Hak kepemilikan adalah hak yang terkait dengan properti yang menjadikan sesuatu barang yang menjadi “kepunyaan seseorang” baik pribadi maupun kelompok, menjamin si pemilik atas haknya untuk melakukan segala suatu terhadap properti sesuai dengan kehendaknya, baik untuk menggunakannya ataupun tidak menggunakannya, dan untuk mengalihkan hak kepemilikannya.
Namun, gagasan mengenai hak kepemilikan seringkali menjadi isu yang sangat sensitif di Indonesia. Misalnya, ketika berkaitan dengan kepentingan negara atau atas dasar kepentingan umum. Tidak sedikit perdebatan pro dan kontra yang muncul bagaimana seharusnya negara melihat hak kepemilikan tersebut. Banyak kasus terkait hak kepemilikan yang juga masih berpolemik di negeri ini dan menimbulkan konflik antara warga dengan pemerintah dan penegak hukum, maupun pelaku usaha.
Lantas, bagaimanakah sejarah hak kepemilikan di Indonesia selama ini? Apakah hak kepemilikan itu adalah hak yang dapat diambil alih? Bagaimana idealnya menjamin hak kepemilikan? Dan bagaimana peran dan fungsi negara dalam melindungi dan menjamin hak kepemilikan?
Suara Kebebasan membahas hal tersebut dalam “Liberty Talks” Instagram Live Series, dengan topik “Hak Kepemilikan”, Selasa, (22/2/2022). Diskusi ini menghadirkan Peneliti Edushallman, Wiranto Tri Setiawan.
Wiranto pada awal diskusi mengemukakan bahwa banyak kalangan melihat bahwa hak kepemilikan merupakan hak benda an sich, meskipun sebetulnya pemanfaatannya lebih dari itu. Hak kepemilikan pada dasarnya adalah hak untuk mengambil, mengakses, dan memiliki manfaat terkait sumberdaya apapun terhadap benda tersebut. Hak kepemilikan harus dihormati, dilindungi dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
Ia mengungkapkan bahwa hak kepemilikan menjadi isu yang sangat penting dalam konsep individu. John Locke menyebutkan bahwa individu oleh alam dikaruniai hak yang melekat atas hidup (hak hidup), kebebasan (hak kebebasan), dan kepemilikan (hak kepemilikan) yang tidak dapat dicabut oleh negara.
Locke membingkai hal ini ketika menyampaikan terkait dengan natural rights. Natural rights adalah hak-hak yang tidak bergantung pada hukum atau kebiasaan budaya atau pemerintahan tertentu, dan dengan demikian bersifat universal, fundamental, dan tidak dapat dicabut. Hak ini bersifat tidak dapat dicabut oleh hukum manusia.
Filsuf Inggris abad ke-7 John Locke membahas hal tersebut dalam karyanya, Two Treaties on Civil Goverment (1690), dan dan berpendapat bahwa hak-hak dasar seperti itu tidak dapat diabaikan dalam kontrak sosial sebuah negara.
Gagasan Locke pun bukan gagasan pertama. Dalam tradisi filsafat Yunani pun, istilah kepemilikan sudah dibicarakan oleh Plato dan Aristoteles. Pun hingga saat ini, telah banyak teori kepemilikian yang berkembang yang pada dasarnya dikategorikan menjadi rezim, yaitu individu, sosial, kepemilikan oleh negara, dan akses terbuka.
Aspek pengaturan hak kepemilikan sebetulnya sudah ada sejak pra kemerdekaan. Pemerintahan Hindia-Belanda melakukan pengaturan aspek hak kepemilikan sebagai penunjang untuk mendorong industri pada saat itu. Oleh karena itu, regulasi yang diatur menunjukkan ada aspek-aspek pertarungan antara pengelolaan untuk kepentingan swasta dan monopoli hak kepemilikan untuk bisnis yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda.
