Cerita dari Liberty Forum & Freedom Dinner 2020

405

Pada tanggal 11-12 November lalu, Suara Kebebasan hadir di acara Liberty Forum and Freedom Dinner (LLFD) 2020. Acara ini merupakan acara tahunan yang diselenggarakan oleh organisasi mitra Suara Kebebasan, Atlas Network, yang dihadiri oleh berbagai perwakilan dari mitra-mitra Atlas Network di seluruh dunia.

Biasanya, acara ini diselenggarakan di Amerika Serikat, tepatnya di New York City. Namun, karena kendala pandemi COVID-19, maka untuk pertama kalinya, LLFD kali ini akan diselenggarakan melalui online, dan dapat diakses dari seluruh dunia.

Pada saat pemukaan dan cornerstone talks, ada beberapa pembicara yang menjadi pemateri. LFFD 2020 ini sendiri dibuka oleh Vice-President Atlas Network, Dr. Tom. G. Palmer, yang memperkenalkan pembicara yang akan tampil.

Pembicara pertama adalah Amity Shlaes dari Calvin Coolidge Presidential Foundation, yang memaparkan mengenai apa yang bisa kita pelajari dari dunia pasca COVID-19, dengan mengambil pelajaran dari dunia pasca Flu Spanyol pada dekade 1920-an. Shlaes memaparkan bahwa saat ini ada banyak kelompok-kelompok kiri progresif yang anti kapitalisme, dan hal tersebut sangat berbahaya.

Belajar dari tahun 1920-an, Amerika Serikat pasca berakhirnya pandemi Flu Spanyol justru memberlakukan kebijakan pasar bebas. Presiden Warren Harding misalnya, yang memimpin pasca Flu Spanyol dari tahun 1921 – 1923, justru menerapkan kebijakan pasar bebas dan membiarkan pasar bekerja.

Pembicara kedua adalah Corianne Parenti dari Jerusalem Institute for Market Studies, Israel. Ia mengangkat tema bagaimana perdagangan bebas dapat menciptakan kebebasan, perdamaian, dan kesejahteraan. Ada beberapa poin yang disampaikan oleh Parenti, diantaranya adalah, berdasarkan pengalaman negaranya, perdagangan bebas membawa banyak keuntungan.

Salah satu kekhawatiran terkait perdagangan bebas adalah, misalnya, mengenai keamanan. Israel adalah negara yang sangat memperhatikan keamanan negaranya. Namun, justru melalui perdagangan bebas, Israel mampu mendapatkan material yang dibutuhkan untuk membangun sarana keamanannya.

Selain itu, melalui perdagangan bebas, Israel justru dapat mengurangi pengangguran di negaranya. Berbagai perusahaan dari luar negeri, seperti H&M dan sebagainya, telah menyediakan banyak lapangan pekerjaan. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang patut dan sangat penting untuk didorong, karena saat ini, kata Parenti, ada tingkat pengangguran di Israel adalah 25%. Oleh karena itu, perdagangan bebas harus diperkuat dan bukan diperlemah.

Pembicara ketiga adalah Elise Westhoff dari Philanthropy Roundtable, Amerika Serikat. Topik yang dibahas oleh Westhoff adalah mengenai cancel culture yang sangat berbahaya, dan hal tersebut menyerang kelompok kiri dan kanan. Adanya cancel culture justru akan memunculkan diskusi yang tidak jujur. Elise Westhoff juga memperingatkan bahwa, bila cancel culture dibiarkan, maka kebebasan di dunia yang tinggali akan semakin tergerus.

Pembicara keempat adalah Ales Alachonovic dari CASE Belarus, Belarus. Alachnovic menceritakan mengenai permasalahan politik yang terjadi di negaranya, khususnya yang terjadi beberapa bulan terakhir, pasca pemilu Presiden Belarus tahun ini. Belarus saat ini masih dipimpin oleh diktator Alexander Lukashenko yang berkuasa dari tahun 1994. Lukashenko memimpin Belarus dengan tangan besi, dan menangkapi orang-orang yang dianggap membahayakan kekuasaannya. Hal inilah yang kini menjadi masalah besar pasca pemilu Presiden.

Ketika COVID-19 terjadi, Lukashenko tidak menganggap pandemi tersebut secara serius. Karena hal tersebut, ditambah represi politik selama bertahun-tahun, rakyat Belarus akhirnya memilih Sviatlana Tsikhanouskaya sebagai pengganti Lukashenko. Lukashenko sendiri hanya mendapatkan suara 8%.

Namun, Lukashenko menolak menerima hasil tersebut. Ia memberi klaim bahwa dirinya menjadi pemenang pemilu, dan menolak untuk turun dari jabatannya. Hal ini membuat, hingga hari ini, Belarus dilanda demonstrasi besar-besaran. Untuk itu, Alchonovic meminta komunitas internasional untuk menaruh simpati dan mendukung para demonstran di Belarus yang berjuang melawan diktatorisme.

