Selama kurang lebih dua minggu lalu (18 November hingga 4 Desember), Adinda Tenriangke Muchtar, Chief Editor Suara Kebebasan dan Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), berada di Australia dan mendapatkan kesempatan berharga untuk mengikuti kursus singkat yang didukung oleh Pemerintah Australia, dengan tema “Partisipasi Anak Muda dalam Isu-Isu Keadilan Sosial”. Kegiatan yang dikoordinir Prof. Angela Romano dan Vincent Sacriz dari Queensland University of Technology (QUT) ini, diselenggarakan di Brisbane dan Melbourne, dengan menghadirkan para mentor yang mumpuni di bidangnya, yaitu Dr. Fiona Suwana (QUT), dan Anita Wahid (Kandidat Ph.D. Australia National University).
Kursus singkat ini diikuti oleh 25 peserta terpilih dari beragam latar belakang, seperti pemerintah, mahasiswa, aktivis LSM, lembaga penelitian, maupun kampus, dari berbagai daerah di Indonesia, yang bisa dibilang dari Sabang sampai Merauke. Keberagaman ini pulalah yang ikut memperkaya jaringan maupun pengetahuan, serta semangat berkolaborasi di antara para peserta, yang juga ikut berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka soal partisipasi anak muda dalam isu-isu keadilan sosial di Indonesia dengan para narasumber dan jaringan di Australia selama kegiatan tersebut. Berikut cerita dari beberapa sesi kursus singkat yang menarik ini.
Dalam kursus singkat ini, para peserta mendapatkan beragam materi, baik terkait konsep dan teori, maupun praktek dan pengalaman, serta konteks kebijakan di Australia. Topik dasar mengenai keadilan sosial dan ranah ekonomi (tantangan dan kesempatan) yang menjembatani topik tentang social enterprise, menjadi salah satu topik menarik yang menggarisbawahi pentingnya pendekatan market-based activism dalam mempromosikan hak-hak ekonomi dan sosial lewat kolaborasi beragam pihak. Di sesi yang diisi oleh Marcela Lapertosa (Value Learning) dan Tom Allen (Impact Boom) ini, beberapa pelajaran penting adalah: pentingnya membangun kepercayaan dan relasi yang autentik dengan beragam pemangku kepentingan; belajar dari pengalaman sebelumnya; menemukan orang yang tepat untuk ikut bergabung, serta berbagi cerita dan juga angka untuk menunjukkan dampak dari aktivisme yang dilakukan. Di sisi lain, beragam tantangan juga dihadapi oleh social enterprise, seperti pendanaan, kelelahan, pengukuran keberhasilan yang kompleks, sumber daya manusia, dan kurangnya dukungan masyarakat.
Di Australia sendiri, kebijakan terkait dengan anak muda salah satunya termaktub dalam “The Federal Government Youth Policy” (2021), yang diantaranya fokus pada isu-isu seperti pendidikan, ketenagakerjaan, dan mengintegrasikan pandangan anak muda di berbagai lini di pemerintahan. Kebijakan ini dibuat berdasarkan riset dan konsultasi dengan anak muda, di mana The Office for Youth bertanggung jawab dalam urusan tentang anak muda. Selain di tingkat federal, kebijakan yang mengarusutamakan anak muda juga diterapkan di tingkat state (negara bagian). Misalnya, Queensland Government’s Office for Youth, yang memiliki Queensland Youth Engagement Charter (2019), dengan komitmen untuk melibatkan anak muda secara aktif dan memberdayakan dalam proses kebijakan (suara, ide, dan pengalaman). Terkait dengan hal tersebut, Prof. Angela Romano memaparkan tentang prinsip 5R dalam mendorong “Positive Youth Development”, yaitu rights, respect, responsibility, reasoning, dan resilience.
