Dalam rangka mendiseminasi terjemahan buku “Poverty and Freedom”, Suara Kebebasan berkolaborasi perdana dengan BumiAku Academy (29/10). Ini adalah kegiatan diseminasi keempat yang Suara Kebebasan lakukan dalam mendiskusikan buku ini. Dalam kesempatan ini, Adinda menjadi pembicara tamu dalam podcast yang dipandu oleh Mutia Dewi dan Minanto Ali, Pendiri BumiAku Academy. Dalam program “Obrolan Mutual” tersebut, Adinda memperkenalkan tentang Suara Kebebasan dan jaringan Atlas Network, yang merupakan mitra sekaligus donor Suara Kebebasan. Ia juga memaparkan tentang isi buku tersebut yang mengangkat beragam ‘human stories’ dan kerja-kerja beragam mitra think tank Atlas Network dalam mendorong kebebasan ekonomi untuk menanggulangi kemiskinan.
Kompilasi pengalaman beragam tersebut juga menunjukkan bahwa libertarian peduli pada permasalahan kemiskinan dan berupaya untuk mendorong pendekatan yang partisipatif, kolaboratif, inklusif, kreatif, serta memberdayakan. Beberapa kasus dan pengalaman yang diangkat di buku ini diantaranya tentang upaya mengurangi pajak pembalut perempuan di Srilanka; deposit yang terlalu berat untuk memulai usaha kecil di India, serta pengambilalihan lahan dan aset secara sepihak oleh pemerintah di Amerika Serikat. Buku ini juga menggambarkan pendekatan ‘Doing Development Differently’ yang memberikan self-ownership dan leading position kepada para pemangku kepentingan lokal, yang dipelopori dan dikoordinir oleh think tank mitra Atlas.
Adinda mengatakan bahwa buku ini menarik karena dapat dimanfaat oleh individu maupun lembaga yang bekerja di sektor pembangunan, partisipasi, dan pemberdayaan. Buku ini juga mengkritisi tentang dilema pihak luar dan pendekatan ‘top-down’ dalam upaya penanggulangan kemiskinan, yang mengabaikan keterlibatan, pengetahuan, dan sumber daya lokal. Selain itu, buku ini juga bermanfaat untuk memberikan gambaran pengalaman dan pembelajaran dari keberhasilan think tank mitra Atlas Network dalam melakukan penelitian, berkolaborasi dengan beragam pihak, serta mengadvokasi kebijakan yang lebih ramah pasar dan terbuka, serta memberi akses kepada siapa saja tanpa terkecuali.
Dalam perbincangan ini, Mutia berbagi pengalaman tentang mata kuliah yang pernah diampunya, yaitu soal Komunikasi Pemberdayaan. Dalam beberapa pertemuan kelas tersebut, dibahas tentang beragam paradigma pembangunan, seperti ketergantungan, serta pemerataan dan pertumbuhan. Menurut Mutia, buku ini dapat bermanfaat juga untuk pemerintah dalam menjalankan pembangunan dengan perspektif pemberdayaan dan partisipatif. Mutia dan Minanto juga menanyakan tidak adanya contoh Indonesia dalam buku ini, karena buku ini terbilang menarik, apakah karena Indonesia dianggap belum berhasil menerapkan pembangunan yang partisipatif, ‘bottom-up’, dan memberdayakan. Mereka juga berharap agar kedepan pengalaman Indonesia juga disertakan dalam publikasi selanjutnya dan BumiAku Academy juga bisa berkontribusi dalam hal ini lewat pengalamannya.
Adinda mengatakan hal ini mungkin karena pengalaman yang diangkat dalam buku ini adalah pengalaman-pengalaman yang sudah lama dilakukan para mitra Atlas Network berikut dengan cerita keberhasilannya. Ia mengatakan pengalaman Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) tentang harga pangan dan tantangan distribusi pangan di Indonesia, serta food index, yang tengah mereka kerjakan, dapat menjadi pengalaman yang dapat diangkat dari Indonesia. Mutia menambahkan, proses kerjasama dalam pembangunan juga menarik karena ada proses social learning didalamnya. Mutia dan Minanto pernah melakukan kegiatan skala kecil di Sleman, Yogyakarta, dengan masyarakat lewat pendekatan ‘bottom-up’, dengan memperhatikan kebutuhan, sumber daya, kemampuan, dan lain-lain dari masyarakat setempat, agar kedepannya masyarakat bisa mandiri. Namun, Mutia mengatakan bahwa dari semua model pembangunan, tidak ada model pembangunan yang ideal diterapkan di semua tempat di dunia ini. Hal ini tergantung dengan konteks lokasi, model keterlibatan masyarakat, serta rancangan kegiatan pembangunan dan pemberdayaan.