Pembicara keempat adalah Anthea Haryoko dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Indonesia. Topik yang dibahas adalah mengenai keuntungan yang didapatkan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah dari adanya berbagai inovasi teknologi yang ada di Indonesia.

Anthea menceritakan mengenai kisah perempuan bernama Dewi, yang bekerja di sebuah hotel. Ketika pandemi COVID-19 terjadi, hotel tersebut tutup, dan Dewi kehilangan pekerjaannya. Selain itu, di Indonesia, perempuan seperti Dewi juga diharapkan lebih memfokuskan dirinya pada keluarga, sementara suaminya yang mencari pekerjaan.

Setelah kehilangan pekerjaan, Dewi bukannya memilih menganggur, namun ia justru beralih pekerjaan menjadi penjual di toko online. Dewi tidak sendiri, dan di Indonesia ada jutaan masyarakat yang mendapat manfaat dari inovasi teknologi, seperti di bidang pertokoan online, khususnya pada masa pandemi COVID-19 seperti sekarang.

Namun, bukan berarti tidak ada tantangan yang dihadapi oleh para perusahaan online tersebut. Anthea mengatakan bahwa saat ini, ada berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh 13 kementerian yang berbeda, dan hal tersebut tentu berpotensi akan menghambat inovasi di sektor teknologi, yang nantinya akan memberi manfaat kepada masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah.

Pembicara terakhir adalah Johan Norberg dari Cato Institute. Norberg mengawali pemaparannya dengan topik mengenai cancel culture di kampus-kampus di Amerika Serikat. Hal ini tentu adalah sesuatu yang sangat berbahaya, karena hal tersebut akan menghambat diskusi, dan universitas harusnya bisa menjadi tempat bagi para mahasiswa untuk belajar dan diperkenalkan oleh ide-ide baru.

Norberg juga mengatakan bahwa inovasi dan kemajuan justru diciptakan melalui orang-orang yang berani untuk keluar dari zona nyamannya, dan mencari ide-ide baru. Hal inilah yang mendorong munculnya Era Pencerahan di Eropa, ketika orang-orang saling berdebat dan bertukar pikiran, serta berani menentang doktrin-doktrin lama yang sebelumnya diyakini.

Era Pencerahan telah mendorong lahirnya berbagai teknologi dan perdagangan bebas yang dampaknya bisa kita rasakan sampai sekarang. Berkat perdagangan dan inovasi teknologi, saat ini manusia hidup jauh lebih baik daripada leluhur kita di masa lalu. Kemiskinan semakin berkurang, berbagai penyakit sudah bisa kita atasi, dan usia harapan hidup masyarakat dunia semakin meningkat. Untuk itu kita harus berani melawan cancel culture dan kembali membuka diskusi bebas agar inovasi dan kemajuan akan semakin dapat berkembang.

*****

Memasuki hari kedua, sesi breakout pertama yang dibahas dalam konferensi ini adalah mengenai bagaimana prospek masa ekonomi pasca krisis yang disebabkan oleh pandemi COVID-19.  Pembicara pertama, Alexander Skouras, mengatakan bahwa ia tidak terlalu khawatir dengan prospek masa depan dan pembatasan-pembatasan yang diberlakukan di negaranya, Yunani, karena berbagai kebijakan tersebut, seperti lockdown, tidak mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat.

Oleh karena itu, khususnya kebijakan lockdown kedua yang diberlakukan oleh Pemerintah Yunani saat ini, tidak sedikit masyarakat Yunani yang melanggar kebijakan lockdown tersebut. Masyarakat Yunani masih banyak yang pergi ke luar rumah, berbelanja ke pusat perbelanjaan, dan juga menyelenggarakan berbagai acara seperti acara pernikahan. Hal ini semakin meningkat terutama mendekati musim liburan yang sangat penting bagi perekonomian Yunani, yang salah satunya bertumpu pada sektor pariwisata.

Pembicara selanjutnya adalah Jennifer Stefano dari Amerika Serikat, di mana ia menyampaikan mengenai kebijakan lockdown di Amerika Serikat. Stefano menyampaikan bahwa kebijakan tersebut telah menghancurkan banyak usaha yang dimiliki oleh masyarakat Amerika Serikat, dan bila kita ingin mengembalikan ekonomi Amerika kembali, maka pembatasan-pembatasan tersebut harus dibuka.

Sesi breakout kedua dalam diskusi ini adalah mengenai pentingnya institusi yang baik di negara-negara Asia demi meningkatkan perekonomian. Pembicara pertama adalah Tricia Yeoh, yang membahas mengenai kasus korupsi IMDB yang dilakukan oleh mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak.

