Piala Dunia tahun ini terasa berbeda mengingat banyaknya kontroversi yang mengiringi penyelenggara hajatan ini, yaitu Qatar selaku tuan rumah penyelenggara edisi ke-22 Piala Dunia. Beberapa isu hak asasi manusia (HAM) yang mengiringi negara semenanjung Arab tersebut, seperti pelanggaran HAM terhadap pekerja migran dalam membangun stadion dan fasilitas Piala Dunia FIFA 2022, hingga pelarangan suporter, dan perlakuan terhadap komunitas LGBTQ.
Lantas, bagaimana melihat gegap gempita sepak bola dan mengkritisi aspek HAM tersebut? Untuk membahas mengenai hal tersebut, Suara Kebebasan telah menyelenggarakan sebuah forum diskusi webinar Forum Kebebasan yang mengangkat topik “Kontroversi Piala Dunia 2022,” pada hari Jumat, (9/12/f2022). Yang menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Pande K. Trimayuni (Ketua Dewan Pengawas Institut Ungu) dan Astari Yanuarti (Fans Bola dan Pengamat Media).
***
Banyak orang berpandangan bahwa sepak bola adalah olahraga semata yang bebas dari pengaruh kepentingan politik, namun dalam hal ini dibantah oleh Pande K. Trimayuni saat membuka diskusi.
Memang, kita selalu diajarkan bahwa inti dari sepak bola adalah sportifitas dan juga keakraban dalam bertanding, namun tak dielakkan bahwa olahraga sebenarnya memengaruhi bagian kehidupan manusia yang lain, termasuk politik dan aspek kehidupan yang lain.
Pande membawa contoh mengenai kontroversi larangan simbol LGBT selama pertandingan Piala Dunia berlangsung. Begitu juga euforia masyarakat Indonesia yang memuji kemenangan negara Arab dan Asia ketika berhasil mengalahkan tim nasional dari negara-negara peserta lainnya.
Pun beberapa netizen di Indonesia juga mengutuk sikap komunitas internasional terhadap Qatar. Komunitas internasional menginginkan agar perhelatan akbar ini menjadi sebuah hiburan yang inklusif dan tak membatasi ruang hanya pada kelompok tertentu.
Sebaliknya, Qatar tidak ingin nilai-nilai di luar negaranya masuk ke negara mereka, sehingga hal ini memicu reaksi internasional. Banyak aktivis pegiat HAM, PBB, bahkan lembaga kemanusiaan lainnya turut menyayangkan sikap Qatar, khususnya sikap diskriminasi pada kelompok LGBT.
Tentu netizen yang membela Qatar mendukung sikap Qatar sebagai sebuah ‘pembelaan’ terhadap agama dan nilai-nilai Asia. Ini menunjukkan bahwa identitas keagamaan dan kesukuan juga terdapat dalam pertandingan sepak bola yang masih berlangsung. Karena itu, Pande cukup menyayangkan Piala Dunia yang biasanya dapat dinikmati oleh banyak orang, kini tertutup oleh kepentingan ideologis. Namun, sejauh ini kita tak perlu terkejut dengan sikap Qatar dan beberapa negara Timur Tengah lain yang mengabaikan beberapa isu terkait HAM dan kesetaraan warga, karena Timur Tengah memang terkenal agak kurang menyukai gagasan-gagasan tersebut dan menuduhnya sebagai ‘buatan Barat’, yang mana warga Timur Tengah merasa memiliki ‘standar moral’ sendiri yang jauh lebih mapan.
Pemahaman keliru semacam ini yang membuat Qatar sempat menghadapi kecaman publik. Sebagai tuan rumah Piala Dunia, harusnya Qatar bisa bersikap lebih terbuka. Qatar seharusnya sadar bahwa penikmat sepak bola ini bukan hanya dari satu kelompok, tapi dari berbagai suku dan bangsa yang memiliki sudut pandang berbeda-beda. Seyogyanya Qatar bisa bersikap inklusif dan minimal menghormati dasar hak asasi manusia.
Astari Yanuarti selaku pembicara kedua, membenarkan penyampaian Pande Trimayuni. Sebagai jurnalis yang aktif menyorot perkembangan Piala Dunia Qatar, Astari membeberkan bahwa sebelum perhelatan Akbar itu dimulai, Qatar sudah memiliki dua masalah yang disoroti masyarakat internasional.
