Politik dinasti merupakan salah satu fenomena yang umum terjadi dalam berbagai pemilihan pejabat publik di Indonesia. Dalam berbagai pemilihan di berbagai daerah di negara kita, tidak jarang kita temukan para calon yang memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan kepala daerah, petinggi partai politik, anggota badan legislatif, hingga kepala negara.
Fenomena ini kerap menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, ada yang berpandangan bahwa praktik tersebut berpotensi menyuburkan praktik nepotisme dan menimbulkan ketidakadilan bagi calon-calon lain yang tidak memiliki kekerabatan dengan elit politik. Namun, tidak sedikit pula yang berpandangan bahwa politik dinasti merupakan hal yang sah saja karena hak untuk dipilih sebagai pejabat negara merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh seluruh warga negara tanpa kecuali.
Dalam negara demokrasi seperti negara kita saat ini, hak warga negara untuk dipilih sebagai pejabat publik tentu merupakan salah satu hak dasar yang wajib dilindungi dan dijunjung tinggi. Selain itu, setiap pemilih tentu memiliki hak dan kebebasan untuk memilih siapapun calon yang menurutnya mampu menyampaikan aspirasinya.
Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi politik dinasti di Indonesia? Dan, bagaimana dampak dari hal tersebut terhadap demokrasi di negara kita?
Untuk membahas mengenai hal tersebut, pada 16 Oktober 2020, Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan yang akan mengangkat tema “Polemik Politik Dinasti di Indonesia”. Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah pendiri dari Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) dan Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Saiful Mujani.
Dalam kesempatan kali ini, untuk pertama kalinya, Forum Kebebasan disiarkan langsung melalui saluran YouTube CokroTV. Hal ini juga ikut menambah audiens Forum Kebebasan dan jangkauan Suara Kebebasan, untuk lebih dikenal sebagai portal dan gerakan pendukung gagasan kebebasan di Indonesia.
*****
Dalam pemaparan materinya, Saiful Mujani menjelaskan pengertian dari politik dinasti yang belakangan menjadi perdebatan di muka publik. Beliau menjelaskan bahwa pada dasarnya, politik dinasti adalah sebuah sistem politik di mana seseorang dapat berkuasa dalam suatu negara lewat hubungan kekeluargaan atau hubungan darah, sebagaimana zaman kerajaan di masa lampau. Jika kita melihat sistem di Nusantara pada masa dahulu, seseorang menjabat sebagai raja atau pemerintah daerah, karena ia mendapatkan jabatan tersebut dari orang tuanya.
Sistem ini sangat lumrah dipraktikkan pada abad pertengahan. Hampir di seluruh dunia, orang-orang mengakui keabsahan sistem dinasti ini. Namun, ketika gagasan demokrasi dan egalitarian mulai menyebar lewat Revolusi Prancis dan Amerika, sistem dinasti atau feodal (yang mengakui otoritas kaum bangsawan) mulai lenyap bahkan cenderung dicap sebagai sistem yang buruk.
Sistem demokrasi yang pada prinsipnya adalah kekuasaan di tangan rakyat dan menekankan pada aspek kesetaraan tiap individu, secara perlahan berhasil menghapus sistem politik dinasti. Rakyat menuntut agar masalah kekuasaan negara harus berdasar pada kehendak dan pilihan rakyat bukan pada segelintir orang atau keluarga. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sistem demokrasi ini adalah antitesis terhadap sistem dinasti.
Namun, Saiful juga menjelaskan, walaupun pada dasarnya demokrasi adalah antitesis terhadap politik dinasti, namun dalam perkembangan sejarah, politik dinasti ini kembali hidup dan berkembang (justru) di tengah-tengah sistem demokrasi. Sekalipun demokrasi berusaha agar sistem pemerintahan bersih dari politik dinasti, namun politik dinasti kini ‘berevolusi’ dan sulit untuk dihilangkan.
Ya, demokrasi memang menentang pemerintahan yang tidak mendapat legitimasi dari rakyat banyak. Namun, dalam beberapa kasus, beberapa politisi kembali mempraktikkan politik kekeluargaan dengan mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui prosedur pemilihan yang demokratis.
Misalnya, seperti yang terjadi di Banten, hampir semua pemimpin daerah memiliki hubungan darah dengan mantan gubernur Banten, yaitu Ratu Atut Chosiyah. Walaupun mereka mengikuti sistem demokrasi, namun hakikatnya fenomena politik di Banten bisa dikatakan sebagai politik dinasti.
Demokrasi tidak dapat menghalangi jika kerabat atau istri dan anak dari seorang pejabat pemerintahan ikut serta dalam kontestasi pemilu. Ketika kerabat atau anak dari pejabat negara berhasil terpilih dalam pemilihan umum, maka ia sah secara demokratis dan tidak bisa diganggu gugat.
