Jika dilihat dari sejarah manusia (Homo Sapiens), kira-kira sudah 500.000 tahun kita telah menginjakkan kaki di bumi dan telah mewarnai kehidupan. Ya, selama ribuan tahun manusia telah berkarya dan berevolusi sehingga spesies kita menjadi lebih maju dibanding makhluk hidup lainnya. Dan kini kita seudah memasuki sebuah era baru, yaitu abad 21.
Tidak pernah dalam sejarah umat manusia, kita mengalami kemajuan dan peradaban sepesat ini. Di abad 21 ini, komunikasi menjadi sangat mudah dan arus informasi mengalir 1000 kalilebih cepat ketimbang 2 abad yang lampau. Di abad ini pula, kita merasa dimudahkan dengan perkembangan tekhnologi yang begitu canggih. Mungkin nenek moyang kita, Homo Habilis, akan kaget, bahwa kedua tangan yang mereka gunakan untuk menggunakan perkakas (yaitu batu dan kayu), telah merubah secara fundamental kehidupan manusia setelahnya, menjadi pencipta perkakas.
Sayangnya kemajuan tersebut bukan tanpa “tapi.” Kemajuan peradaban modern yang disinari oleh semangat Pencerahan di masa yang lampau, banyak dikhawatirkan orang-orang, bahkan oleh orang-orang dari kalangan intelektual! Mereka skeptis terhadap masa depan manusia di abad 21 bahkan seterusnya. Mereka khawatir bahwa perkembangan peradaban dan budaya manusia saat ini justru akan menggali lubang kematiannya sendiri. Ambil contohlah, kaum skeptis itu, seperti Thomas Piketty, Yuval Noah Harari, bahkan ilmuwan seperti Stephen Hawking.
Adanya rasa pesimisme dan juga skeptisisme terhadap kebudayaan modern, seperti kemajuan teknologi, demokrasi, dan kebebasan yang diwariskan oleh para “bapak pencerahan”, seperti David Hume, John Locke, Immanuel Kant, Adam Smith, dan Voltaire, juga membuat Suara Kebebasan tertarik untuk menjadikannya sebagai topik diskusi di Forum Kebebasan (ForKes) pertama di tahun 2020 ini..
Kekhawatiran mengenai masa depan abad 21 tentu menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan dan juga diperbincangkan secara lebih serius. Dan pada l 28 Februari 2020, Suara Kebebasan- Yayasan Kebebasan Indonesia berkolaborasi dengan Network Plus, dan dengan dukungan Atlas Network, menyelenggarakan ForKes dengan tema: “Pencerahan di Abad 21: Apakah Dunia Makin Membaik?”, yang membedah isi buku Enlightenment Now, karya seorang psikolog ternama, Steven Pinker.
Dalam diskusi kali ini, Suara Kebebasan mengundang tamu spesial sebagai narasumber utama, yaitu Rizal Mallarangeng, Co-founder Freedom Institute, sekaligus seorang cendekiawan yang konsisten menyuarakan kebebasan dan demokrasi di Indonesia. Karya-karya beliau seperti Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992, Dari langit: Kumpulan Esai tentang Manusia, dan juga Dari Jokowi ke Hararri, sangat berpengaruh dan menyiratkan optimisme terhadap masa depan demokrasi dan kebebasan.
Buku yang terakhir, yaitu Dari Jokowi ke Harari, sekilas juga membahas secara singkat tema yang dikaji dalam diskusi ini, yaitu mengenai masa depan pencerahan di abad 21, dimana.Beliau mencoba meresensi buku Enlightenment Now karya Steven Pinker mengenai masa depan cita-cita pencerahan di abad 21.
Cita-cita pencerahan yang diusung oleh para filsuf abad ke-18 adalah cita-cita kemajuan manusia yang menjunjung tinggi semangat rasionalitas. Jika kita membuka sejarah pemikiran, era pencerahan (dalam bahasa Jerman: Aufklarung) adalah kelanjutan dari semangat renaisance (kehidupan kembali) yang memiliki semangat “pembebasan” manusia dari mitos dan juga pengkerdilan akal budi oleh dogma kaku.
Peradaban kita yang kita nikmati dan amati saat ini, adalah kelanjutan dari semangat pencerahan tersebut. Kebebasan dan juga rasionalitas yang merupakan inti dari semangat pencerahan (aufklarung) lah yang kemudian menyinari peradaban dan kebudayaan manusia hingga detik ini.
Sebagaimana yang diutarakan di atas, banyak para pengamat yang merasa skeptis dengan masa depan peradaban kita. Dalam pemaparannya, Rizal Mallarangeng menyebut modernitas diserang dari berbagai arah, kiri dan kanan. Rasa skeptis dan pesimistik terhadap kemajuan, diutarakan oleh kaum fundamentalisme agama dan kaum revolusioner kiri (komunisme dan sosialisme) yang menganggap bahwa di era modern ini, manusia mengalami kemunduran sehingga mereka menyusun konsepsi mengenai cita-cita dan visi dunia tersendiri.
Namun, kritik terhadap kemajuan tersebut bukan hanya diutarakan oleh kaum fundamentalisdan populis, bahkan kaum intelektual seperti Yuval Noah Harari dan Thomas Piketty. Bahkan, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, justru merasa perkembangan manusia di abad 21 mengarah pada penyimpangan dan kekeliruan.
