Cerita Diskusi Suara Kebebasan di Universitas Lampung

512

Pada hari Selasa, tanggal 9 April 2019 lalu, Suara Kebebasan mendapatkan kesempatan kembali untuk mengadakan diskusi publik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (UNILA) dengan membahas makalah penelitian Suara Kebebasan mengenai Permenkominfo No. 19 tahun 2019 tentang Penanganan Situs Internet dengan Muatan Negatif, yang diterbitkan tahun lalu. Diskusi ini merupakan diskusi kedua yang dilakukan Suara Kebebasan di Universitas negeri di kota Bandar Lampung tersebut, dan merupakan hasil undangan dari ketua Departemen Sosiologi FISIP Universitas Lampung, Ikram Baadila, serta berkat kerjasama Suara Kebebasan dengan jurusan Sosiologi, Hubungan Internasional, serta Komunikasi FISIP UNILA.

Saya mewakili tim penulis Suara Kebebasan, mendapatkan kesempatan sebagai salah satu pemateri dari diskusi ini. Selain itu, ada panelis lain yang menjadi kontributor serta pembahas, yakni Kamilia Manaf yang merupakan salah satu pendiri Institut Pelangi Perempuan, yang bergerak di bidang advokasi untuk kelompok lesbian serta transgender perempuan. Kamilia juga memiliki perhatian terhadap representasi dan kehadiran kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dalam dunia maya di Indonesia.

Untuk pembahas adalah Toni Wijaya yang merupakan salah satu dosen komunikasi di FISIP Universitas Lampung. Diskusi ini dimoderatori oleh dosen hubungan internasional FISIP Universitas Lampung, Gita P. Djausal. Untuk peserta sendiri mayoritas merupakan mahasiswa sosiologi UNILA, dan ada juga beberapa mahasiswa dari jurusan ilmu pemerintahan dan hubungan internasional.

Di dalam diskusi kali ini, saya memfokuskan pada aspek mekanisme, permasalahan serta rekomendasi kebijakan dari untuk mengatasi permasalahan yang muncul akibat penerapan Permenkominfo tersebut. Sebagaimana yang bisa kita lihat di dalam paper yang menjadi topik bahasan, mekanisme pemblokiran yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dilakukan secara sepihak serta sebagian besar dilakukan berdasarkan laporan masyarakat.

Masyarakat dapat melaporkan website yang dianggap mengandung konten negatif, seperti pornografi dan perjudian, ke email aduankonten@mail.kominfo.go.id. Untuk selanjutnya, laporan tersebut akan dikaji oleh Kominfo dan apabila laporan tersebut memang tepat, maka website yang diadukan akan ditaruh oleh Kominfo ke daftar Trust+Positif. Daftar tersebut nantinya akan disebar ke seluruh penyedia jasa internet di Indonesia dan bila tidak diblokir dalam hangka waktu 3X 24 jam, maka izin dari penyedia jasa internet tersebut dapat dicabut oleh Kominfo.

Mekanisme tersebut tentunya merupakan hal yang berpotensi besar menimbulkan abuse of power serta kesewenang-wenangan. Adanya peraturan menteri tersebut merupakan bentuk pelanggaran kebebasan warga negara untuk berbicara dan mengeskpresikan diri melalui media internet yang sangat nyata oleh negara. Belum lagi, mekanisme yang sepihak dan tidak transparan tentu akan sangat merugikan para pemilik website serta pembuat konten kecil yang tidak memiliki bargaining power untuk bernegosiasi dengan Kominfo.

Kesewenang-wenangan yang merupakan potensi besar terhadap pemberlakukan Permenkominfo ini oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dapat muncul karena seluruh kekuasaan berada ditangan kementrian tersebut. Baik pelaporan, pengkajian, hingga pemblokiran website berada dibawah tangan Kominfo dan tidak ada mekanisme check and balances dari lembaga lain.

Oleh karena itulah, beberapa rekomendasi yang diberikan oleh tim penulis dalam paper ini adalah harus dibuat peraturan yang menyatakan bahwa Kominfo tidak bisa menjadi pemain tunggal dalam pemblokiran sebuah website, dan harus serta melibatkan lembaga lain, seperti lembaga peradilan. Hal tersebut untuk mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan serta untuk melindungi hak sipil masyarakat. Dengan adanya mekanisme pemblokiran website melalui ketetapan pengadilan, maka kepurusan tersebut lantas memiliki kekuatan hukum yang jelas, serta apabila ada pemilik website yang merasa tidak melakukan kesalahan apapun, maka ia dapat mengajukan pembelaan diri di lembaga peradilan.

Selain itu, adanya peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh komisi 1 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang salah satunya memiliki ruang lingkup tugas dibidang komunikasi dan informatika, merupakan sesuatu yang sangat penting. Alasan utama pentingnya ada pemisahan kekuasaan antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah untuk mencegah ada suatu lembaga atau institusi yang memiliki kekuasaan yang sangat besar melalui mekanisme check and balances.

Sementara itu, Kamilia Manaf menjelaskan bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak yang dicantumkan secara jelas oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada Pasal 19, yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Selain itu, Kamilia juga menjelaskan mengenai bagaimana pandangan pihak Kominfo serta peyedia jasa internet terhadap kelompok LGBT, yang salah satunya diwujudkan melalui perlakuan mereka terhadap website-website yang diangap mengandung konten yang membahas keragaman gender dan seksualitas.

