Pemilihan Umum (Pemilu)yang juga kerap disebut sebagai pesta demokrasi terbesar di Indonesia akan kembali digelar secara serentak tahun 2024 nanti. Sejak Reformasi bergulir pada tahun 1998 lalu, tercatat Indonesia telah mengalami 4 kali pemilihan langsung di mana rakyat dapat bukan hanya memilih calon legislatif, tapi juga calon presiden. Meskipun telah cukup lama menjalankan Pemilu, Indonesia masih terus menghadapi berbagai masalah dalam pelaksanaannya, mulai dari hal-hal teknis hingga politik identitas yang terus naik daun akhir-akhir ini. Pemilu 2024 juga diiringi isu tak sedap lainnya, mulai dari dugaan kecurangan terhadap keputusan tidak lolosnya beberapa partai baru, hingga upaya penundaan Pemilu yang kembali mengingatkan kita semua pada otoritarianisme Orde Baru di masa lalu.
Serangkaian tahapan Pemilu 2024 sudah dimulai dan satu topik yang menarik jelang Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 adalah tentang potret bagaimana peran dan partisipasi bermakna anak muda yang memiliki persentase yang cukup besar sebagai pemilih dalam perhelatan politik tahun depan, menjadi sangat penting.
Menanggapi hal itu, Student for Liberty Indonesia (SFL Indonesia), Suara Kebebasan, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), serta Komahi Amikom menggelar diskusi dengan tema “Anak Muda dan Demokrasi: Bagaimana Anak Muda Menyambut Pemilihan Umum 2024?”, pada hari Jum’at, (14/4). Hadir sebagai narasumber pada acara ini adalah Samuella Christy (Kontributor Suara Kebebasan) dan Ahmad Hidayah (Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute).
Iman Amirullah selaku Koordinator Lokal SFL Indonesia dan moderator membuka acara dengan menyampaikan bahwa Pemilu 2024 kali ini juga memiliki keunikan tersendiri dengan banyaknya anak muda yang akhirnya mendapatkan hak pilih. Pemilu 2024 nanti akan ada lebih dari 114 juta pemilih muda atau mencapai 60% dari total pemilih. Ia juga menjelaskan bahwa menyinggung pentingnya temuan angket TII yang menemukan bahwa generasi muda yang akan membentuk 60% total pemilih justru kurang mendapatkan informasi secara utuh mengenai Pemilu, baik kandidat, visi misi, hingga partai politik. Hal ini tentu sangat berbahaya, mengingat ketidaktahuan generasi muda akan dapat dengan mudah digiring oleh para elit politik ke politik identitas dan politik uang yang akan mengancam hasil dari pesta demokrasi ini.
Editor in Chief Suara Kebebasan dan Direktur Eksekutif TII, Adinda Tenriangke Muchtar, yang memberi sambutan dalam acara ini menyampaikan bahwa anak muda memiliki peran yang sangat penting, khususnya dalam konteks Pemilu nanti, di mana akan banyak anak muda juga yang akan menjadi pemilih pemula pada Pemilu mendatang. Adinda juga menyampaikan bahwa dalam satu tahun terakhir di 2022 lalu, temuan angket TII secara konsisten mengangkat persepsi anak muda mengenai politik dan partisipasi politik anak muda, terutama terkait dengan konteks Pemilu Serentak mendatang. Adinda mengapresiasi kolaborasi SFL dengan Suara Kebebasan dan TII ini, dan berharap akan ada kolaborasi-kolaborasi selanjutnya di masa mendatang.
Berlanjut ke jalannya diskusi, pembicara pertama pada acara ini, Ahmad Hidayah, menyampaikan pembahasan tentang topik anak muda dan politik terkait dengan Pemilu yang akan dilaksanakan ke depan, melalui pemaparan berjudul “Pemilu Serentak Tahun 2024 di Mata Anak Muda” yang dibuat berdasarkan angket TII yang dilaksanakan tahun 2022 lalu sebanyak tiga kali.