Di sini sangat terlihat betapa proses kebijakan di berbagai level diterapkan secara inklusif dan partisipatif, serta memberdayakan dan melibatkan anak muda secara bermakna. Hal ini penting untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan juga relevan dengan kebutuhan dan kepentingan anak muda. Hal ini juga dapat dilihat dengan keberadaan Youth Advisory Council dengan para advokat yang berasal dari anak muda, yang ikut dilibatkan oleh pemerintah dalam menyuarakan suara dan isu-isu yang terkait dengan anak muda (perubahan iklim, keberagaman, kesehatan mental, tempat tinggal, pekerjaan, dan sebagainya). Anak muda dalam hal ini juga ikut semangat dan kreatif dalam menyuarakan aspirasinya, misalnya melalui blog, tik tok, wawancara di radio, bertemu dengan pembuat kebijakan, kampanye publik, dan lain-lain. Salah satu pembicara, Sarah Krause (Youth Advocacy Center) juga berbagi pengalaman YAC terkait pendidikan hukum kepada masyarakat. Misalnya melalui presentasi, postingan di media sosial, lokakarya, modul daring, video, factsheet, menyediakan ruang nyaman dana man untuk anak muda berbagi, dan lain sebagainya, karena YAC percaya bahwa “knowledge is power”.
Terkait dengan keberagaman, Prof. Angela Romano mengajak peserta untuk mengaudit diri masing-masing dengan mengakui privilese yang dimiliki atau tidak dimiliki. Dalam hal ini, upaya untuk mendorong perubahan perlu dimulai dengan membicarakan pengalaman masing-masing, dan tidak dengan menyalahkan orang lain, serta pentingnya untuk mempertimbangkan konteks dan interseksionalitas. Di sesi ini juga, para pembicara dari organisasi anak muda dari beragam latar belakang ikut berbagi pengalamannya, seperti Katrina Scaramella (Australian Multicultural Foundation), Martika Shakoor (Multicultural Youth Advocacy Network) dan Ratu (member of MYAN). Beberapa catatan dari pengalaman anak muda dalam organisasi yang merawat keberagaman ini adalah: pentingnya memberi peran kepemimpinan kepada anak muda untuk memberdayakan mereka dalam mengadvokasikan isu-isu yang relevan dengan anak muda dan keberagaman; peran anak muda lewat organisasi untuk memberikan informasi dan melakukan aktivisme berbasis data; kontribusi anak muda untuk masyarakat, serta pentingnya berbagi informasi tentang program untuk membuat anak muda tertarik, saling terhubung, dan terlibat dalam beragam kegiatan, termasuk sebagai relawan.
Sesi mengenai relawan juga disampaikan dengan komprehensif dan menarik, serta interaktif oleh Hazel Maynard (Volunteering Victoria). Hazel menyampaikan pentingnya kepemimpinan yang baik untuk mengelola relawan dan kegiatan relawan. Relawan sangat penting dalam beragam lini dan sektor kehidupan, dan relawan mencakup hak dan tanggung jawab. Menjadi relawan adalah tentang menginspirasi orang lain (hati dan pikiran) dan merancang dengan (bukan untuk). Lebih jauh, terkait pengalaman anak muda di isu lingkungan dan perubahan iklim, para peserta mendapatkan pengetahuan menarik dan refleksi pengalaman tentang aktivisme 350.org yang dipaparkan oleh Lucy Manne. Isu ini sangat penting karena perubahan iklim merupakan isu ketidakadilan antar generasi. Isu lingkungan juga dibingkai dalam bentuk cerita dan praktik budaya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Pasifika lewat penggunaan pengetahuan tradisional untuk mendekolonisasi ruang keadilan lingkungan dengan cara mereka, sekaligus melestarikan budaya mereka.
Salah satu sesi yang menarik dan mengingatkan penulis saat belajar tentang studi pembangunan adalah sesi tentang pendekatan media kreatif untuk perubahan sosial, yang disampaikan oleh Jackie Kauli dan Brad Haseman, serta Verena Thomas. Dari sesi ini, beberapa hal menarik yang dipelajari adalah: pentingnya cerita sebagai salah satu cara untuk menciptakan ruang untuk transformasi sosial dan menyediakan ruang untuk pemulihan, serta menantang narasi yang dominan. Cerita juga dapat memperkuat dan mengeksplorasi relasi, dimana cerita dihasilkan lewat proses ko-kreasi, pertimbangan akan ‘positionality’, dan pendekatan kreatif dan relasional yang memberikan ruang aman untuk para peserta berbagi pengalaman dan pengetahuannya, serta membangun kepercayaan. Cerita juga membantu memahami konteks dan pandangan yang beragam dengan lebih baik. Di sesi ini, para peserta belajar tentang mengekspresikan cerita lewat gambar dan narasi, serta ‘role play’ dan membuat puisi yang menggambarkan studi kasus yang digunakan.