Kesalahpahaman bahwa pembahasan mengenai LGBT merupakan salah satu bentuk pornografi merupakan hal yang umum di masyarakat, tak terkecuali aparatur negara dan pejabat pemerintahan. Kamilia mengungkapkan banyaknya website-website yang memuat pembahasan seputar keragaman gender dan seksualitas yang juga diblokir oleh Kominfo serta penyedia jasa internet karena dianggap mengandung pornografi, padahal tidak sama sekali. Malah sebaliknya, website serta akun yang memuat berbagai ujaran kebencian kepada kelompok LGBT justru dibiarkan dan tidak ditindak oleh pemerintah melalui Kominfo.

Dosen komunikasi FISIP UNILA, Toni Wijaya, juga mengeluarkan pendapat yang serupa dan mengatakan bahwa penerapan pemblokiran website yang dilakukan oleh Kominfo merupakan sesuatu yang snagat bermasalah. Hal tersebut salah satunya dikarenakan salah satu yang dijadikan landasan hukum oleh permenkominfo tersebut, yakni Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tahun 2008, yang direvisi pada tahun 2016, mengandung berbagai pasal karet, salah satunya adalah pasal 27.

Pasal tersebut melarang siapapun untuk mendistribusikan atau mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan kesusilaan, penghinaan, serta pencemaran nama baik. Pasal tersebut tentu sangatlah rancu dan bisa dikenakan sesuai dengan kehendak siapapun karena kesusilaan, penghinaan, serta pencemaran nama baik merupakan sesuatu yang sangat subjektif dan tidak jelas.

Terkait dengan pornografi, Toni juga mengatakan bahwa pemblokiran website yang dianggap mengandung unsur pornografi oleh Kominfo merupakan sesuatu yang sia-sia karena hal tersebu tidak dapat menghentikan seseorang untuk mengakses konten pornografi melalui internet. Seperti yang dicantumkan di dalam paper Suara Kebebasan yang dibahas, sebagian besar website yang diblokir oleh Kominfo merupakan situs yang dianggap mengandung unsur pornografi, namun ada banyak cara untuk siapapun tetap membuka website tersebut. Pemblokiran website pornografi merupakan hal yang membuang-buang sumber daya.

Memasuki sesi tanya jawab, sebagaimana pengalaman saya mengikuti berbagai diskusi, hampir bisa dipastikan bahwa kebanyakan pertanyaan yang diajukan oleh peserta merupakan hal yang sedikit agak melenceng dari topik pembicaraan. Ada salah satu mahasiswa yang bertanya mengenai bagaimana kebebasan agar tidak bersinggungan dengan orang lain. Selain itu, terkait dengan LGBT, ada pula mahasiswi yang bertanya apakah pandangan-pandangan yang mendukung LGBT merupakan bagian dari hak asasi yang harus dibolehkan dan dilindungi.

Sehubungan dengan konsep kebebasan dan potensi kebersinggungan dengan orang lain, saya menjawab dengan menggunakan kata-kata mutiara terkenal dari salah satu hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes, bahwa kebebasan seseorang menggerakkan tangannya berhenti ketika tangan orang tersebut mengenai hidung saya.

Kita harus mengetahui apa yang menjadi batas-batas tindakan yang boleh kita lakukan agar tidak melanggar hak orang lain. Seseorang memiliki hak untuk memutar lagu apapun dirumahnya. Akan tetapi, bila ia memutar lagu dengan volume yang sangat kencang di malam hari, sehingga mengganggu tidur para tetangganya, maka hal tersebut harus dilarang dan pelakunya ditindak, karena ia telah mengambil hak orang lain untuk mendapatkan tidur yang tenang di rumah mereka.

Terkait dengan LGBT, saya berusaha untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut secara frontal. Sikap konfrontasi sering justru malah semakin menjauhkan seseorang dari ide yang kita tawarkan. Saya mengungkapkan bahwa kebebasan berbicara bukan berarti Anda harus sepakat dengan pendapat orang lain. Anda boleh memiliki pandangan sikap menolak kelompok LGBT, namun pada saat yang sama Anda juga bisa tetap membela orang lain yang memiliki pandangan berbeda untuk mengungkapkan pikirannya.

Bila Anda tidak setuju, maka debatlah orang yang berbeda pandangan dengan Anda tersebut secara terbuka untuk melihat pendapat siapa yang paling, jangan lantas Anda merampas hak kebebasan berbicara orang tersebut dengan cara-cara kekerasan, seperti penutupan paksa diskusi hingga kekerasan fisik. Melawan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda dengan cara-cara kekerasan justru menunjukkan bahwa Anda tidak memiliki counter-argument untuk melawan pendapat orang tersebut.

Diskusi ini sendiri berlangsung selama 2 jam 30 menit, dari pukul 09.00 hingga 11.30, dan saya melanjutkan dengan makan siang bersama Pak Ikram dan Kamilia. Dengan mewakili Suara Kebebasan, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pak Ikram serta segenap rekan-rekan dosen dan para mahasiswa yang memberi kesempatan untuk menjalankan diskusi ini.

Saya berharap diskusi ini dapat membawa manfaat banyak, khususnya kepada para mahasiswa yang kelak akan penerus bangsa di masa depan. Semoga saya bisa kembali ke UNILA untuk mengadakan diskusi lagi dengan Suara Kebebasan, serta juga dapat mengadakan berbagai acara Suara Kebebasan di banyak kampus lain di tanah air dengan beragam topik yang berbeda-beda. Salam kebebasan!