AD), Kolonel Inf Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang (Komandan Kodim 0502/Jakarta Utara), dan Dominique Nicky Fahrizal (Peneliti CSIS).

Dalam diskusi kali ini, peserta yang hadir disajikan dua perspektif dalam menanggapi isu RUU TNI yang baru.  Pertama, pemateri dari kalangan TNI yang merespon pentingnya RUU tersebut dengan landasan strategi operasi militer yang semakin berkembang.  Kedua, pemateri dari CSIS melihat dampak kedepannya jika RUU ini disahkan, khususnya masuknya paradigma militer dalam kinerja sipil yang secara budaya amat berbeda.

Diskusi dimulai dengan pemaparan Brigjen Agustinus Purboyo yang menjelaskan mengenai situasi global dan pola perkembangan perang global pada saat ini. Ia menjelaskan, bahwa perang masa kini bukan hanya terjadi di medan laga, seperti mengerahkan ratusan orang prajurit untuk menaklukkan musuh saja, namun jauh lebih rumit dari itu.

Agustinus juga menjelaskan, kondisi geopolitik dengan adanya ketegangan rivalitas global pada saat ini telah memicu perubahan pola kemiliteran, di mana senjata teknologi dan informasi menjadi amat penting bagi seorang prajurit disamping selongsong senapan. Hal ini bisa dilihat di media sosial yang dinamakan virtual societal warfare, yaitu konflik-konflik yang mengancam pertahanan dan keamanan nasional yang berkembang melalui internet. Ketegangan ini tak bisa dianggap biasa karena sudah terjadi di Amerika Serikat dan telah memicu fenomena Arab Spring di Timur Tengah.

TNI sebagai salah satu gerbang utama pertahanan nasional, menganggap arah strategi pertahanan sudah berubah. Hal ini ditandai dengan bentuk-bentuk pertahanan konvensional, semakin tidak sesuai dengan adanya perkembangan teknologi, karena keamanan nasional akan semakin bergantung pada lingkungan informasi yang tangguh, bahkan aspek relasi sosiologis, seperti ikatan sosial yang kuat. Oleh karena itu, ia menjelaskan, bahwa negara membutuhkan bentuk pertahanan dan keamanan dalam menjaga informasi publik. Hal ini ditunjukkan denganTNI berusaha untuk melakukan mediasi antar elemen bangsa untuk menciptakan rekayasa sosial yang bertanggungjawab atas keutuhan dan stabilitas nasional. Batas antara tanggung jawab negara dan sipil menjadi kabur. Keamanan nasional akan bergantung pada kerjasama aktor sipil.Teknologi dan teknik dari bentuk pertahanan baru ini diprediksi semakin tersedia untuk berbagai kalangan, baik insinyur, dokter, usahawan dan kaum sipil lainnya.

Oleh karena itu, Purboyo menjelaskan sangat penting untuk mengesahkan RUU TNI dengan harapan, bahwa strategi pertahanan bersama dan ada kerjasama antara sipil dan militer. Ini bukan berarti militer ingin kembali kepada konsep dwifungsi dalam artian era Orba, namun semata-mata kepentingan pertahanan masa kini.

Hal serupa juga diutarakan oleh Kolonel Inf Frega Ferdinand, yang mengatakan, bahwa masyarakat  masih takuti pada hal-hal yang lampau soal masuknya tentara dalam segi politik dan ranah sipil lain, sehingga seolah militer mendominasi. Pandangan seperti ini harus diubah dan menempatkan supremasi sipil di era reformasi ini adalah harga mati dan demokrasi harus tetap berjalan.

Poin penting Revisi UU TNI tersebut adalah untuk mengubah strategi pertahanan yang terus berkembang. Jika militer digerakkan saat perang saja, maka ini dikhawatirkan akan melemahkan pertahanan karena perang sendiri bukan sekedar ancaman bersenjata tetapi juga bersifat lebih kompleks. Ia mencakup ancaman pencurian data publik, ancaman provokasi, ancaman intelejen dan ancaman bentuk lain yang bukan merupakan serangan bersenjata.

Frega menilai urgensi revisi UU TNI ini bukan ke arah dominasi militer ke sipil, tetapi integritas yang lebih erat antara sipil dan militer. Kerjasama antara militer dan sipil sangat diperlukan apalagi di era modern sekarang sekat-sekat antara kaum sipil dan militer sudah mulai memudar. Oleh karena itu, masalah UU TNI yang harus direvisi harus menaungi kepentingan pertahanan nasional yaitu pertahanan rakyat semesta: kerja sama antara sipil dan militer.

Pandangan sepadan juga diamini oleh  Nicky Fahrizal, sebagai Peneliti di CSIS, ia tak heran bahwa RUU TNI belakangan menuai polemik karena adanya kesuraman masa lampau, yaitu dominasi militer di era Orde Baru. Ketakutan masa lampau dan juga luka HAM yang ditinggalkan oleh rezim Orde Baru, hal ini yang membuat kebanyakan orang antipati terhadap revisi UU TNI.

Di sisi lain, Nicky menyetujui beberapa hal yang harus direvisi terkait untuk keamanan nasional yang lebih kuat. Contohnya, mengenai penanganan bencana alam, terorisme dan separatisme, di mana peran TNI juga harus diikut sertakan dalam beberapa bagian. Selain itu, kerjasama antara sipil dan militer untuk pertahanan yang lebih kompleks, dengan syarat sejauh itu untuk kepentingan bangsa dan masyarakat umum.

***

Dalam sesi tanya jawab, beberapa peserta mengajukan pertanyaan seputar RUU TNI dan peran TNI kedepannya, seperti mengenai sikap mahasiswa yang menolak jabatan pelaksana tugas yang menjadi pejabat di daerah konflik, seperti Papua.

Pernyataan ini dijawab oleh Nicky, bahwa penolakan tersebut tidak lepas dari pengaruh masa lalu di era orde baru. Ditambah dengan militansi atau fanatisme mereka soal pemisahan antara sipil dengan militer. Ini yang menurut Nicky harus diluruskan, karena untuk masalah stabilitas keamanan daerah, peran TNI bisa digunakan selama dibutuhkan untuk menjaga keamanan dan mempertahankan hak warga dari gerombolan.

Selain itu, peserta lainnya bertanya mengenai peran TNI yang ditakutkan tumpang tindih dengan institusi lain seperti Polri jika RUU TNI disahkan dan terminologi “menanggulangi ancaman” diperluas. Pertanyaan lni ditanggapi oleh Agustinus yang mengatakan tidak akan ada tumpang tindih dalam soal penugasan karena definisi ancaman dalam tubuh TNI dan Polri berbeda.

Agustinus juga mengatakan makna ancaman yang dimaksud adalah ancaman stabilitas nasional baik dalam dan luar negeri yang menjadi ruang lingkup dan tupoksi TNI karena jika mengacu pada ancaman  bersenjata (OMP) saja, tentu ini akan melemahkan pertahanan, sebab musuh bisa melakukan operasi militer selain perang (OMSP) melalui kecanggihan digital.

Pertanyaan terkait pertahanan juga diberikan oleh peserta terkait sekuritisasi dan peran sipil di dalamnya. Hal ini langsung dijawab oleh Kolonel Frega Ferdinand. Ia mengatakan bahwa masalah pertahanan bukan hanya mencakup masalah perang, tetapi juga pertahanan ekonomi, politik, sosial dan lain sebagainya. Cakupan yang luas dari ilmu pertahanan memungkinkan agar setiap orang memahaminya dan juga bisa berkontribusi untuk ketahanan nasional.