Di sesi tentang penggunaan teknologi digital dan ‘storytelling’, Tito Ambyo (RMIT University, Melbourne), juga membahas tentang pentingnya penggunaan metode ini untuk mempengaruhi narasi dan mendorong perubahan sosial. Tito juga berpendapat bahwa jurnalisme yang baik juga perlu menjadi aktivisme yang baik. Beberapa aspek yang penting dalam teknologi digital dan ‘storytelling’: individu, infrastruktur, solidaritas, aksi kolektif, intersektionalitas, ‘human stories’, sederhana, praxis (refleksi dan aksi), serta penggunaan media untuk mendukung gerakan. Biarkan orang-orang menjadi bagian dari gerakan, bahkan lewat perubahan kecil, agar gerakan ini juga berdampak dalam mengubah cara orang-orang membicarakan isu-isu yang ada, termasuk soal keadilan sosial dan partisipasi anak muda.
Topik lain yang juga tidak kalah penting dan perlu untuk terus diasah dan menjadi bahan refleksi dalam aktivisme adalah mengenai networking dan pitching. Sesi yang kreatif, proaktif, interaktif, dan menyenangkan ini dibawakan oleh Marcela Lapertosa (Value Learning), di mana Marcela menekankan pentingnya melakukan networking dengan mindset yang tepat. Networking membutuhkan tujuan yang jelas, perencanaan dan investasi waktu, keberanian dan ketulusan, serta kemurahan hati.
Di sesi tentang aksi daring dan luring untuk mendorong keadilan sosial di dunia digital, Anita Wahid memaparkan tentang pentingnya partisipasi anak muda untuk mendorong demokrasi yang inklusif, partisipatif, dan memberdayakan, di mana anak muda bisa ikut menyuarakan aspirasi kelompok marjinal. Dalam hal ini, keterlibatan anak muda dimulai dari pentingnya mendapatkan atensi anak muda, kepentingan, keinginan (penemuan diri dan refleksi diri), sampai ke tahap aktulisasi diri. Proses ini penting untuk membuat keterlibatan anak muda bermakna, efektif, dan berdampak. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mengevaluasi aksi yang sudah dilakukan.
Lebih jauh, Dr. Fiona Suwana menyampaikan beberapa riset tentang aktivisme digital dan kiprah anak muda dalam gerakan sosial politik merujuk pada kerangka budaya partisipasi (Jenkins, 2009), termasuk di Indonesia, seperti Save KPK, reklamasi Bali, dan tolak Omnibus Law. Di Indonesia sendiri, aktivisme partisipatif lewat beragam platform media sosial sudah lama menjamur, mislanya melalui Facebook, Twitter, WhatsApp, dan YouTube. Dalam sesinya, Dr. Fiona Suwana juga menyampaikan tentang pentingnya literasi media digital dan anak muda untuk membangun kapasitas untuk kepemimpinan, dampak, dan praktik demokratis. Dalam hal ini, literasi media digital membutuhkan pemahaman kritis; kreasi; keterampilan analitikal, dan tanggung jawab, yang melibatkan semua orang. Gerakan literasi media digital terdiri dari beragam aspek: pembuatan konten; faktor pengubah; masyarakat, dan kolaborasi.
Terkait dengan topik aktivisme digital dan inlusi, para peserta juga mendapatkan materi mengenai ‘gender agenda’ (beragam perspektif dalam feminisme; stereotype gender; representasi perempuan di beragam sektor, serta studi maskulinitas dan interseksionalitas dari Prof. Angela Romano. Sementara, di topik tentang gender, kepemimpinan, dan inklusi di era digita, Dr. Fiona Suwana menekankan pentingnya kesadaran dan ‘agency’ dalam literasi digital, dimana literasi digital juga memberdayakan perempuan dan perempuan yang berdaya dapat menginspirasi perempuan-perempuan yang lain. Selain itu, terdapat beberapa tips untuk kampanye digital: pendekatan kreatif (memes, hashtag, eksperimen sosial, infografik, twibbon, kartun, reels, tik tok, testimony, dan sebagainya), serta penggunaan beragam platform media sosial yang efektif sesuai dengan target sasaran.