Amerika Serikat sebagai negara yang terdepan dalam menjaga cita-cita pencerahan, seyogyanya turut menjaga optimisme terhadap kemodernan tersebut. Namun, Donald Trump dalam berbagai pidatonya justru mengkritik berbagai hasil dari kemajuan modern bahkan mengecamnya sebagai suatu kemunduran.
Rasa pesimistik terhadap ide pencerahan dan juga masa depan manusia yang selalu berulang-ulang dikemukakan oleh kaum populis, merupakan hal yang berbahaya. Sebab, jika dibiarkan tanpa pembelaan, lambat laun orang akan tak percaya terhadap modernitas, akal budi, pengetahuan, dan kemampuan manusia untuk maju. Dengan demikian, harus ada pembelaan sekali lagi terhadap ide-ide dasar pencerahan. Dan itu dilakukan oleh Steven Pinker melalui karyanya yang terbit tahun 2018.
Rizal Mallarangeng mengemukakan pandangan Pinker dalam karyanya, bahwa kemakmuran dunia telah berlipat 200 kali, dan kemiskinan ekstrim berkurang dari 90 persen menjadi 10 persen. Dan sekarang, baik di Eropa, Amerika, Asia, termasuk di Indonesia, harapan hidup manusia menjadi meningkat. Ini ditandai bahwa umur manusia rata-rata bisa mencapai 70 tahun. Sedangkan di era Pencerahan, rata-rata harapan hidup manusia hanya mencapai usia 30-40 tahun.
Harusnya, jika kita ingin melihat sejauh mana kemajuan peradaban manusia, kita perlu dan mau melihat apa yang sudah dicapai oleh manusia dengan akal budinya. Kita lihat sekarang, perkembangan tekhnologi berkembang begitu pesat, transportasi dan infrastruktur buatan manusia jelas lebih baik dan lebih cepat ketimbang dua atau tiga abad yang lampau. Asupan gizi makin baik dan musibah kelaparan dapat dihindari.
Bahkan, Rizal mengemukakan fakta, bahwa 800.000 orang akhir-akhir ini mati karena obesitas atau terlalu kebanyakan makan, bukan karena kelaparan. Ini adalah bukti bahwa manusia di era modern ini lebih sejahtera. Jadi apakah tuduhan mereka-mereka yang skeptis terhadap kemodernan itu benar? Apakah benar bahwa peradaban modern semakin hari semakin menuju “kebangkrutan”?
Padahal kalau kita melihat fakta, para raja abad 18, di istana mereka tidak memiliki toilet. Namun, di zaman sekarang, orang Amerika paling miskin pun memiliki toilet bersih bahkan mesin cuci. Orang kelas pekerja di Indonesia pun memiliki kendaraan (minimal sepeda motor). Apakah ini bukan sebuah bukti bahwa semakin peradaban berkembang dan kualitas hidup manusia semakin maju?
Dengan adanya kendaraan bermotor, smartphone, internet, kebebasan berbicara, demokrasi, dan juga pendidikan yang layak bagi perempuan. Hal ini juga mencerminkan peradaban yang lahir dari akal budi manusia di abad ini dan membuktikan bahwa harkat hidup kita semakin baik. Memang ada kritikan dari Yuval Noah Harari yang disampaikan oleh Rizal, mengenai angka bunuh diri yang makin tinggi karena makin banyak manusia modern yang tidak bahagia.
Menurut Pinker, kebahagiaan dan depresi adalah hal yang bersifat abstrak, sebab ukuran ideal manusia tentang kebahagiaan berbeda-beda. Karena itulah, tingginya angka kematian karena bunuh diri mungkin karena paradigma atau asumsi mereka mengenai kehidupan yang salah. Setiap manusia memiliki makna, dan makna-makna itu yang membentuk tujuan dan visi untuk manusia hidup.
Jika manusia memiliki konsepsi hidup yang salah, bahkan ia kehilangan makna hidupnya, mungkin ini yang membuat manusia bunuh diri. Kemajuan dan ide pencerahan, tentunya tidak bisa mencegah manusia dari bunuh diri dengan mendikte ukuran kebahagiaan bagi setiap orang.
Uraian Rizal Mallarangeng tentang optimisme yang dikemukakan Pinker terhadap masa dapan manusia, dan dorongan agar manusia kembali kepada semangat pencerahan, telah membalik cara berpikir orang-orang populis dan para cendekiawan yang selama ini melihat kemajuan manusia dari segi negatif.
Walaupun Pinker telah mengemukakan bahwa pembelaannya terhadap pencerahan, modernitas, serta menyodorkan bukti-bukti keberhasilan akal budi, namun bukan berarti kritik-kritik itu berhenti. Sama seperti gagasan manusia yang tidak mengenal titik akhir, serupa dengan evolusi manusia yang terus terjadi, adu gagasan dan argumen, pemikiran falsafah dan pemikiran keagamaan, akan selalu ada dan akan selalu menjadi polemik.
Bukan berarti, skeptisisme terhadap kemajuan itu tidak boleh. Terkadang, kritik tersebut bisa menjadi pendorong yang baik, dengan catatan bahwa kita jangan mengabaikan pencapaian-pencapaian yang telah kita rasakan saat ini. Dengan memadukan kritik yang membangun dan semangat optimisme, tentu kita dapat membangun masa depan yang 100 kali bahkan 200 kali lebih baik dari saat ini.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com