Ia menyampaikan bahwa temuan angket TII mencatat bahwa sekitar 16 % anak muda yang belum mengetahui tentang Pemilu yang akan diselenggarakan. Ahmad selanjutnya menjelaskan bahwa TII dalam angketnya pada bulan Desember 2022, mencatat bahwa 84% responden mengatakan akan menggunakan pilihannya di Pemilu mendatang. Meskipun demikian, dengan banyaknya nama-nama calon presiden yang beredar, masih ada responden yang belum menentukan pilihan.
Selain itu, dalam pemaparannya Ahmad juga menyampaikan terkait dengan responden angket yang memberi jawaban beragam atas pertanyaan soal calon presiden potensial yang akan mereka pilih dan dianggap mampu menangani beberapa isu kebijakan yang muncul dari para responden di angket awal, seperti persoalan lapangan kerja, penanggulangan korupsi, kebebeasan berekspresi, dan peningkatan kualitas pendidikan. Sebagai catatan, isu-isu kebijakan tersebut adalah temuan angket TII dari pendapat para responden tentang isu yang menjadi konsernnya. Data angket TII menunjukkan beberapa nama, seperti Ganjar Pranowo, Prabowo, dan Ridwan Kamil menduduki peringkat teratas terkait isu-isu tersebut dan setiap isu memiliki capres potensialnya sendiri.
Menginjak pembicara kedua, Samuella Christy, memulai paparannya dengan beberapa pertanyaan yang ditanyakannya kepada para peserta terkait dengan isu terkini dan kekuatiran anak muda soal Pemilu mendatang. Banyak sekali tanggapan yang muncul dari isu itu, khususnya sistem Pemilu, penundaan Pemilu, proses dan kaderisasi partai. Bahkan, ia juga menjelaskan bahwa isu seperti sepak bola dan anak muda juga turut hadir di tengah masyarakat dan dihubungkan dengan Pemilu. Beberapa isu tersebut begitu mengemuka dan menjadi isu yang selalu muncul di berbagai macam pemberitaan dan media sosial yang ada. Samuella menguraikan masing-masing isu tersebut masih menjadi persoalan yang cukup menjadi perhatian yang penting untuk dibahas supaya banyak orang mengubah pandangannya terhadap politik.
Samuella mendorong beberapa hal penting agar Pemilu dapat melepaskan diri dari tantangan partisipasi anak muda di Pemilu 2024 nanti. Pertama, menghapus batasan-batasan untuk masuknya anak muda ke dalam partisipasi yang bermakna. Kedua, pentingnya mengawal proses rekrutmen dan kaderisasi dalam partai politik yang memberikan kemudahan bagi siapa saja dalam proses politik. Ketiga, mengantisipasi politik identitas yang ada dengan baik. Keempat, pentingnya menjaga marwah dan komitmen demokrasi.
Memasuki sesi diskusi, muncul pertanyaan soal bagaimana cara mengikutsertakan partisipasi anak muda dalam politik. Banyak sekali pro dan kontra terhadap hal itu dan yang selama ini ada cara menggandeng anak muda masih sangat pragmatis. Misalnya, dengan menggunakan pembagian tiket konser salah satu group musik asal terkenal asal Korea, atau bahkan melalui penggunaan media sosial yang dinamis secara kreatif dan intesif saat ini.
Menjawab pertanyaan itu, Ahmad menyampaikan bahwa upaya-upaya tersebut sudah menjadi keniscayaan, bahkan semua partai melakukan hal itu dengan berbagai macam cara, termasuk melalui organisasi sayap. Bahkan, ada juga kelahiran partai politik anak muda. Ahmad menggarisbawahi perlunya banyaknya politisi yang memberikan jawaban-jawaban untuk menanggapi isu-isu yang menjadi perhatian dan prioritas anak muda.
Berbeda dengan Ahmad, Samuella mengkritisi banyaknya politisi yang sekedar melakukan gimmick saja. Menurutnya, anak muda banyak yang kritis dan memiliki preferensi tersendiri dalam memilih kandidat preferensi mereka di politik nantinya. Oleh karena itu, Samuella menjelaskan dengan kondisi tersebut, penting untuk mendorong keberadaan beragam dan lebih banyaknya platform untuk partisipasi politik anak muda dalam rangka membangun kesadaran mereka tentang isu-isu politik dan kebijakan yang menjadi perhatian dan prioritas mereka.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.