Wiranto juga mengkritisi permasalahan dalam instrumen hukum di Indonesia yang bukan saja masih bernuansa kolonial dan belum sesuai dengan konteks saat ini, serta belum memasukkan definisi kepentingan umum terkait hak kepemilikan. Wiranto menjelaskan bahwa aspek hak kepemilikan yang lebih bernuansa negara muncul, meskipun demikian juga turut muncul pandangan bahwa negara harus mengurangi dan bahkan menolak agar tidak boleh mengintervensi hak rakyat, khususnya untuk menguasai sumber daya yang mereka miliki. Hal itu sebetulnya diikuti dengan munculnya dorongan untuk membuat RUU khusus untuk memaksimalkan hak kepemilikan. Regulasi tersebut mengatur bagaimana individu atau kelompok untuk mengambil manfaat dari hak kepemilikan. Aturan ini kemudian disahkan dan menjadi lokomotif bagi perkembangan dunia swasta seiring dengan majunya dunia perkebunan pada kala itu.
Pasca kemerdekaan, pemerintah turut mangakomodir aturan ini. Walaupun demikian, munculnya dinamika politik ekonomi yang berkembang pada saat itu menunjukkan bahwa berlindungnya negara dengan Pasal 33 UUD 1945 menjadikan rezim menafsirkan secara negara-sentris di mana bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara. Pasal ini menjadi stimulan bagaimana rezim pada saat itu mendorong bagaimana negara memiliki peran yang sangat besar atas hak kepemilikan. Hak kepemilikan dibatasi, dan negara memiliki peran yang sangat luas dalam praktiknya. Hal itu tampak dalam Orde Lama.
Rezim Orde Baru juga menunjukkan hal yang sebetulnya tidak jauh berbeda, walaupun berbeda dalam aspek pemanfaatannya. Periode ini banyak muncul regulasi-regulasi hukum di mana negara kuat dalam aspek hak kepemilikan untuk kepentingan perekonomian di Indonesia. Produk-produk hukum sektoral banyak mengatur tentang hak kepemilikan oleh negara untuk kepentingan ekonomi negara.
Pasca reformasi pun menunjukkan tidak banyak terjadi perubahan instrumen produk hukum, seperti UU Penanaman Modal Dalam Negeri, UU Pokok Agraria (UU PA), dan beberapa peraturan turunan lainnya masih menjadi landasan terkait hak kepemilikan. Belum ada aturan khusus terkait hak kepemilikan, sehingga aturan lama masih berlaku.
Meskipun demikian, Wiranto menegaskan semangat hak kepemilikan yang diatur UU PA sudah baik. Negara harus melindungi hak individu dan memberikan hak untuk memanfaatkan hak kepemilikannya. Caranya adalah dengan negara memberikan legalitas kepemilikan sah, hak mengelola, dan jaminan terhadap hak kepemilikan. Perlu dicatat bahwa dalam proses pemindahan hak kepemilikan berlaku konsep kontrak perjanjian antara individu-individu, negara tidak boleh intervensi.
Namun, dalam pasal UU PA yang juga mengatur aspek berkaitan dengan kepentingan umum yang hingga saat ini juga seringkali menjadikan pro dan kontra. Negara dapat mengambil alih hak kepemilikan individu. Konsep ini menimbulkan ambiguitas di mana ada dua kepentingan yang sangat berbeda, mengingat terdapat regulasi hak kepemilikan dan instrumen khususnya.
Negara sering sekali negara mengambil alih momentum pengambilalihan hak kepemilikan dengan dalih kepentingan umum. Beberapa regulasi hukum, seperti UU, Kepres, dan peraturan perundang-undangan lainnya banyak memberikan kewenangan itu. Misalnya, pengaturan tentang pengadaan tanah. Wiranto bahkan degan tegas mengkritik bahwa penjelasan mengenai kepentingan umum juga belum terakomodasi dalam aspek definitifnya secara hukum. Hanya bentuknya saja, misal jalan tol, rumah sakit, dan lainnya. Hal itu tentu tidak bisa menjelaskan apakah itu kepentingan umum. Perlu sebuah kajian bagaimanakah kepentingan umum dijabarkan lebih jelas, misal kepentingan ekonomi.
Peran serta negara dalam konteks kepentingan umum bukan hal yang baru, namun tidak boleh dilakukan sewenang-wenang dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Misalnya, bagaimanakah instrumen perizinan dan hak warga dipastikan terjamin. Perlu penegasan aspek pengaturan HAM dan memaksimalkan regulasi terkait hak kepemilikan yang memastikan proses perlindungan individu terjamin, misalnya terkait musyawarah ganti rugi, sehingga para pihak secara sadar melakukan transaksi terkait hak kepemilikan dengan itikad baik dan menjamin hak kepemilikan.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.