Razak menggunakan dana dari IMDB, yang seharusnya diinvestasikan untuk membawa manfaat bagi masyarakat Malaysia, dialihkan menjadi dana pribadi untuk dirinya sendiri. Ia akhirnya harus turun dari jabatannya karena terkuaknya kasus tersebut, dan kasus tersebut menimbulkan banyak protes dari masyarakat Malaysia. Yeoh menyampaikan hal tersebut adalah contoh dari bagaimana institusi yang buruk dapat merugikan banyak masyarakat.

Pembicara selanjutnya adalah Calixto Chikiamco dari Filipina. Ia memberi salah satu contoh pentingnya reformasi institusi di Filipina, yakni yang terkait dengan sektor telekomunikasi di Filipina. Telekomunikasi merupakan salah satu sektor yang dimonopoli oleh pemerintah Filipina. Sementara, sektor telekomunikasi bukanlah sektor yang masuk dalam kategori “natural monopoly.” Untuk itu penting untuk merefomasi sektor tersebut dan membuka akses pasar agar sektor telekomunikasi tidak lagi dimonopoli.

Terkait dengan pandemi COVID-19, Calixto menyampaikan bahwa penanganan pemerintah Filipina untuk menanggulangi dampak pandemi sangat buruk. Pemerintah Filipina lebih menggunakan pendekatan militeristik untuk mendisiplinkan masyarakat, seperti memastikan masyarakat tetap di rumah, dan bukannya fokus membantu masyarakat yang terkena dampak dari pandemi tersebut.

Acara kedua adalah mengenai wawancara dengan para finalis untuk Penghargaan Templeton (Templeton Freedom Award / TFA) yang diberikan oleh Atlas Network. Finalis-finalis ini adalah organisasi-organisasi yang menjadi organisasi mitra Atlas Network dari seluruh dunia. Mereka yang menjadi finalis adalah, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Center for Public Policy Research (CPPR), Fraser Institute, IDEAS Labs, Mercantus Center, dan Prosperity and Environment Research Center (PERC).

Rainer Heufers mewakili CIPS memaparkan programnya mengenai pentingnya untuk memastikan ketahanan pangan di Indonesia, karena Indonesia adalah negara agrikultur, dan isu pangan adalah isu yang sangat krusial dan penting. Selanjutnya, perwakilan dari CPPR mengatakan bahwa program mereka adalah memastikan bahwa perempuan di India, khususnya di wilayah Kerala, mampu memperbaiki kehidupannya. Saat ini, di Kerala ada banyak aturan yang melarang perempuan untuk bekerja, seperti batas jam malam, yang tentunya akan mengurangi kesempatan pekerjaan bagi kaum perempuan.

Perwakilan dari Fraser Institute memiliki program untuk mereformasi kebijakan publik di Provinsi Alberta di Kanada. Beberapa rekomendasi kebijakan ini diantaranya adalah meningkatkan persaingan di sektor pendidikan dan pelayanan kesehatan, mengurangi pajak dan memangkas regulasi, serta menyeimbangkan belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah. Saat ini, Pemerintah Provinsi Alberta sudah menyetujui untuk memberlakukan rekomendasi kebijakan dari Fraser Institute tersebut.

Organisasi selanjutnya, IDEAS Labs, adalah organisasi think tank asal Kosta Rika. Kosta Rika merupakan negara yang banyak penduduknya hidup dalam kemiskinan. Namun, pegawai pemerintah mendapatkan dana pensiun yang besar, yakni sebesar USD24,000 per bulan. Untuk itu, IDEAS Labs mengadakan kampanye publik untuk merubah aturan tersebut, dan akhirnya Parlemen Kosta Rika berhasil mengeluarkan undang-undang yang memotong dana pensiun yang besar tersebut.

Sementara itu, perwakilan dari Mercantus Center mengatakan bahwa fokus proyek mereka adalah mereformasi kebijakan kesehatan (healthcare) di Amerika Serikat, yang memastikan masyarakat Amerika Serikat memiliki akses terhadap sarana kesehatan dengan harga yang murah dan berkualitas dari kompetisi di pasar. Finalis terakhir adalah PERC dengan program mengenai konservasi alam, bahwa konservasi dan melindungi lingkungan dengan pasar bebas adalah sesuatu yang tidak bertentangan satu sama lain. Misalnya, dengan memastikan bahwa masyarakat bisa memanfaatkan spesies yang dikategorikan akan punah, maka kita akan semakin memiliki insentif untuk melindungi spesies tersebut.

