Isu pernikahan beda agama sudah lama menjadi masalah yang krusial untuk dikaji, karena masalah ini terus menjadi polemik, dan masih sering terjadi teruma di masyarakat yang hidup berdampingan dalam konteks keberagaman.
Tidak terkecuali di Indonesia, hal ini menjadi perdebatan yang cukup panjang. Terakhir, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pemohon untuk melegalkan pernikahan beda agama.
Putusan tersebut menjelaskan bahwa MK menolak permohonan masyarakat untuk seluruhnya terkait dengan pernikahan beda agama.
Lantas, apakah putusan MK tepat dalam konteks masyarakat yang beragam di Indonesia dan di masa kini? Bagaimana melihat isu kebebasan individu dan keberagaman dalam perspektif HAM terkait hal ini? Bagaimana sebaiknya menyikapi polemik putusan MK tersebut? Dan, bagaimana idealnya kebijakan terkait pernikahan beda agama, dengan tetap menghargai hal ini sebagai kebebasan individu dan hal privat.
Membahas hal tersebut, Suara Kebebasan telah menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan edisi kolaborasi spesial dengan Yayasan Mulia Raya, pada hari Jumat, (10/2), dengan topik “Pasca Putusan MK Tentang Pernikahan Beda Agama. Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA (Pendiri Yayasan Mulia Raya).
Dalam membuka materinya, Prof Musdah heran mengapa Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2022 lalu menolak permohonan pernikahan beda agama. Sebelumnya, pada tahun 2014, MK juga melakukan penolakan serupa dengan dalih bahwa pernikahan beda agama tidak mencapai tujuan perkawinan. Musdah menjawab bahwa tujuan perkawinan setiap individu tentu mempunyai motif yang berbeda, bukan hanya didasari pada agama. Apalagi jika melihat hak individu dan gencarnya program moderasi beragama, seharusnya kita bisa berpikir lebih maju kedepan dan inklusif.
Pernikahan yang didasari pada cinta takkan melihat perbedaan. Seorang yang saling mencintai tentu memiliki sudut pandang inklusif dan terbuka pada pasangannya masing-masing. Pemateri juga menjelaskan bahwa putusan MK yang tertulis dalam No.20/PUU-XX/2022 mengabaikan masukan dari berbagai pihak, baik Komnas perempuan dan kelompok moderat lainnya.
Musdah Mulia berharap bahwa dengan regulasi Pernikahan beda agama yang disahkan, konstitusi dan konstruksi hukum kita secara bertahap bisa lebih toleran dan mengedepankan hak asasi manusia.
Meskipun legalisasi pernikahan beda agama belum disahkan, namun realita sosialnya, masih banyak masyarakat kita yang mempraktekkan pernikahan beda agama. Contohnya, pada tahun 1980, terdapat 11.391 pasangan beda agama (PBA) dari 1.221.155 pasangan menikah di Indonesia. Ini artinya ada 9 PBA dari 1.000 pasangan yang menikah.
Data ini muncul dari wawancara langsung petugas BPS ketika menghimpun data kependudukan. Selanjutnya, tahun 1990 jumlah tersebut meningkat menjadi 22 ribuan pasangan dari 1.680.000 pasangan menikah. Artinya, ada 11 PBA dari tiap 1.000 pasangan menikah. Hal ini kemudian berlanjut pada tahun 2000, yang jumlahnya naik lagi di mana terdapat 173.000 PBA dan 49 juta warga yang menikah. Hal ini begitu juga terlihat pada tahun 2010, jumlahnya terus naik dan menjadi 233.000 PBA. Hal ini merupakan bukti bahwa banyak orang di luar sana yang berpandangan terbuka. Mereka yakin bahwa dalam urusan cinta, agama bukan menjadi halangan.
Memang banyak sekali kaum konservatif yang melarang pernikahan beda agama. Namun jika kita melihat pada pandangan para ulama terdahulu dan para penafsir, ada beberapa ulama yang menghalalkan nikah beda agama. Pelarangan nikah beda agama sebenarnya adalah fenomena politik agar jumlah populasi pemeluk agamanya berkembang, tapi dalam literatur agama (khususnya Islam) kebolehan itu tertera dalam Al Qur’an, misalnya: “(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [al-Maidah/5: 5].
