Cerita Diskusi IG Live Series “Liberty Talks” Tentang Hak Hidup

334

John Locke menyebutkan bahwa individu oleh alam dikaruniai hak yang melekat atas hidup (hak hidup), kebebasan (hak kebebasan), dan kepemilikan (hak kepemilikan) yang tidak dapat dicabut oleh negara. Locke menyebutnya sebagai  natural rights, yaitu adalah hak-hak yang tidak bergantung pada hukum, kebiasaan budaya, atau pemerintahan tertentu, bersifat universal, fundamental, dan tidak dapat dicabut.

Meskipun demikian, hak hidup merupakan isu yang melahirkan pro dan kontra. Hak hidup melahirkan perbedaan pendapat dalam praktiknya di setiap negara. Meskipun beberapa pihak menyatakan bahwa hak hidup merupakan hak yang tidak dapat dicabut, praktik sebaliknya justru terjadi di beberapa negara, termasuk Indonesia. Tidak jarang pengaturan yang menegasikan hak hidup dapat ditemukan dalam hukum positif di Indonesia. Pandangan ini berangkat dari pandangan yang mengatakan bahwa hukum dapat membatasi /mengambil hak tersebut.

Lantas, bagaimanakah sejarah hak hidup? Apakah hak hidup itu adalah hak yang dapat diambil alih? Dan sejauh mana batasan negara  untuk mengatur hak hidup tanpa merampasnya dari individu? Bagaimana seharusnya hak hidup dihargai, dijamin, dan dilindungi?

Suara Kebebasan membahas hal tersebut dalam “Liberty Talks” IG Live Series yang berjudul “Hak Hidup”, Selasa (15/3). Diskusi ini menghadirkan Direktur Eksekutif Public Policy and Law Studies Centre, Farco Siswiyanto Raharjo.

Farco memulai membicarakan konsep hak hidup di atas berasal dari filsuf Inggris, John Locke, yang membahas hal tersebut dalam karyanya, Two Treaties on Civil Goverment (1690), dan berpendapat bahwa hak-hak dasar adalah hak yang sangat fundamental. Locke membingkai hal ini ketika menyampaikan terkait dengan natural rights. Natural rights adalah hak-hak yang tidak bergantung pada hukum atau kebiasaan budaya atau pemerintahan tertentu, dan dengan demikian bersifat universal, fundamental, dan tidak dapat dicabut. Hak ini bersifat tidak dapat dicabut oleh hukum manusia.

Secara konstruksi, teori ini menjelaskan bahwa manusia itu memiliki kesadaran alamiah untuk hidup sederajat. Kesadaran ini adalah untuk hidup bebas dan termasuk didalamnya adalah bebas dari segala hal termasuk intervensi negara.

Farco juga menggarisbawahi bahwa seringkali pemahaman hak hidup pada saat ini masih belum tepat. Hak hidup pada hakikatnya sangat luas, tidak hanya hak hidup secara terminologis an sich, melainkan aspek-aspek berkaitan dengan kelangsungan hidup, tidak mendapat intimidasi, dan hak kemerdekaan hidup juga merupakan bagian dari hak hidup. Farco secara gamblang juga menyinggung aspek perbudakan dan hak hidup. Bahkan, ketika berbicara aspek perbudakan saja juga memiliki relasi sedikit banyak dengan hak hidup. Mengingat ada aspek martabat dan persamaan yang perlu diperhatikan.

Oleh karena itu, ketika berbicara hak hidup akan memiliki banyak sub bagian yang akan diperbincangkan. Banyak sudut pandang terkait hak hidup, maka berbicara mengenai hal tersebut penting untuk melihat dari konteks yang tepat.

Sudut pandang yang mengakibatkan banyak pandangan, bahkan menjadi pro dan kontra terkait hak hidup ini melahirkan berbagai macam teori dan bahkan aliran yang mengikutinya. Misalnya, ketika mengaitkan hak hidup dan hukuman mati yang masih diterapkan saat ini di berbagai negara. Farco menjelaskan bahwa ada sejarah yang melatarbelakanginya.

Misalnya, sejarah panjang pada masa Babylonia dan sejarah pada zaman Raja Hamurabi di mana pada waktu itu menetapkan undang-undang dengan mengatur 25 macam kejahatan yang mendapatkan sanksi hukuman mati. Jenis hukuman mati pada waktu itu bahkan terbilang sangat kejam di mana setiap orang yang bersalah bisa dikubur, disalib, dirajam, diinjak oleh gajah, dicambuk, dipancung, dan seterusnya.