Minanto menyepakati pentingnya konteks dan model pembangunan tidak bisa diterapkan seperti template begitu saja di beragam lokasi. Dalam buku ini juga disebutkan dua kata kunci yang menarik dan penting, yaitu pengetahuan lokal dan kepemimpinan. Ini penting untuk mengetahui formula terbaik untuk mengatasi kemiskinan. Minanto bercerita tentang program “Empati” di tengah masa pandemi yang dirinya dan Mutia pernah lakukan, terhadap masyarakat yang terdampak akibat dampak beragam pandemi. Lebih jauh, Mutia mengatakan bahwa beberapa rekomendasi di buku ini juga seharusnya menjadi masukan bagi negara dalam menjalankan program pembangunan dan penanggulangan kemiskinan.
Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 juga menjadi pengalaman Mutia dan Minanto dalam menjalankan program pemberdayaan masyarakat. Mutia mengatakan mereka tidak berperan sebagai donor yang bisa jadi malah menyebabkan ketergantungan. Di sisi lain, mengharapkan pendekatan partisipatif juga tidak realistis mengingat masyarakat di lereng Gunung Merapi juga dalam kondisi lelah untuk memberikan masukan. Akhirnya, pendekatan campuran diterapkan baik lewat memperkenalkan ide dari pihak luar sekaligus menggali suara masyarakat, termasuk mengajak masyarakat menggambarkan memori mereka tentang Merapi, baik tumbuhan, hewan, bahkan lahar, yang menjadi motif batik mereka.
Memori ini hadir dari pengalaman masa lalu mereka dan apa yang mereka lakukan saat ini, seperti beternak sapi. Di sini, subyek atau pelaku utama pembangunan adalah masyarakat itu sendiri. Lebih jauh, filantropi juga tidak bisa dilakukan terus-menerus, makanya dilakukan gerakan “Kita Empati”, yang akhirnya bertransformasi lewat pembentukan situs web “Warung Rakyat” dengan dukungan Universitas Islam Indonesia, dengan layanan gratis untuk memfasilitasi beragam UMKM untuk memanfaatkannya sebagai market place. Menurut Minanto, program dalam skala kecil ini dan di masa itu, kegiatan seperti itu masiih sangat mungkin dilakukan. Karena Minanto dan Mutia berasal dari latar belakang komunikasi, pendekatan yang mereka lakukan misalnya melalui poster, video promosi, foto produk, sosial media, yang kontennya juga dikirimkan oleh masyarakat penerima manfaat.
Lebih jauh terkait kebijakan publik, Adinda membahas bahwa dalam konteks Indonesia, lepas dari kebijakan yang sudah ada di Indonesia, termasuk soal open government dan open data, yang dibutuhkan adalah komitmen dan integritas dalam menjalankan kebijakan tersebut. Sebut saja kasus korupsi dan pungli yang masih merajalela hingga saat ini. Adinda juga sepakat bahwa tidak ada resep seragam untuk menanggulangi kemiskinan. Seperti yang diangkat dalam buku “Kemiskinan dan Kebebasan” ini, pendekatan yang diterapkan para mitra Atlas Network pun beragam. Adinda juga mengatakan pentingnya konteks dan pendekatan yang kreatif, serta mempertimbangkan dampak jangka panjang tentang efektivitas intervensi dalam pembangunan, termasuk dalam penanggulangan kemiskinan. Hal ini pula yang menjadi pesan dalam buku ini, di mana setiap pihak saling belajar satu sama lain dan berkolaborasi dalam upaya mengatasi kemiskinan.

Adinda Tenriangke Muchtar adalah Chief Editor Suara Kebebasan. Ia juga adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII). Adinda menyelesaikan studi PhD Studi Pembangunan di Victoria University of Wellington, Selandia Baru (2018) dengan beasiswa NZAID. Adinda mendapatkan Master of Internatio-nal Studies dari The University of Sydney (2003) dengan beasiswa AusAID dan gelar Sarjana Sosial dari Departemen Hubungan Internasional FISIP UI (2001). Fokus kajiannya adalah pembangunan dan kebijakan publik, demokrasi dan tata kelola pemerintahan, pemberdayaan perempuan, dan bantuan pembangunan internasional. email: adinda.muchtar@suarakebebasan.org