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (7/99) menuliskan, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kehalalan (menikahi) ahli kitab (Non Muslim). Di antara sahabat yang meriwayatkan hal itu adalah Umar, Utsman, Hudzaifah, Salman, Jabir, Talhah dan yang lainnya. Ibnu Munzir berkata, bahwa “tidak ada dari kalangan generasi pertama yang mengharamkan hal itu.”
Ulama asal Arab Saudi, Syekh Ibn Baz tampak lebih hati-hati dalam mengeluarkan fatwa untuk urusan ini. Menurutnya, jika ahli kitab (Non Muslim) tersebut mampu menjaga kehormatan dirinya dan jauh dari jalan keburukan, diperbolehkan menikahinya. Itu disebabkan Allah memang membolehkan hal tersebut.
Melihat hal di atas, para penafsir agama Islam sendiri yang notabene adalah ulama yang mumpuni dan terpercaya, membolehkan hal itu. Namun beberapa kalangan konservatif di Indonesia cenderung menolaknya dan pandangan subjektif kaum konservatif ini yang diambil sebagai rujukan.
Ini yang disayangkan oleh Prof Musdah Mulia, padahal MK harusnya melihat dari berbagai penafsiran dan secara independen menijaunya. Apalagi kita hidup di negara Pancasila yang menghargai keberagaman.
***
Pada sesi diskusi, banyak peserta yang secara tidak langsung menyampaikan isi hati dan pengalamannya, salah satunya adalah peserta yang disapa Pak Engkus, ia membagikan pengalaman anaknya yang diperlakukan tidak adil. Anaknya dan pasangannya memilih untuk mengikat perkawinan, namun hal itu dipersulit oleh pengadilan. Menurutnya, undang-undang perkawinan juga perlu dikaji lagi terkait pelayanan-pelayanan terhadap masyarakatnya karena pelarangan tersebut cenderung membuat diskriminasi sosial terhadap sebagian orang di masyarakat. Ia juga merekomendasikan revisi UU Perkawinan harus diarahkan pada kenyataan bahwa perkawinan adalah peristiwa sipil sehingga setiap agama apapun diperlakukan secara layak dan adil sebagai warna negara.
Dalam sela-sela diskusi, ada peserta yang mengajukan pertanyaan, kenapa hanya di Indonesia pernikahan beda agama dilarang, tetapi di negara Islam pun juga ada yang memperbolehkan pernikahan beda agama? Musdah Mulia menjawab bahwa di beberapa masyarakat yang mayoritas Islam seperti Turki dan Albania bahkan mengizinkan masyarakatnya untuk menjalani pernikahan meski berbeda agama. Negara tersebut berpandangan bahwa agama bukan halangan untuk dua insan yang saling mencintai dan menjalankan kehidupan sebagai keluarga yang normal. Hanya di Indonesia saja yang masih cenderung konservatif, karena literasi agama yang mungkin kurang terbuka dan kecenderungan konservatifisme yang cukup ironis.
Ilma Sovi, salah satu peserta, menanggapi bagaimana masyarakat belum mengerti sepenuhnya makna dari pernikahan beda agama. Padahal, sudah banyak anak yang dihasilkan dari pasangan beda agama dan ini turut berdampak pada lingkungan sosialnya. Pada akhirnya, upaya penggiatan literasi keagamaan seperti yang sudah dikatakan oleh Prof Musdah dan toleransi sesama sangat dibutuhkan dalam menghargai setiap pilihan masyarakat dalam pilihan hidupnya, yaitu dalam konteks pernikahan. Upaya penguatan literasi keagamaan bagi setiap elemen masyarakat (baik itu pemerintah dan warga sipil itu sendiri) sangat penting untuk digalakkan agar kebebasan tetap bisa diperjuangkan dengan memperhatikan hak asasi di setiap sendi-sendi kehidupannya.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com