Pertama, soal Hak Asasi Manusia, yaitu larangan kaum LGBT masuk stadion dan membawa atributnya. Kedua, adalah soal pekerja migran yang menjadi korban pembangunan stadion dan infrastruktur untuk mempersiapkan Piala Dunia di negara tersebut.
Untuk kasus pertama dialami oleh Timnas Jerman yang ingin berlaga melawan Jepang. Timnas Jerman tak diizinkan membawa atribut “one love” yang menyimbolkan semboyan LGBT. Pemerintah Qatar mengecam keras dan FIFA juga mencela Timnas Jerman. Yang lebih aneh lagi, para fans Jerman di Indonesia ikut mencela sikap timnas kesayangan mereka, bahkan menertawakan ketika Jerman tak lolos untuk maju ke babak selanjutnya.
Para netizen di Indonesia mengatakan bahwa hal ini adalah ‘azab’ bagi Jerman karena mendukung LGBT, namun seperti kita tahu, ini hanya celaan netizen biasa sesuai standar moralnya. Astari mengatakan bahwa beberapa media menyoroti Piala Dunia Qatar tak seperti pada Piala Dunia umumnya. Mereka melirik beberapa sisi, seperti sikap pemerintah Qatar dan juga beberapa peristiwa yang membuat aktivis HAM angkat bicara.
Ia mengatakan, mungkin kita berharap bahwa olahraga menjadi sebuah ruang inklusif yang bebas dari kepentingan apapun, namun hal itu mustahil terjadi. Pasalnya, olahraga khususnya sepak bola sendiri tidak hadir di ruang hampa, pasti ada faktor sosial, politik, ekonomi yang memengaruhi jalan pertandingannya, seperti yang terjadi di Qatar.
***
Pada sesi tanya jawab, berbagai komentar dan pertanyaan diajukan. Salah satunya adalah persoalan disabilitas. Bagaimana disabilitas diperlakukan dalam menikmati Piala Dunia dan apakah mereka diberi hak yang sama untuk menjadi pemain sepak bola seperti orang lainnya?
Menjawab pertanyaan ini, Pande mengutarakan keprihatinannya. Masalah disabilitas ini juga disayangkan karena representasi penyandang disabilitas seolah hanya sebagai pajangan di pembukaan Piala Dunia. Padahal, sepak bola maupun permainan olahraga apapun sudah seharusnya universal dan inklusif bagi semua pihak, tanpa terkecuali. Mereka yang disabilitas harusnya juga diperhatikan oleh pemerintah dan panitia penyelenggara agar mendapat perhatian utama.
Astari juga menambahkan bagaimana kaum disabilitas kurang mendapatkan tempat untuk ikut berlaga di Piala Dunia ini, Terlebih lagi, sosok figur atlet yang terkadang lebih disorot dalam dunia fans bola juga turut mempengaruhi pandangan mengenai sepak bola itu sendiri.
Pertanyaan lainnya adalah terkait bagaimana cara agar masyarakat kita terlepas dari sekat-sekat identitas yang ekslusif dan diskriminasi terhadap yang berbeda, dan bagaimana media ikut mendorong untuk menghapuskan stigma ini?
Menanggapi pertanyaan ini, Astari mengatakan bahwa persoalan sepak bola tidak bisa terlepas dari berbagai aspek dan kepentingan, sebab itu mencakup banyak pihak, negara, media, dan masyarakat di dalamnya. Untuk itu, dalam melihat Piala Dunia di Qatar yang diwarnai protes terkait HAM, ini penting untuk dikaji secara lebih kritis dan cerdas dengan merujuk pada beragam media yang kredibel, serta analisis yang kontekstual.
Selain itu, edukasi terkait kecerdasan konsumen (fans maupun masyarakat) dalam menyaring informasi media juga perlu ditingkatkan lagi agar mereka tidak menjadi sosok yang mudah menyalahkan tanpa tahu duduk perkaranya.
Tantangan mengenai isu universalisme dan lokalisme yang menjadi sorotan terutama dalam memandang sepak bola pada masa kontemporer ini juga menjadi pekerjaan rumah bersama, baik bagi pemerintah maupun masyarakat untuk sama-sama bahu-membahu dalam membangun iklim sepak bola yang lebih baik lagi, inklusif, dan sportif.
*****

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com