Di Australia sendiri, terkait penggunaan media sosial, terdapat Office of the eSafety Commissioner, yang bertugas untuk mendorong relasi daring yang lebih aman dan berdasarkan rasa saling menghargai dalam rangka melindungi warga negara dari bahaya daring melalui pendekatan seperti pencegahan (memasukkan dalam kurikulum); kemitraan (dengan industry dan pihak terkait lainnya), serta perlindungan dan perubahan sistemik dan proaktif. Komisi ini menjalankan tugasnya dengan prinsip inklusi dan saling menghormati, termasuk dengan melibatkan anak muda, perusahaan tekonologi, LSM internasional, lembaga penelitian, dan sebagainya, serta mempertimbangkan perlindungan data pribadi dengan pendekatan hak asasi manusia.
Di hari terakhir, para peserta mempresentasikan “Awards Project” terkait upaya mempromosikan partisipasi anak muda yang bermakna dalam isu-isu keadilan sosial di Indonesia. Beragam topik menarik muncul dari para peserta baik yang akan mengerjakan proyeknya dengan lembaganya sendiri maupun berkolaborasi dengan peserta lainnya. Penulis sendiri mengajukan kegiatan pendidikan pemilih muda daring jelang Pemilu dan Pilkada Serentak tahun 2024, yang akan menjadi kolaborasi Suara Kebebasan, The Indonesian Institute, dan mitra terkait lainnya. Rencananya, pada bulan Januari 2023 mendatang, kolaborasi ini akan dilakukan dengan Universitas Lampung. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai Pemilu dan Pilkada Serentak mendatang, sekaligus berbagi pengalaman dan informasi tentang ruang-ruang potensial untuk aktivisme anak muda dalam ranah politik dan kebijakan, termasuk dalam mendorong isu-isu keadilan sosial di Indonesia. Kegiatan ini juga akan mengundang teman-teman peserta untuk ikut berkontribusi dan berkolaborasi di topik-topik yang relevan.
Sungguh pengalaman yang menyenangkan dan berharga bagi penulis! Bukan hanya mendapatkan ilmu dan pengetahuan tentang praktik kebijakan dan aktivisme anak muda di Australia, tapi juga kesempatan kembali mengunjungi negara di mana penulis pernah menimba ilmu dan mendapatkan gelar (Master of International Studies) dari University of Sydney, serta menikmati kota-kota cantik dengan segala kemeriahan jelang Natal dan keseruannya, tapi terlebih lagi penulis berkesempatan berkenalan dan berjejaring dengan orang-orang yang hebat, cerdas, menginspirasi, menyenangkan, bersemangat dan juga bersahabat, yang bukan hanya asyik untuk menjadi teman-teman baru yang keren dan seru, tapi juga jaringan yang strategis untuk berkolaborasi!
Dan yaaass, lebih banyak kolaborasi adalah salah satu kata kunci dan pembelajaran yang penulis dapatkan dan tentu akan bagi dengan rekan-rekan di Suara Kebebasan dan The Indonesian Institute, serta implementasikan pembelajarannya sesuai konteks di Indonesia dari kursus singkat ini!
Sebagai penutup, penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Pemerintah Australia, QUT, para mentor, para narasumber, teman-teman peserta, juga dukungan dari manajemen dan tim di Suara Kebebasan dan The Indonesian Institute! Salam Kebebasan!
*****

Adinda Tenriangke Muchtar adalah Chief Editor Suara Kebebasan. Ia juga adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII). Adinda menyelesaikan studi PhD Studi Pembangunan di Victoria University of Wellington, Selandia Baru (2018) dengan beasiswa NZAID. Adinda mendapatkan Master of Internatio-nal Studies dari The University of Sydney (2003) dengan beasiswa AusAID dan gelar Sarjana Sosial dari Departemen Hubungan Internasional FISIP UI (2001). Fokus kajiannya adalah pembangunan dan kebijakan publik, demokrasi dan tata kelola pemerintahan, pemberdayaan perempuan, dan bantuan pembangunan internasional. email: adinda.muchtar@suarakebebasan.org