Sesi selanjutnya adalah Light, Camera, Liberty, yang menampilkan karya-karya film inspiratif yang bertemakan tentang kebebasan. Film pertama adalah film yang berjudul “Motorbike License” yang dibuat oleh organisasi asal Nepal, Bikalpa, an Alternative. Film tersebut menceritakan mengenai dampak dari tingginya korupsi di Nepal, sehingga sangat sulit seseorang mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) di negara tersebut. Dengan demikian, mereka yang mengendarai motor tanpa SIM akan ditilang oleh polisi dalam jumlah besar. Hal tersebut akan sangat merugikan dan menurunkan daya beli masyarakat Nepal, khususnya yang berasal dari masyarakat menengah ke bawah.

Film kedua adalah film yang berjudul “Right to Work” dari organisasi asal Serbia, Center for Anti Authoritarian Studies. Film ini menceritakan tentang pengalaman pelaku usaha yang ada di Serbia, yang harus berjuang dan dirugikan karena berbagai kebijakan regulasi yang ketat dan pajak yang tinggi dari pemerintah, diantaranya adalah penguasah sepatu dan juga peternak sapi. Kebijakan tersebut berdampak banyaknya pelaku usaha yang sulit menjalankan usahanya.

Film selanjutnya adalah film yang berjudul “How to Love Your Enemy” yang dibuat oleh organisasi partner Atlas Network asal Amerika Serikat, Free the People. Film ini menceritakan mengenai kerja keras yang dilakukan oleh Free the People untuk mengumpulkan orang-orang yang menjadi pelaku tindakan kriminal dengan korban-korban mereka dan aparat keamanan, untuk bertemu dan saling berdiskusi, dan memaafkan. Film ini juga menceritakan mengenai pentingnya reformasi hukum di Amerika Serikat dan memberi kesempatan kedua bagi para pelaku kriminal.

Film keempat adalah film yang berjudul “Fables for Liberty” yang diproduksi oleh organisasi asal Argentina, Fundacion Libertad y Progreso. Film ini merupakan film animasi yang menceritakan kehidupan binatang di hutan, di mana sebelumnya setiap binatang dapat menggunakan talenta yang mereka miliki untuk bekerja sesuai dengan kemampuannya. Monyet misalnya yang mengambil pisang, macan yang berburu, dan mereka menjual hasilnya kepada binatang lainnya. Lantas, karena hutan tersebut merupakan hutan yang mengikuti sistem demokrasi, ada ular yang ingin mengambil kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan.

Ia mengumpulkan hewan-hewan lainnya dan mengatakan bahwa monyet memonopoli usaha pisang adalah sesuatu yang tidak adil, dan berjanji akan mensetarakan seluruh hasil usaha yang dilakukan oleh para binatang-binatang tersebut. Setelah terpilih, binatang-binatang seperti monyet dan macan justru memilih untuk pergi ke hutan lain, kerena mereka tidak lagi bisa bebas untuk berburu dan mengambil pisang. Akibatnya, produksi pangan di hutan tersebut menjadi semakin sedikit, dan terjadi krisis. Film ini merupakan analogi di mana bila pemerintah menerapkan pembatasan bagi pelaku usaha untuk berkembang dan berinovasi sesuai kemampuannya, maka masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan.

Film kelima adalah film yang berjudul “Seize this House” yang diproduksi oleh Pacific Legal Foundation dari Amerika Serikat. Film sketch tersebut menceritakan tentang kebijakan sewewenang-wenang pemerintah di beberapa negara bagian, yang dapat mengambil paksa rumah orang-orang yang belum membayar pajak bangunan, meskipun dalam jumlah yang kecil. Setelah itu, rumah tersebut langsung dilelang kepada pembayar yang bersedia untuk membeli dengan harga tertinggi.

Pemenang dari kompetisi Lights, Camera, and Liberty ini adalah film “How to Love Your Enemy” yang diproduksi oleh Free the People. Terry Kibbe, yang merupakan salah satu pendiri dari Free the People menjadi penerima penghargaan dari Atlas Network tersebut. Sementara itu, penghargaan Templeton sendiri dianugerahi kepada Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) untuk program ketahanan pangan di Indonesia

Sebagai penutup, acara konferensi internasional LFFD 2020 merupakan acara yang sangat bermanfaat dan membuka wawasan mengenai pentingnya kebebasan dan kemerdekaan. Melalui konferensi ini, kita bisa belajar mengenai pengalaman organisasi-organisasi pegiat kebebasan dari negara-negara lain dan juga tantangan-tantangan yang hadapi, serta bagaimana mereka mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Semoga, di tahun 2021 yang akan datang, setelah pandemi COVID-19 selesai, acara ini dapat diselenggarakan kembali di New York City sebagaimana tahun-tahun lalu, dan Suara Kebebasan dan saya bisa mendapat kesempatan kembali untuk hadir di konferensi tersebut.