Sejarah itu kemudian mendapatkan kritik di zaman setelahnya. Khususnya, pasca munculnya pemikiran filsuf pada abad ke-18 yang mencetuskan teori-teori yang melatarbelakangi konsep lahirnya hak asasi manusia, termasuk didalamnya adalah John Locke. Berawal dari itu pula, pro dan kontra terhadap hak hidup menjadi lebih kentara.

Selain itu, munculnya Magna Charta mengakomodir kebebasan dan hak asasi manusia. Hal ini menjadi titik balik sekaligus menjadi pendorong terhadap lahirnya gagasan-gagasan baru terhadap aspek perlindungan hak dasar manusia, termasuk didalamnya adalah hak hidup.

Hal ini kemudian pada akhirnya memengaruhi banyak perspektif sekaligus memunculkan pro dan kontra terkait hak hidup. Lantas, hukuman mati pada beberapa pandangan kalangan akhirnya dinilai tidak tepat, karena hak hidup adalah hak dasar yang tidak bisa dicampuri karena hak–hak yang secara kodrati ini merupakan pemberian yang diberikan oleh Tuhan  kepada individu yang tidak dapat dicampuri.

Bagaimana dengan hukuman mati di Indonesia? Farco menjelaskan bahwa di Indonesia pun berangkat dari sebuah sejarah kolonialisme. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari warisan hukum yang dipengaruhi pada waktu itu. Pada era Daendels hukuman mati diberikan untuk menutup celah dan membungkam pemberontakan di masa itu. Pada masa penjajahan, hukuman mati merupakan salah satu instrumen untuk menjaga stabilitas. Hukuman mati pun bahkan terus menjadi ancaman di era tahun 50an awal. Pada masa era orde baru, hukuman mati terus dilakukan untuk menjaga pelaksanaan pembangunan di kala itu.

Sampai sekarang, produk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur aspek hukuman mati dipengaruhi oleh warisan hukum Belanda di masa lalu. Maka, membicarakan hukuman mati di Indonesia sama dengan membicarakan hukum yang sejatinya masih merupakan warisan hukum Belanda di masa lalu.

Meskipun demikian, konstitusi menjelaskan bahwa hak hidup memiliki tempat yang harus dihormati. Persoalan bagaimana hukum positif di Indonesia masih mengatur hukuman mati tidak bisa dilepaskan dari sejarah, sosio-politik, dan hukum yang ada sejak dahulu. Konstruksi itulah yang kemudian membentuk aspek pengaturan hukum positif di Indonesia yang mana pengaturan hak-hak dasar perlu didasari oleh norma dan termasuk di dalamnya berkaitan dengan “pro dan kontra.”

Salah satu contohnya adalah UU  Narkotika, mengingat aspek hukuman mati yang diatur dalam undang-undang tersebut. Negara melihat bahwa hal ini berhubungan dengan extra ordinary crime. Pemerintah giat-giatnya melakukan penegakan hukum terhadap peredaran narkotika, termasuk dengan alasan Indonesia bukan hanya negara transit tapi tujuan. Farco menjelaskan bahwa itu adalah dilematis dan perlu melihat kasus masing-masing, termasuk apakah penerapan hukuman tersebut efektif dalam memberantas tindakan penyebaran narkoba di Indonesia.

Farco menjelaskan bahwa pada dasarnya Indonesia adalah negara hukum ‘rechstaat,’ bukan berbasis pada kekuasaan. Konstitusi Indonesia mengakomodasi hak asasi manusia, hal ini tercermin dalam Pasal 28 hingga Pasal 31 Undang-undang Dasar 1945. Namun demikian, akomodasi HAM tidak boleh hanya teksnya saja, tetapi kebijakan juga harus mendorong para pemangku kepentingan untuk mewujudkan cita-cita hak hidup itu sendiri.

Farco meminjam istilah konflik horizontal dan vertikal terkait penguasaan tanah. Fakta menunjukkan bahwa ada masalah. Masyarakat pada dasarnya merasa bahwa hak mereka tidak diakomodasi. Begitupun desain hukumnya sangat bagus, namun seringkali pelaksanaannya tidak sesuai. Hal ini merupakan hasil teropongan untuk melihat kasus-kasus yang ada dibutuhkan kejelian dalam penegakan hukum tanpa melanggar hak asasi manusia.

Farco menyimpulkan bahwa pada dasarnya: Pertama, setiap manusia secara kodrati memiliki hak hidup yang harus harus dihormati. Kedua, dalam setiap penyusunan regulasi harus memperhatikan aspek-aspek hak asasi. Ketiga, jangan sampai hak hidup semakin rentan dan dilanggar dengan berbagai peristiwa yang terus terjadi hingga saat ini.