Kasus Mahsa Amini yang akhir-akhir ini terjadi di Iran melahirkan sebuah gejolak perlawanan yang didasari akan kecaman terhadap tindak opresif yang dilakukan oleh polisi moral setempat.
Perlawanan ini hadir di sejumlah negara melalui gelombang aksi yang diorganisir oleh kelompok-kelompok aktivis, beberapa diantaranya hadiri di Inggris, Jerman, Prancis, dan berbagai negara lainnya yang turut mengecam tindak opresif yang dilakukan.
Pasalnya, penangkapan Mahsa Amini yang berujung maut dilakukan oleh polisi moral Iran (Gasht-e Ershad) hanya karena tidak menggunakan jilbab sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Iran. Penangkapan ini sertai dengan tindak kekerasan fatal yang mengakibatkan meninggalnya Mahsa Amini beberapa hari setelah ditangkap.
Sejumlah ahli dan publik mengecam tindak kesewenangan ini sebagaimana hal ini diduduki sebagai suatu pencederaan dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjamin kebebasan berekspresi tiap-tiap individu, termasuk dalam kebebasan berpakaian sebagai hak paling dasar manusia tanpa terkecuali. Utamanya dalam perspektif menilik hukum yang diterapkan di Iran mengenai Undang Undang tentang Berpakaian, kebijakan tersebut kembali menuai kritik yang sangat besar dari seluruh kancah dunia.
Pasalnya, pada hakikatnya hukum ditegakkan untuk menciptakan suatu ketentraman, perlindungan dan keteraturan bagi masyarakat dan negara yang terlibat. Sebaliknya, dalam kasus ini, penegakan hukum yang diterapkan justru menghadirkan korban jiwa melalui tindak perenggutan dan pencederaan terhadap hak alamiah yang dimiliki olehnya.
Terkait dengan hal tersebut, Students For Liberty (SFL) Indonesia sebagai organisasi nirlaba internasional yang mendukung gerakan tentang ide-ide kebebasan, hak individu, kebebasan fundamental, toleransi, serta gagasan hingga supremasi hukum, merasa tergerak untuk mendiskusikan hal ini, lewat kolaborasi dengan Suara Kebebasan dan Jakarta Feminist. Forum diskusi yang diselenggarakan via daring ini bertajuk “Belajar dari Mahsa Amini: Mengapa Kebebasan Penting Bagi Umat Manusia” pada hari Sabtu, (29/10).
Acara ini dimoderatori oleh Tomy Aditya Wiguna (Local Coordinator SFL Indonesia) dengan narasumber Yuri Muktia (Training Coordinator Jakarta Feminist) dan Reynaldi Adi Surya selaku Kontributor Suara Kebebasan.
***
Yuri Muktia memaparkan penjelasannya dengan membuka fakta-fakta pembatasan terhadap perempuan di Iran. Dalam lingkungan misoginis dan patriarki di Iran, tentu saja peran perempuan menjadi kelas kedua setelah laki-laki. Konstruksi kebudayaan patriarki tersebut kemudian disakralkan dengan dalil-dalil agama, sehingga Pemerintah Iran seolah memiliki legitimasi religi untuk menekan perempuan dari partisipasi sosialnya, serta lingkungan pergaulannya. Kasus di Iran, yaitu kematian Mahsa Amini yang kemudian diikuti oleh para demonstran lainnya, merupakan tanda bahwa Pemerintah Iran tidak merasa bersalah atas pembunuhan itu. Padahal jika dilihat dari kacamata HAM, jelas tindakan Pemerintah Iran dan polisi moral di sana yang memaksa perempuan berhijab adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Yuri kemudian menjelaskan tentang berbagai konsep HAM yang harus dimiliki oleh perempuan, yaitu hak untuk berpolitik, hak atas tubuhnya sendiri, hak untuk mendapat kesetaraan di mata hukum, dan hak lainnya. Pemerintah Iran dari segi ini sudah mengabaikan patokan HAM tersebut, sehingga menyebabkan meninggalnya Mahsa Amini dan diikuti oleh kemarahan para demonstran muda terhadap Pemerintah Iran.
Setelah menjelaskan pemaparannya, moderator kemudian memberi kesempatan ke pemateri kedua. Reynaldi menjelaskan mengenai soal jilbab dalam sudut pandang beberapa teolog muslim kontemporer. Para teolog kontemporer seperti Muhammad Syahrur, Ali Asghar Engeneer, bahkan Nurcholish Madjid, berpendapat bahwa berhijab adalah sebuah budaya yang bukan kewajiban agama. Menurut mereka, aurat adalah batas kesopanan dan kepantasan berpakaian di masyarakat.
Namun terlepas dari perkara teologi, Reynaldi mengkritik penuh sikap Pemerintah Iran yang abai dan diam terhadap tekanan demonstran. Bahkan, Pemerintah Iran dengan kejam menindas para demonstran. Ia sangat menyayangkan bagaimana bisa selembar kain buatan manusia lebih mahal dari selembar nyawa manusia yang diciptakan oleh Tuhan.
Reynaldi juga mengatakan bahwa dalam Islam yang terpenting adalah sikap menjaga diri dan memanajemen hawa nafsu. Jika nafsu tersebut dibiarkan, maka itulah biang bencana, meskipun orang tersebut berhijab.
***
Dalam sesi tanya jawab, beberapa peserta dengan penuh antusias mengajukan pertanyaan. Pertama, apa pentingnya membahas Mahsa Amini dan regulasi hijab di Iran. Pemateri, baik Yuri atau Reynaldi sepakat, bahwa pembahasan mengenai hijab penting untuk dibahas di Indonesia. Sebagai bukti bahwa regulasi hijab dan pemaksaan hijab sama sekali tidak efektif dan tidak memiliki pengaruh apapun, kecuali kontroversi di masyarakat.
Peserta kedua kemudian bertanya bagaimana harusnya sikap negara terhadap agama? Reynaldi menjawab bahwa yang terpenting adalah negara harus netral dari memihak satu agama. Negara harus bisa berlaku adil dan menjadi penengah. Jika satu negara mengadopsi dogma secara subyektif, bisa dikatakan hal itu akan mendatangkan berbagai polemik dan dilema di kemudian hari.
Pertanyaan selanjutnya adalah reformasi hukum di negara-negara Islam. Reynaldi dan Yuri menjawab bahwa kasus Mahsa Amini diharapkan menjadi batu loncatan terhadap Pemerintah Iran agar membangun sebuah negara yang demokratis. Sebab, kekuatan rakyat (demonstran) di Iran sudah sangat hebat dan ditakutkan jika mereka mengabaikan tuntutan para demonstran, kemarahan rakyat semakin besar. Hal ini juga akan memperburuk kepercayaan rakyat pada pemimpin mereka.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com