Walaupun anak atau saudara dari seorang pejabat (incumbent) terpilih secara demokratis, namun sayangnya jika ditilik secara seksama, orang yang berusaha mencalonkan diri karena ada faktor kekerabatan, memiliki kelebihan ketimbang orang yang mencalonkan diri tanpa adanya faktor kekerabatan. Misalnya, anak atau saudara yang mencalonkan diri sebagai pejabat atau wakil rakyat, ia lebih memiliki peluang besar untuk maju, sebab ia memiliki fasislitas berupa uang, sumber daya, massa, serta mesin politik yang didapat dari incument yang merupakan kerabatnya.
Misalnya di suatu daerah, anak bupati ingin bercita-cita untuk meneruskan jabatan ayahnya sebagai bupati, maka ia akan mendapatkan dukungan dan fasilitas politik dari sang ayah yang saat itu tengah menjabat. Dan dalam hal ini, sistem demokrasi tidak bisa menghalangi atau menjegal anak dari bupati tersebut untuk naik apabila ia terpilih dalam kontestasi pemilihan di daerahnya.
Pemateri kemudian menjelaskan bahwa, sistem dinasti ini jelas memperburuk citra demokrasi. Sebab, bukan tidak mungkin seseorang yang menjabat karena ada koneksi politik, tidak memiliki kualitas kepemimpinan dan integritas sebagai pemimpin. Begitu juga dalam masalah korupsi, banyak orang yang berpendapat bahwa korupsi lebih rentan terjadi dalam pemerintahan yang dikuasai oleh dinasti keluarga, walaupun sebenarnya masalah korupsi ini bisa terjadi dalam sistem manapun.
*****
Masalah politik dinasti ini memang belakangan sering dibicarakan di media sosial atau media massa. Di Indonesia, politik dinasti ini sudah sangat sering terjadi, contohnya adalah banyak anak dan kerabat dari seorang pejabat (incumbent) yang mencalonkan diri pada kontestasi pilkada mendatang.
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimanakah mengantisipasi adanya politik dinasti. Di sini, pemateri menjelaskan bahwa rasionalitas dalam memilih diperlukan agar rakyat mendapatkan pemimpin yang tepat. Rakyat harus memilih dan mengetahui visi dan rekam jejak orang yang akan ia pilih. Jikalau rakyat ingin mengikis habis sistem dinasti ini, maka mau tak mau ia harus memilih selain orang tersebut.
Dalam sesi tanya jawab, ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada pemateri, yaitu apakah kontestan yang merupakan kerabat dari incumbent, kerap mendapat perlakuan khusus, ketimbang kontestan yang lain?
Untuk pertanyaan ini, itu bisa saja terjadi, sebab incument memiliki akses keamanan, perangkat pemerintahan, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya. Hal ini bisa saja dimanfaatkan. Namun, ini bisa dicegah jika penegakan hukum kita kuat dan kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi tinggi, sehingga masyarakat bisa mengawal proses kontestasi dan membeberkan setiap pelanggaran ke penegak hukum.
Pertanyaan berikutnya, apakah di seluruh dunia sistem dinasti ini cenderung menguat? Dan mengapa bisa seperti itu?
Pemateri menjawab bahwa di seluruh dunia, tren politik dinasti cenderung menurun, bahkan hanya kisaran 10%. Kecuali di Jepang yang pengaruh politik dinastinya cukup besar, karena di Jepang, orang-orang tidak terlalu melihat partai politik. Kontestan pemilu takkan bisa menang jika hanya bergantung pada partai, karena itu orang-orang yang ingin menjadi kandidat dalam pemilu, harus membangun organisasi pendukung pribadi (koenkai) di distriknya.
Pejabat yang memiliki koenkai yang kuat, cenderung akan lebih mudah mengumpulkan suara untuk kerabat atau anaknya yang ingin meniti karir di dunia politik. Inilah yang menyebabkan dominasi dinasti begitu kuat di Jepang, meskipun di belahan dunia lain, sistem dinasti ini terus melemah.
Lalu pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana cara memutus politik dinasti yang cenderung korup dan kuat posisinya?
Pertanyaan ini cukup sulit, menurut pemateri, karena dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk memilih kandidat secara rasional, bukan dilihat dari keluarga calon atau bantuan-bantuan selama kampanye. Namun, Beliau juga mengutarakan, salah satu jalan untuk mengikis dominasi politik dinasti adalah dengan mengubah undang-undang dan peraturan pemilu.
Saat ini, kontestan pemilu dirumitkan dengan dana, partai pendukung, dan prasyarat rumit lainnya. Saiful Mujani mengatakan bahwa sebaiknya peraturan untuk kontestasi pilkada atau pilpres dipermudah saja, biarkan lebih banyak puluhan orang yang mencalonkan diri untuk memimpin, dan juga biarkan paslon independen (non-partai) untuk maju.
Jika pilihan-pilihan yang ditawarkan kepada masyarakat semakin banyak, maka masyarakat cenderung akan memilih dan menelaah visi dan misi paslon, dan tidak memilih yang itu-itu saja. Dengan demikian, dibutuhkan demokrasi yang matang, yang ditunjukkan lewat kesadaran pemilih, serta kandidat pemimpin yang berkualitas dan memiliki kompetensi. Hal lain yang tidak kalah penting adalah revisi undang-undang terkait pemilu.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com